Mie Gacoan, siapa yang nggak kenal? Mie ini sudah menyebar hampir seantero nusantara. Restoran ini menjual mie pedas dengan sistem pemesanan ala-ala franchise cepat saji, ini sempat (dan mungkin masih) menjadi primadona di kalangan pecinta kuliner, khususnya anak muda. Dengan harga ramah di kantong, rasa yang menggugah selera, dan tempat yang terbilang cukup nyaman untuk ngobrol hingga curhat soal gebetan. Gacoan berhasil membangun ekosistem loyal penggemar.
Tidak heran kalau cabang franchise mi yang satu ada di mana-mana. Di Kota Solo saja bahkan ada sekitar 4-6 gerai Mie Gacoan. Tapi, menurut saya, dari banyaknya gerai yang ada. Menu di Gacoan ya cuma itu-itu saja. Nggak ada yang berubah. Walaupun masih tetap ramai peminat kuliner satu ini, tapi nggak ada salahnya buat mikir perlu adanya inovasi menu.
Brand kuliner sekelas Gacoan harusnya tahu bahwa lidah manusia itu cepat bosan. Bahkan, Indomie aja sibuk ngeluarin varian baru. Masak iya Gacoan kalah sama Mie Instan?
Pasar yang mulai jenuh dan ramai peniru: Mie Gacoan harus lebih dari sekadar pedas dan murah
Beberapa tahun lalu, mungkin hanya Mie Gacoan yang menyajikan mie pedas dengan topping variatif dan snack pelengkap. Namun, sekarang ini? Hampir setiap kota kita bisa dengan mudah menemukan mie dengan rasa dan tampilan yang Gacoan banget.
Bahkan, fenomena ini saya temukan waktu berkunjung ke rumah bulik yang berada di Sokaraja, Banyumas. Di sana ada warung biasa, menyatu dengan rumah tinggal dan uniknya diberi nama “Warung Mie GetCuan”, apakah ini cuma sekedar plesetan? Saya rasa tidak. Karena penasaran, saya mampir ke warung tersebut.
Saat melihat menu, saya langsung berkata dalam hati “Wah, ini sih KW-nya Gacoan.” Menunya mirip banget. Mulai dari bikin mie dengan berbagai level kepedasan hingga topping ala Gacoan. Snack pelengkapnya juga mirip plek ketiplek. Ada udang keju, udang rambutan sampai siomay atau dimsum. Gawatnya lagi, ini enak beneran. Bahkan lebih murah, lebih mantap dan tanpa mengantre.
Menurut saya, persaingan dari bawah itu lebih berbahaya. Kompetitor besar seperti WizzMie mungkin masih di luar radar Gacoan secara langsung. Tapi, pesaing kecil dan UMKM inilah yang sering bikin repot. Mereka lincah, adaptif, dan lebih dekat ke pasar.
Belajar dari kasus KFC, produk kuat tak selalu cukup
Di luar konteks boikot, kita bisa belajar banyak dari cerita KFC di Indonesia. Meski masih menjadi salah satu pemain utama ayam goreng cepat saji, brand ini mulai kehilangan eksklusivitas rasa. Ayam goreng tepung ala KFC sudah jadi produk masal, dari warteg, kaki lima sampai frozen food di minimarket.
Ayamnya sih masih sama, tapi rasanya nggak lagi istimewa. Mari kita jujur: rasa ayam KFC tidak berubah banyak sejak dulu. Tepungnya renyah, dagingnya lembut, ya begitulah. Tapi, masalahnya bukan pada rasa itu sendiri, melainkan pada rasa di hati. Dulu KFC itu spesial. Momen langka, biasanya buat traktiran habis gajian atau ulang tahun. Tapi sekarang? Ada banyak pesaing lokal yang rasanya mirip, harganya lebih murah dan lokasinya lebih dekat.
