Mitos Pendakian Gunung yang Masih Dipercaya hingga Saat Ini dan Berhasil Saya Patahkan

Mitos Pendakian Gunung yang Masih Dipercaya hingga Saat Ini dan Berhasil Saya Patahkan

Mitos Pendakian Gunung yang Masih Dipercaya hingga Saat Ini dan Berhasil Saya Patahkan (Unsplash.com)

Saya masih ingat tulisan pertama saya tentang pendakian gunung di Terminal Mojok berjudul Menjadi Pendaki Gunung Itu Tidak Harus Menjadi Indie. Tulisan tersebut kemudian melahirkan tulisan bertema pendakian gunung selanjutnya berjudul Setan di Gunung: Fakta atau Mitos. Selanjutnya, tulisan-tulisan tentang pendakian gunung mulai menjamur di Terminal Mojok. Mulai dari tulisan soal pengalaman mendaki gunung, mitos-mitos di gunung, sampai dengan hal-hal remeh macam film yang harus ditonton sebelum melakukan pendakian gunung.

Sebagai orang yang bisa dibilang cukup sering mendaki gunung, tulisan-tulisan tentang pendakian yang tayang di Terminal Mojok menurut saya banyak sekali yang tidak menggambarkan kondisi pendakian. Banyak hal ditulis berdasarkan katanya, bukan berdasarkan nyatanya. Selain itu, beberapa tulisan menurut saya cukup bias. Soal kalimat paling sering saya dengar, gunung untuk pendaki pemula misalnya, ini bias banget. Bagaimana bisa dikatakan gunung untuk pendaki pemula? Apa indikatornya?

Yang lebih menjengkelkan adalah tulisan-tulisan pendakian yang ngomongin soal horor. Sekali baca judulnya saja kadang saya sudah tidak mau melanjutkan membaca. Tulisan mengenai horor di gunung bagi saya seperti membaca tulisan dari seseorang yang sedang ngehalu. Penuh mitos, mengarang bebas, dan tidak penting untuk dibaca! Nah, berangkat dari keresahan itu, saya telah merangkum beberapa mitos pendakian gunung yang masih dilestarikan hingga saat ini dan berhasil saya patahkan.

Setiap gunung ada penunggunya

Sejak pertama kali melakukan pendakian pada tahun 2009 lalu ke Gunung Argopuro, saya sudah mendengar banyak hal mengenai mitos yang satu ini. Sorry to say, sejak awal saya sudah harus mengategorikan informasi ini sebagai mitos.

Begini, penunggu dalam perspektif orang Indonesia pada umumnya mengacu pada makhluk halus yang mendiami suatu tempat. Istilahnya akamsinya gitu, ya. Bedanya, akamsi gunung satu ini tak kasat mata. Pertanyaannya adalah kok bisa pendaki gunung tahu bahwa di gunung sana ada penunggunya padahal makhluk yang dimaksud itu tidak kasat mata atau lebih simpelnya tidak kelihatan?

Nah, biasanya orang yang percaya akan menjawab begini, “Itu kan orang sekitar yang bilang,” atau bilang begini, “Kata si anu yang anak indigo, dia bisa lihat makhluk halus dan sejenisnya!” Nah, yang lucu dari mitos pendakian gunung satu ini kebanyakan berasal dari hal yang kadang dibikin agar para pendaki tidak melakukan hal yang justru berbahaya bagi dirinya saat mendaki.

Saya jadi ingat salah satu penampilan stand up comedy dari Dzawin Nur. Katanya, mitos ini diciptakan oleh masyarakat sekitar atau pengelola justru agar para pendaki bisa menghormati nilai-nilai lokal di daerah gunung berada.

Tidak boleh mengumpat atau berkata kotor di gunung

Ada jenis larangan di beberapa gunung yang saya rasa cukup konyol. Ya, larangan untuk mengumpat atau berkata kotor. Banyak bala yang akan ditemui pendaki jika melanggar larangan ini, salah satunya hilang atau disesatkan penunggu gunung tersebut.

