Jika melihat realitas yang ada pada saat ini, sebagaimana bisa dilihat pada data World Bank yang bertajuk “Aspiring Indonesia—Expanding the Middle Class” disebutkan bahwa ada sekitar 114,7 juta orang Indonesia yang merupakan aspiring middle class (kelas menengah harapan). Yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak lagi miskin dan menuju kelas menengah yang lebih mapan.
Meski begitu, kelompok tersebut sebenarnya tak berbeda dengan kelompok menengah ke bawah, jika dilihat dari kacamata ekonomi dan pendidikan. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa pihak yang menuju ke jenjang yang lebih makmur dan mapan tetap tak berkutik melawan biaya pendidikan?
Daftar Isi
Dilema middle class
Saya tak mau dibilang merayakan penderitaan ya, tapi jika dibanding kelompok tidak mampu, middle class justru lebih menderita perkara kemudahan akses pendidikan. Sebentar, saya jelaskan dulu.
Banyak beasiswa untuk mahasiswa golongan tak mampu, contohnya KIP-K. Terlepas bahwa bantuan tersebut bermasalah, tapi setidaknya, mereka punya opsi. Sedangkan middle class, tak punya opsi seperti ini.
Betul, middle class jelas punya akses dan kemampuan lebih untuk membayar ketimbang golongan tak mampu. Masalahnya adalah, mereka pun sama menderitanya ketika membayar. Sudah penghasilan tak bisa dibilang tinggi, tapi oleh pihak kampus, diberi UKT setinggi langit karena dianggap lebih bisa membayar.
Misal gaji bulanan 4 juta, UKT dipatok di angka 6 juta, ya tetap saja sengsara.
Akhirnya, aspiring middle class ini tak akan pernah naik menuju high class, atau bahkan hidupnya bisa jadi mundur. Sebab, akses naik kelas, yaitu pendidikan, benar-benar bikin nafas mereka menghilang seiring waktu.
Baca halaman selanjutnya: Kelas yang (sama aja) sengsara(nya)…
Kelas yang (sama saja) sengsara(nya)
Dilahirkan oleh keluarga yang biasa-biasa saja membuat saya bersyukur akan pentingnya makna kehidupan. Banyak hal yang bisa dipetik dengan mencicipi rasa senang dan tenang atas pemenuhan kebutuhan harian yang layak. Tapi terkadang juga merasakan pahitnya kehidupan yang kurang berkenaan dengan keinginan saya dalam aspek tertentu. Dalam pendidikan misalnya.
Sebagai anak yang memiliki kecerdasan yang tidak seberapa dan berasal dari middle class, saya merasakan berbagai ketidakadilan selama menjalani masa-masa pendidikan. Baik dari SD hingga kuliah seperti sekarang ini.
Berbagai bentuk bantuan uang pendidikan tak pernah sekalipun saya rasakan. Mendaftar beasiswa, sudah rontok dengan persyaratan sertifikat lomba. Kalau mau pakai jalur reguler, harus menyertakan surat keterangan tidak mampu, yang jelas tak mungkin saya dapatkan. Padahal pemasukan keluarga saya ya tak sebanding dengan biaya pendidikan.
Aren’t we all the same?
Orang tua saya, sejauh ini, tidak pernah mengeluh biaya pendidikan yang tinggi dan tidak masuk akal ini. Tapi saya yang kena mental. Mereka memang memintaku fokus kepada pendidikan, tapi anak mana yang tak khawatir dengan orang tuanya?
PTN tidak lagi murah, dan tak akan kembali murah
Mindset masyarakat kita perlu dibenahi dalam memandang kualitas pendidikan, harusnya tak lagi berdasarkan status kampus. Kita harusnya tak lagi menilai perguruan tinggi setinggi dulu, semulia dulu.
Anggapan bahwa perguruan tinggi punya prospek cerah dan biayanya murah harus kita buang jauh-jauh. Nyatanya, kesesatan pikir tersebut bikin banyak orang tertipu. Salah satunya, saya.
Saya juga merupakan korban dari sesat pikir tersebut. Ketika saya pertama kali diinformasikan lulus SNMPTN, saya bahagia, seperti kebanyakan pemuda tanggung lainnya. Tapi, saya, sebagai anak dari anggota middle class, terkejut ketika mendapat biaya UKT yang kelewat tinggi. Saya pikir, ekonomi keluarga nggak akan “terluka”, nyatanya malah sebaliknya.
Katanya PTN murah, ini murah menurut siapa, Keluarga Bakrie?
Terlebih, lulus dari PTN tak memberi jaminan apa-apa dalam hidup. Jaminan mudah mendapat pekerjaan pun tak lebih dari omong kosong. Saya sendiri masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Baiklah, boleh menuding mungkin saya tak cakap-cakap amat. Tapi, ketika pendidikan kini tak bisa dimungkiri lagi, hanya untuk mencetak karyawan, kenapa pekerjaan tetap saja susah didapat?
Kini saya sering kali menggerutu dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Pendidikan adalah hak segala warga negara, tapi kenapa banyak yang terbebani dengan biayanya?
Pada akhirnya, middle class dan lower class “bersatu” dalam hal ini. sama-sama hancur, sama-sama terkapar jika harus berhadapan langsung dengan biaya pendidikan. Dan hanya ada satu golongan yang jelas tak terdampak. Tentu saja saya tak perlu sebutkan.
Middle class tak akan bisa naik kelas. Lower class akan selamanya mengendap di kerak tangga sosial. Semua karena pendidikan yang benar-benar mahal.
Penulis: Agung Anugraha Pambudhi
Editor: Rizky Prasetya