Merajut Persatuan Melalui Tirakatan

tirakatan

tirakatan

Bulan Agustus telah tiba. Tak perlu menunggu hisab ataupun ruqyat, pokokmen kalau di pinggir jalan sudah muncul pedagang umbul-umbul dan bendera bisa dipastikan kita sudah masuk bulan Agustus.
Rasanya sudah wajib hukumnya untuk memasang bendera dan umbul-umbul di jalanan kampung, menghias gapura masuk kampung dengan eblek (nampan) yang dicat merah putih dengan tulisan 17 – 08 – 45.

Sebegitu semangatnya warga menyambut bulan bersejarah bagi bangsa indonesia tersebut. Kesibukan menyiapkan serangkaian acara perayaan tujuhbelasan terasa ghirahnya di mana mana.
Tak ketinggalan acara yang sudah menjadi tradisi di kampung saya setiap tahun, yaitu acara tirakatan. Acara yang pada dasarnya berasal dari kata tirakat atau laku menahan hawa nafsu. Sekalipun hanya menahan hawa nafsu untuk tidur awal, namun tetap saja sudah masuk perilaku tirakat.

Di kampung saya acara tirakatan diselenggarakan dengan berkumpulnya seluruh warga kampung. Dari yang masih nyusu hingga yang sudah uyuk uyuk (baca : jalan membungkuk) semua hadir di balai kampung.

Acara dimulai dengan persembahan nyanyian lagu nasional (biasanya Indonesia Raya dan Dari Sabang Sampai Merauke) dari sekelompok paduan suara anak anak yang hanya latihan setahun sekali setiap tanggal 16 Agustus. Anak anak ini menyanyi dengan penuh antusias. Saking antusiasnya, mereka seringkali melupakan melodi dan harmoni dalam menyanyi. Yang paling parah kalau mereka lupa lirik, akan ada sesi saling lirik antar personil seolah saling bertanya kelanjutan lirik lagu yang dinyanyikan. Sesuai dengan yang diperintahkan pelatih sewaktu latihan sing penting nyanyi sing semangat. Tak mau tahu dengan pemain keyboard yang susah payah menyelaraskan nada pokok men nyanyi. Karena bagi anak anak tersebut sudah merupakan suatu kebanggaan bisa ditunjuk untuk bernyanyi di depan kedua orang tua dan orang tua kawan kawannya.

Acara dilanjutkan dengan pembacaan doa tahlil untuk para pahlawan dan pembacaan mushaf Alquran 30 juz. Kemudian ada prosesi potong tumpeng seperti peringatan ulang tahun pada umumnya.

Tirakatan biasanya berakhir tengah malam setelah selesai mauidzoh khasanah dari sesepuh kampung yang berusaha penuh pikiran untuk menyisipkan nilai-nilai kebangsaan dalam ceramah agama dibalut humor-humor receh untuk sebisa mungkin mencairkan suasana yang semakin suntuk.

Beberapa ibu harus rela meninggalkan acara lebih awal karena anaknya rewel minta pulang. Ada pula yang tetap bertahan sambil mengelus elus kepala anaknya yang tidur pulas di pangkuannya. Sementara itu, kepulan asap terus membumbung dari sisi bapak-bapak yang mencoba tetap terjaga setelah tadi siang bekerja keras di ladang atau di pabrik tekstil terdekat.

Mungkin banyak warga kampung (terutama yang sudah sepuh) yang tidak mengerti kata nasionalisme ataupun patriotisme. Namun bagi kami, acara tirakatan inilah bukti nyata kecintaan kami pada negeri Indonesia tercinta. Sebuah acara yang mampu mempertemukan kami semua dalam satu waktu satu tempat untuk bersama sama membangun persatuan dari tingkat RT atau RW sekaligus berdoa bersama sama untuk kebaikan dan kemajuan Ibu Pertiwi.

Dalam acara yang semuanya serba apa adanya ini, mulai dari kepanitiaan, lagu persembahan yang itu itu aja, hingga snack yang dihidangkan. Kami semua berusaha mengajarkan kepada anak anak generasi penerus bangsa bahwa perjuangan pahlawan itu benar adanya bahwa persatuan mampu mengalahkan mesin canggih dalam pertempuran. Meskipun paling mentok MC hanya menceritakan kisah proklamasi dan perjuangan Pangeran Diponegoro yang heroik ditambah teriakan “MERDEKA” yang secara ajaib mampu membangunkan jiwa jiwa yang sudah mengantuk.

Kami menghadiri acara ini tanpa undangan karena tirakatan sudah menjadi acara tahunan yang seolah olah wajib dihadiri. Kami semua hadir dengan ikhlas untuk merayakan malam ulang tahun Indonesia dengan harapan ada perubahan dan kemajuan di Indonesia melalui doa dan bacaan Al Quran yang dipanjatkan. Mugo Gusti ngijabahi.

Kami semua rakyat biasa yang tak berdaya. Tak bisa pidato panjang lebar di tv, tak berani protes terhadap lamanya proses pembuatan blangko e-ktp, tak mampu menurunkan harga telur dan cabai. Kami hanya bisa terus bersatu dan menanamkan persatuan kepada anak anak di kampung kami untuk kebaikan Indonesia di masa sekarang dan di masa mendatang. Karena di pundak merekalah masa depan negeri ini. (*)

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.
Exit mobile version