Larangan ini saya nobatkan sebagai salah satu mitos paling banyak dipercayai oleh para pendaki hingga saat ini. Tidak hanya pendaki, orang-orang awam yang juga mendengar mitos ini dari orang lain juga ikutan percaya. Kok bisa, sih?

Sejujurnya, saya adalah manusia yang tidak suka mengumpat. Akan tetapi karena adanya mitos ini dengan sukarela saya naik ke beberapa gunung yang kental akan larangan mengumpat atau berkata kotor tersebut. Tentu saja hal ini saya lakukan untuk membuktikan mitos yang beredar itu. Hasilnya? Hari ini saya masih bisa menulis tentang mitos tersebut. 

Gunung untuk pendaki pemula

Kita mungkin pernah mendengar kalimat, “Gunung untuk pendaki pemula…” dari para pendaki yang sudah sering naik gunung. Terkesan ada strata dan klasifikasi, ya? Pendaki pemula, pendaki profesional, dan jenis pendaki lainnya.

Bagi saya, ini mitos paling konyol yang dipercaya orang awam soal pendakian gunung. Menurut saya, tidak pernah ada gunung untuk pendaki pemula. Semua gunung adalah untuk pemula jika ia baru pertama kali atau kedua kalinya mendaki gunung tersebut.

Pendakian pertama dan kedua ke semua gunung untuk siapa saja selalu adalah pendakian untuk pemula. Kita baru akan tahu jalur gunungnya seperti apa, bisa ditempuh berapa jam, dan segala hal lainnya setelah melakukan minimal sekali pendakian. Dan ini seharusnya yang dipegang teguh oleh para pendaki yang mendaku diri pendaki sepuh itu.

Lagi-lagi saya tegaskan bahwa label pendaki pemula saja ini sudah bias, ditambah lagi dengan “gunung untuk pendaki pemula” tadi, jadi semakin tidak terkontrol. Selain itu, indikator dari “gunung untuk pendaki pemula” ini juga tidak jelas. Apakah jalurnya, lama pendakiannya, ketinggian gunungnya, atau apa? Kan tidak jelas.

Seandainya pun ada yang bilang “gunung untuk pendaki pemula” berdasarkan ketinggiannya, banyak bukti mengatakan ini juga tidak benar. Ada yang bisa menggapai puncak gunung di ketinggian 3000 mdpl dalam pendakian pertamanya, seperti saya misalnya. Namun, banyak juga pendaki yang di pendakian pertamanya malah tidak bisa sampai puncak sekadar gunung dengan tinggi tak sampai 2000 mdpl.

Mendaki gunung dengan jumlah orang ganjil akan diganggu setan

Sehari sebelum mendaki Gunung Slamet pada Juni 2021 lalu, saya mendapatkan nasihat dari seorang teman kos mengenai bahaya mendaki dalam jumlah ganjil ini. Dia tahu bahwa saya akan mendaki gunung bersama 2 orang teman. Walaupun tidak sampai geger, keyakinan teman kos saya ini seperti orang yang sudah sering naik gunung. Padahal mitos pendakian gunung ini juga dia dengarkan dari orang lain. Dia sendiri bukan orang yang suka mendaki gunung.

Tiga hari setelah kejadian nasihat konyol itu saya pulang dari pendakian dengan membawa badan utuh tanpa cela, walau badan tentu saja pegal-pegal. Saya menyapa teman kos dan dia hanya tersenyum sinis. Saya pikir dia sudah tahu maksud sapaan saya itu.

Menurut saya, mendaki gunung dalam jumlah ganjil itu tidak masalah. Yang masalah adalah mendaki gunung tapi persiapannya yang justru ganjil. Itu yang bisa jadi masalah. Masalah besar malahan!!!

Penulis: Taufik
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 3 Mitos Gunung Arjuno yang Saya Patahkan Saat Pendakian.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version