Makam selalu menarik perhatian. Orang akan membicarakan siapa yang bersemayam, hingga “siapa” saja yang ikut “bersemayam” di daerah tersebut. Makam membuka banyak pembicaraan, terlebih makam orang-orang terkenal. Dan kali ini, kita akan bicara tentang makam Joko Sampurno, anak Joko Tingkir.
Joko Tingkir yang bernama asli Mas Karebet merupakan seorang anak dari Kebo Kenongo. Selama perjalanannya, Joko Tingkir ini sempat menjalin kisah asmara dengan Syekh Leduni istri dari Juru Mertani, yaitu orang yang dipercaya oleh Joko Tingkir di Kesultanan Pajang. Juru Mertani ini adalah seorang sepuh yang menjaga kesehatan Joko Tingkir. Namun, karena akhirnya diketahui tentang perselingkuhan antara Syekh Leduni dengan Joko Tingkir hingga mengandung seorang anak, Syekh Leduni kemudian diasingkan dari kesultanan.
Beberapa versi cerita
Berbicara tentang cerita di atas, sebenarnya terdapat beberapa versi yang beredar terkait cerita rakyat tentang makam yang bertempat di Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen ini. Saya yang kebetulan melangsungkan Kuliah Kerja Nyata di Desa Poleng kemudian tertarik untuk mencari tahu akan kisah yang beredar pada warga desa terhadap makam yang berada di sekitar pemukiman tersebut.
Punden Bawang adalah nama dari makam yang akan saya ceritakan kali ini. Makam ini cukup terkenal di Desa Poleng karena menyimpan cerita yang secara turun-temurun selalu diwariskan kepada anak dan cucunya. Yaitu sebuah folklore tentang tiga buah makam yang berada di dalam sebuah bangunan sederhana yang menutupi makamnya.
Punden sendiri menurut KBBI memiliki arti makam keramat yang dihormati pada suatu daerah. Makam ini bertempat di Dukuh Bawang, Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen, dengan posisi tanah Punden agak lebih tinggi dibanding sekitarnya, selayaknya tempat pemakaman di daerah Indonesia. Hanya saja, di tengah-tengah dari area tersebut, tidak ada makam lain seperti tempat pemakamam pada umumnya, dengan kata lain hanya makam itu saja.
Sekelilingnya hanya dipenuhi dengan pepohonan besar dan rumput liar. Mengingat karakteristik Desa Poleng yang terbilang cukup luas dan masih memiliki area pemukiman warga yang tidak terlalu padat antar rumahnya, keberadaan makam yang mencokol sendiri ini menjadi pertanyaan menarik terkhusus bagi saya. Makam siapa ini? Dan kenapa ada di sana?
Misteri Punden Bawang
Rasa penasaran saya akan keberadaan makam ini kemudian membawa diri saya untuk akhirnya bertanya kepada Kepala Desa, jadi sebenarnya Punden Bawang itu apa dan makam siapa.
Pak Pujiono, selaku Kepala Desa ketika saya KKN menjelaskan bahwa makam ini ada kaitannya dengan Joko Tingkir, atau bisa dibilang juga Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang
“Ini itu makamnya Joko Sampurno, anaknya selir Sultan Hadiwijaya atau biasa disebut Joko Tingkir.”
“Jadi dahulu Syekh Leduni yang sedang mengandung anak dari Sultan Hadiwijaya diusir dari Kesultanan bersama dengan seorang pembantunya.”
Setelah saya mendengar sedikit penjelasan beliau, maka tidak heran jika sewaktu pertama kali saya bersama tim KKN tiba di lokasi penempatan, Punden Bawang ini disebutkan sebagai salah satu potensi wisata yang dimiliki desa. Karena mendengar dari apa yang disampaikan secara sekilas oleh pak Pujiono, latar belakang dari makam ini cukup menarik.
Pak Pujiono kembali melanjutkan ceritanya terkait makam ini, beliau menjelaskan bahwa Joko Sampurno tidak diakui oleh Joko Tingkir sebagai anaknya dari selirnya Syekh Sampurno.
“Sultan Hadiwijaya tidak mau mengakui Joko Sampurno sebagai anaknya, maka ia kemudian memberikan syarat kepada Joko Sampurno agar diakui menjadi anaknya. Yaitu caranya dengan menyuruh Joko Sampurno membawakan Sultan Hadiwijaya sebuah bawang yang sangat besar.”
