Pegawai kantor kelurahan dan Microsoft Word hingga kini masih jadi seteru abadi. Padahal, logikanya, nggak mungkin hal tersebut terjadi. Tapi, realitasnya seperti itu, sayangnya
Di tengah kemajuan teknologi yang makin pesat, di mana bocah SD sudah bisa bikin presentasi PowerPoint dengan efek transisi yang bikin silau, dan nenek-nenek mulai belajar pakai WhatsApp untuk arisan keluarga, masih ada satu tempat yang seperti tak tersentuh zaman: kantor kelurahan.
Kantor kelurahan, tempat suci di mana masyarakat kecil menggantungkan harapan administratif, seperti bikin surat domisili, pengantar nikah, surat tidak mampu, hingga surat keterangan belum menikah (yang kadang menyakitkan, tapi ya penting). Tapi, alih-alih mendapat pelayanan cepat dan efisien seperti yang diimpikan, banyak warga justru harus menguji kesabaran mereka.
Bukan karena antrean panjang, bukan pula karena jaringan internet yang lemot, tapi karena satu hal yang amat mendasar: pegawai kelurahan yang kurang terampil menggunakan Microsoft Word.
Iya, sesederhana itu.
Kegagapan pada Microsoft Word itu tak mengagetkan
Indonesia bukan negara yang miskin teknologi. Dari desa sampai kota, pemerintah menggaungkan program “digitalisasi pelayanan publik”. Banner tentang “Kelurahan Ramah Digital” terpajang gagah di dinding luar kantor. Tapi begitu masuk, warganya justru disambut oleh pegawai yang masih membuka file Word dengan raut wajah waswas, seolah-olah takut dokumen itu akan meledak.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak pegawai kantor kelurahan yang memang tidak pernah mendapat pelatihan komputer yang layak. Kalaupun ada, pelatihannya kadang hanya formalitas belaka—absen, makan siang, tanda tangan, lalu pulang bawa sertifikat. Microsoft Word? Paling banter diajarkan bikin tulisan “Selamat Datang” di ukuran font 72 dan dicetak warna-warni. Bikin surat resmi dengan template rapi dan tanda tangan digital? Maaf, itu masih jadi ilmu langit.
Akhirnya, tiap kali ada warga datang minta surat pengantar, prosesnya berubah jadi semacam pertunjukan drama: kursor hilang, paragraf loncat-loncat, huruf mendadak miring, atau tulisan yang tiba-tiba jadi huruf Arab entah kenapa.
Surat pengantar yang tak kunjung tiba
Pengalaman Fajar—seorang warga biasa yang hanya ingin mengurus surat pengantar domisili untuk pindah kerja—jadi contoh nyata betapa pelayanan dasar bisa begitu menyiksa. Dia datang pagi-pagi dengan harapan surat bisa selesai sebelum makan siang. Tapi kenyataannya?
“Sebentar, Mas. Komputernya ngehang.”
“Ini font-nya kok kecil semua, ya?”
“Eh, ini marginnya ke mana?”
Tiga puluh menit berlalu, pegawai vs Microsoft Word masih berlangsung. Printer baru menyala setelah diminta lima kali. Surat pun akhirnya tercetak, tapi posisi kepala surat melenceng ke kanan, dan nama Fajar tertulis “Fajjar” dengan dua J. Si ibu pegawai tertawa kecil, “Wah, maaf ya, Pak. Ulang lagi ya.” Dan dimulailah siklus yang sama.
Kita, sebagai rakyat biasa, tentu bingung. Di mana letak digitalisasinya kalau pegawai masih salah klik tombol “Bold” dengan “Insert Picture”? Bukannya ingin menuntut kesempurnaan, tapi ya masa iya urusan administratif sesederhana ini jadi sepelik skripsi mahasiswa abadi?
Pegawai kelurahan vs Microsoft Word: antara tak punya waktu dan tak diberi kesempatan belajar
Mari kita luruskan satu hal: kegagapan terhadap Microsoft Word ini bukan semata-mata salah pegawai kelurahan. Banyak dari mereka dulunya bukan lulusan komputer atau administrasi modern. Mereka belajar sistem secara manual, tulis tangan, atau ketik pakai mesin tik. Lalu, tiba-tiba sistem berubah—semua jadi digital, semua harus online, semua harus cepat. Tapi pemerintah lupa: keterampilan tidak tumbuh dalam semalam.
Apalagi keterampilan Microsoft Word, makin tidak mungkin tumbuh dalam semalam, setahun, bahkan beberapa tahun.
Banyak pegawai yang sebenarnya ingin belajar, tapi tak punya akses. Komputer kantor hanya satu, dipakai bergantian. Kursus komputer mahal dan waktu kerja tak fleksibel. Ada juga yang takut salah, karena tiap kesalahan dianggap “tidak profesional”. Padahal ya, manusia wajar kalau masih salah pencet tombol.
Ironisnya, kadang mereka justru lebih fasih main TikTok dan kodok Zuma daripada bikin table di Word. Tapi ya gimana, TikTok lebih ramah pengguna. Microsoft Word? Nggak bisa ngedit font langsung dari filter.
Baca halaman selanjutnya
Digitalisasi yang tidak asal digital
Kalau pemerintah benar-benar ingin pelayanan publik jadi cepat, efisien, dan ramah teknologi, ya jangan cuma modal pasang WiFi dan beli komputer baru. Pegawai juga harus dibekali pelatihan yang layak—bukan pelatihan instan yang berakhir jadi ajang selfie sambil pegang sertifikat.
Pelatihan Microsoft Word dasar, mulai dari bikin surat dengan format resmi, menyimpan dokumen yang rapi, hingga menghindari kesalahan dasar (seperti mengetik langsung di halaman kosong tanpa margin)—itu semua penting. Dan harus diulang berkala, karena teknologi juga terus berkembang.
Tak hanya itu, harus ada sistem template yang seragam. Jadi pegawai tinggal isi data warga, bukan bikin ulang surat dari nol setiap hari. Hemat waktu, hemat stres, dan warga pun senang.
Microsoft Word memang kadang menyebalkan. Tapi dia bukan musuh. Dia hanya perlu dipahami. Dan untuk itu, pegawai kelurahan perlu diberi kesempatan untuk belajar, bukan hanya dituntut bisa.
Kita tidak bisa berharap pelayanan publik maju kalau SDM-nya dibiarkan gagap teknologi. Karena ya jujur saja, urus surat pengantar itu mestinya tidak lebih lama dari bikin status galau. Masa iya bikin surat keterangan belum menikah lebih ribet daripada proses patah hatinya?
Penulis: Rahul Diva Laksana Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 10 Fitur Microsoft Word yang Perlu Dikuasai Mahasiswa yang Sedang Skripsi