Pesaing mulai muncul dari segala penjuru. Siapa sangka, penantang KFC bukan McDonald’s atau Texas Chicken, tapi justru anak-anak muda bermodal kecil dengan ide besar. Ayam geprek? Siapa yang nyangka itu bisa sebesar sekarang? Lalu muncul ayam sambal matah, ayam salted egg, ayam cabai ijo, semua dengan harga lebih miring dan variasi sambal tak terbatas.
KFC sebenarnya juga tidak tinggal diam menikmati nasib. Mereka coba banyak cara: menu nasi uduk, ayam korea, burger nasi bahkan kolaborasi dengan tokoh-tokoh pop culture. Tapi, sering kali upaya ini terasa seperti tambal sulam. Muncul sebentar, viral lalu menghilang tanpa bekas. Mungkin inovasi ini terlambat datang, sudah keduluan pemain lain yang buat menu mirip-mirip hingga bisa menggeser eksistensi KFC.
Pelajaran untuk Mie Gacoan (dan siapa saja yang mau bertahan). Mie Gacoan dan banyak brand lainnya, bisa belajar banyak dari KFC. Jangan pernah merasa terlalu besar untuk disusul. Jangan pernah terlalu nyaman dengan satu formula yang dianggap “pasti berhasil”. Konsumen Indonesia bukan hanya cepat bosan, tapi juga aktif mencari alternatif. Produk kuat itu penting, tapi tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh inovasi, emosi dan pengalaman. Jangan menunggu semua orang bisa meniru kamu, baru kamu berpikir untuk berubah.
Saatnya Mie Gacoan tunjukkan level selanjutnya
Brand ini punya semua bahan untuk terus eksis: basis penggemar yang besar, sistem operasional yang rapi, harga bersahabat, dan branding yang kuat sampai level “Gacoan = Mie Pedas”. Tapi, semua itu hanya akan bertahan kalau ada kebaruan. Kalau tidak, ya siap-siap dikalahkan oleh merek-merek lain yang lebih segar, lebih lokal dan lebih berani.
Mungkin Gacoan nggak perlu mengubah menu utamanya yang sudah jadi identitas. Tapi, ingat, inovasi nggak harus radikal? Kadang, cukup dengan memainkan sisi-sisi kecil yang selama ini dibiarkan stagnan.
Rasa itu harus selalu dipancing. Salah satu cara termudah menjaga eksistensi adalah dengan bermain di menu musiman atau edisi terbatas. Bayangkan Gacoan merilis Mie Kemerdekaan edisi Agustus, dengan sambal merah-putih (ini serius, bukan sarkasme).
Adakan kolaborasi kreatif, misalnya Gacoan dengan tokoh atau karakter yang terkenal gitu. Gacoan bisa menggandeng brand minuman lokal, misal kopi susu kekinian hingga es teh manis artisan. Atau bisa juga bikin menu yang khusus di Gacoan daerah tersebut. Misal di Solo bisa kolaborasi sama es dawet legendaris Pasar Gede, dll.
Upgrade snack juga diperlukan. Siomay dan udang keju boleh deh dipertahankan, soalnya emang salah dua menu favorit. Tapi, nggak ada salahnya menambahkan menu lain. Misalnya, dumpling crispy isi keju jalapeno atau tahu isi mozzarella dengan saus sambal ala Gacoan. Lidah pelanggan dimanjakan dengan rasa baru. Kalau enak, bisa balik lagi. Kalau biasa aja, ya tetap beli yang lama. Win-win solution.
Itulah sederet pesan yang ingin saya sampaikan pada Mie Gacoan. Sebagai salah satu pelanggan, saya berharap merek satu ini akan terus bertahan. Itu mengapa, sederet pesan ini dibuat dengan tulus, bukan bermaksud menjatuhkan atau mengajak pelanggan lain beralih ke merek mie pedas lain.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Aturan Tidak Tertulis Saat Pertama Kali Makan di Mie Gacoan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