Sampai di Dukuh Bawang
Selepas itu Joko Sampurno berkelana mencari bawang yang besar hingga sampailah ia di Dukuh Bawang, Desa Poleng. Namun hingga akhir masa hidupnya, Joko Sampurno tidak kunjung mendapatkan bawang yang besar. Sehingga Joko Sampurno bersama dengan ibunya yaitu Syekh Leduni, juga bersama satu orang pembantunya menua di Dukuh Bawang, Desa Poleng sampai akhirnya dimakamkan secara bersamaan di tempat yang sekarang dikenal sebagai Punden Bawang.
Namun, dari sesi cerita Pak Pujiono kepada saya dan teman-teman KKN yang lain, beliau tetap menyarankan saya untuk menghubungi pak Bayan Bawang untuk menanyakan lebih jelasnya lagi. Karena masih terdapat beberapa versi yang beredar, tuturnya.
Perlu diketahui juga bahwa Pak Bayan adalah seseorang yang memimpin sebuah Kebayanan yang ada di sebuah desa. Merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa dalam Wilayah Kabupaten Sragen. Dijelaskan pada BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat h; Kebayanan adalah bagian wilayah dalam Desa yang terdiri dari satu atau beberapa dukuh yang memiliki lingkungan kerja pelaksanaan Pemerintahan Desa yang memiliki batas-batas tertentu.
Maka saya segera menghubungi Pak Bayan Bawang selaku Kebayanan yang menjadi lokasi Punden Bawang ini berada. Namanya Pak Wawan, beliau kemudian mengarahkan saya untuk sekalian melihat-lihat lokasi Punden Bawang, dan memberikan arahan jika ingin mengulik lebih jauh tentang Punden Bawang bisa bertanya pada salah satu yang paham akan ceritanya. Mbah Sastro adalah salah satu orang yang diwariskan cerita tentang Punden Bawang secara turun temurun.
Lurah Desa Poleng
Mbah Sastro ini adalah mantan Lurah Desa Poleng, dan dari yang diceritakan olehnya, beliau ini sempat diceritakan oleh neneknya tentang keberadaan Punden Bawang. Selama penuturan saya dengan Mbah Sastro terkait Punden Bawang, ternyata ada beberapa perbedaan cerita yang disampaikan dengan Pak Pujiono tadi.
Menurut cerita dari Mbah Sastro diceritakan bahwa dalam Kesultanan Pajang yang mana Joko Tingkir sebagai raja atau sultannya, mempunyai satu orang kepercayaan yang bertugas untuk menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya, yaitu disebut Juru Mertani. Pada suatu waktu, Juru Mertani mendapat tugas dari Joko Tingkir yang ditempatkan di Demak.
Joko Tingkir yang merupakan raja dari Kesultanan Pajang lantas menyambangi Juru Mertani yang sedang berada di Demak, untuk meninjau kinerja Juru Mertani. Dalam kunjungannya ke Demak ini, ternyata Joko Tingkir jatuh cinta dengan salah seorang wanita di sana, yang tidak lain adalah istri dari Juru Mertani itu sendiri, bernama Syekh Leduni.
“Setelah tahu istrinya Juru Mertani, Joko Tingkir jatuh cinta. Ya dia selingkuh dengan istrinya Juru Mertani sampai punya anak satu.” Ucap Mbah Sastro.
“Joko Tingkir ini memang mempunyai beberapa selir, tidak hanya Prameswari tok, dan semakin hari kemudian ketahuan salah satu selirnya perutnya membesar, karena sedang mengandung seorang anak. Karena dari situ, Syekh Leduni kemudian diusir dari Pajang.”
Baca halaman selanjutnya….
Menyingkir dari Kesultanan Pajang
Menurut Mbah Sastro, kepergian Syekh Leduni yang diusir dari Kesultanan Pajang ini ditemani oleh seorang pembantunya. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Leduni di Dukuh Bawang yang dahulu Dukuh Bawang ini menurut Mbah Sastro bernama Tanjungsari. Hingga melahirkan anak yang sedang dikandungnya selama ini, kemudian anak itu diberi nama Joko Sampurno.
Setelah besar, Joko Sampurno ini mempertanyakan siapa ayah kandungnya selama ini. Karena sehari-hari hidup hanya bersama ibu dan pembantunya. Joko Sampurno kemudian berinisiatif bertanya pada ibunya, siapa ayahnya. Maka ibunya akhirnya memberi tahu Joko Sampurno bahwa Joko Tingkir adalah ayahnya, ialah seorang Raja Kesultanan Pajang.
Joko Sampurno yang mengetahui kenyataan itu dari ibunya menjadi bersemangat untuk menemuinya. Menurut Mbah Sastro, percobaan Joko Sampurno untuk bertemu ayahnya Joko Tingkir terhitung dua kali. Pada sowan pertama gagal, dan Joko Sampurno tidak diakui oleh Joko Tingkir sebagai anaknya.
“Pada sowan pertama, Joko Tingkir nggak percaya dengan Joko Sampurno. Kemudian pulanglah Joko Sampurno kembali, dan bercerita kepada ibunya.”
Mencari Joko Tingkir
Semakin dewasanya Joko Sampurno, keinginannya untuk bertemu dan diakui oleh ayahnya Joko Tingkir masih ada. Joko Sampurno kemudian izin ke ibunya untuk kembali datang ke Keraton agar diakui. Ibunya yang saat itu sudah tua, kali ini mengizinkan dan meminta Joko Sampurno untuk membawa hasil pertanian berupa bawang merah yang besar.
“Ya kamu kalau sowan ke Keraton bawalah ini, bawang merah besar. Tunjukan pada ayahmu bawang ini hasil pertanian. Kurang lebih seperti itu perkataan ibunya pada Joko Tingkir” Sambung Mbah Sastro.
“Jika kamu akhirnya berhasil diakui olehnya, ketika pulang maka bawalah sebuah batu maesan. Begitulah perintah Syekh Leduni kepada anaknya.”
Akhirnya dengan sowan yang kedua sambil membawa hasil pertanian berupa bawang, Joko Sampurno pun diakui oleh Joko Tingkir sebagai anaknya. Saat pulang kembali ke ibunya, Joko Sampurno tidak lupa untuk membawa batu maesan.
Maka karena hal itulah, Joko Sampurno kemudian cukup dihormati oleh warga sekitar. Sebelum Syekh Leduni meninggal, ia sempat berpesan pada anaknya bahwa nanti warga sekitar akan mengunjungi Joko Sempurno karena kabar tentang Joko Sampurno adalah anak dari Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang telah tersebar. Syekh Leduni pun kemudian meninggal, begitupun dengan pembantunya, dan karena menjadi sebatang kara, Joko Sampurno juga kemudian tutup usia. Dengan begitu, makam Syekh Leduni, Joko Sampurno, dan pembantunya kemudian dimakamkan di tempat yang sekarang bernama Punden Bawang.
Meskipun begitu, hingga kini Punden Bawang tetap menjadi salah satu makam di Desa Poleng yang cukup sakral oleh warga sekitar, maupun beberapa orang di luar desa yang tahu akan cerita soal makamnya. Beberapa warga sekitar seringkali ketika mendapat hal baik, ataupun hasil panen yang melimpah, pada bulan-bulan tertentu kerap melakukan sadranan di Punden Bawang.
Menjaga tradisi
Tidak sembarangan orang yang diperbolehkan masuk ke dalam bangunan untuk melihat ketiga makam di dalamnya, akan tetapi jika hanya melihat-lihat saja dari luar masih diperkenankan, tutur Mbah Sastro.
Dari cerita di atas, terdapat sedikit perbedaan dengan apa yang disampaikan pak Pujiono terkait Joko Sampurno yang diakui dan tidak diakuinya oleh Joko Tingkir. Mbah Sastro pun menyampaikan bahwa cerita ini memang diwariskan secara turun temurun, dan tidak ada bentuk fisiknya seperti buku sejarah Punden Bawang. Maka ketika terjadi beberapa perbedaan versi cerita yang beredar menjadi sebuah hal wajar.
Bagi saya ini menjadi sebuah hal menarik, ketika sebuah folklore apabila terus dilestarikan akan tetap menjaga tradisi yang ada dan mungkin bisa memunculkan sebuah tradisi baru. Perihal percaya atau tidak, hal itu tentu saja dikembalikan kepada mereka pada bagaimana menyikapi hal ini. Satu hal yang jelas adalah keberadaan makam ini benar adanya,. Bagi siapapun yang ingin mengunjungi atau melihat langsung ke lokasi, silakan datang saja ke Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen. Tepatnya berada di Dukuh Bawang.
Penulis: Rizky Surya Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Misteri Makam Syekh Jumadil Qubro di Puncak Turgo