Ketika mendengar nama atau melihat sebuah mobil jip tua, yang terbayang Toyota Hardtop. Sebagian besar generasi 90an, hampir pasti punya satu framing yang sama tentang mobil ini. Ya, Hardtop kadung melegenda sebagai mobil penculik berkat tayangan sinetron hingga pertengahan era 2000an.
Selain lekat dengan aksi culik menculik, Toyota Hardtop ini pun biasa digunakan tokoh antagonis dalam berbagai adegan aksi kejahatan. Pokoknya, apa pun sinetronnya, apa pun tindak kejahatannya, Toyota Hardtop mobilnya. Sama halnya RX-King yang lekat dengan image motor jambret itu.
Waktu kecil dulu, kalau pulang sekolah atau saat main sama teman-teman, tiap lihat mobil ini melintas di jalan, atau melihatnya mendekat dari kejauhan, bawaannya langsung merinding ngeri.
Indah sekali masa itu memang, ketika ketakutan terbesar dalam hidup cuma sebatas rasa takut diculik tiap ngeliat Toyota Hardtop, belum terpikir kelak akan ketakutan khas quarter-life crisis, macam sulitnya mencari kerja, memutuskan pilihan untuk menikah, melunasi cicilan KPR tiap bulan, dan keruwetan hidup lain yang mungkin akan menghampiri.
Ketika dewasa, Toyota Hardtop, sebagai mobil yang pernah begitu ditakuti, kini malah disukai. Kekar, macho, laki banget rasanya kalau bisa nyetir Hardtop menyusuri jalanan kota.
Ditambah populasinya di kota-kota besar kini memang sudah sedikit. Hardtop termasuk kategori mobil hobi, dan biasanya jadi mainan pejabat juga para perwira.
Nah, sekilas tentang Toyota Hardtop, Nama resmi sesuai akta kelahirannya adalah Toyota Land Cruiser FJ40. Kode F bermakna bahwa ini varian Land Cruiser bermesin bensin seri 2F enam silinder segaris, tentu masih karburator, berkapasitas 4.230 cc. Disambung ke girboks manual 3 percepatan dan penggerak roda 4×4. Selain FJ40, ada juga BJ40 yang bermesin diesel.
Menilik spesifikasi sudah terbayang sangarnya kemampuan Hardtop melibas tanjakan curam dan trek kasar tanpa lapisan aspal. Namun, larinya melempem di trek mulus nan datar.
Secara umum, Land Cruiser FJ40 yang beredar di Indonesia terdiri dari tiga versi bodi. Pertama bak terbuka, lalu atap kanvas (soft top), dan versi terakhir yang banyak dimiliki kalangan sipil, beratap karoseri plat besi rigid alias hard top. Entah bagaimana ceritanya, nama Toyota Hardtop kemudian hari melekat sebagai panggilan sayang.
Dan untuk kali pertama, akhir tahun lalu. Saya berhasil menjajal rasanya Toyota Hardtop. Merasakan bagaimana sensasi berwisata naik Hardtop di kawasan Bromo.
Semula, saya tidak menyangka kalau Toyota Hardtop di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, jumlahnya amat sangat melimpah sebagai angkutan wisata. Lebih menjamur dari keberadaan Calya-Sigra, atau Avanza-Xenia yang biasa ditemui sebagai mobil taksi online di kota. Mungkin traffic jalanan sini isinya 90% mobil Hardtop.
Perjalanan wisata mengarungi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kali ini, menggunakan FJ40 alias Hardtop bensin keluaran tahun 1976 berwarna merah cabe. Hampir 44 tahun usianya, namun secara fisik tampil prima, jauh dari kesan mobil tua rewel bin mogokan.
Di usia 44 tahun, Toyota Hardtop ini hampir saban hari masih harus dipacu naik turun gunung dengan muatan penuh. Bersama pawangnya, yang memperkenalkan diri pada saya sebagai Bambang, lelaki paruh baya asli suku Tengger yang selama enam tahun belakangan, mengemudikan mobil jip Hardtop miliknya sendiri melayani wisatawan.
Pagi buta, demi mengejar sunrise, Toyota Hardtop dipacu cukup kencang melibas jalanan tanah berpasir yang lebarnya hanya muat dua mobil. Sisi kiri dan kanan adalah jurang terjal. Bambang, dengan santai, melajukan jip Hardtop, tak jarang menyalip Hardtop lain, di jalan dengan celah sempit dan berliku itu. Mungkin shock therapy biar penumpangnya nggak ngantuk.
Kelihaiannya menguasai tiap jeglogan dan tikungan tak diragukan, seakan-akan mengemudi dengan mata merem pun bisa. Dia tahu persis kapan harus belok atau menghindari rintangan, macem Takumi di Initial D namun bedanya dia mengemudikan jip. Ya jelas lihai, lha makanan sehari-hari dia.
Sejumlah pertanyaan saya terjawab melalui obrolan selama perjalanan. Di antaranya tentang jumlah Toyota Hardtop yang beroperasi jadi angkutan wisata. Menurutnya, ada sekitar 2.000 unit Hardtop terbagi dalam sejumlah paguyuban di empat kabupaten.
Lalu kenapa jip wisata di sini begitu spesifik menggunakan Hardtop padahal ada banyak jenis mobil 4×4 lain, seperti Jimny, Taft, Land Rover, atau Jeep Willys. Dan mayoritas bermesin bensin pula, yang dari jaman jebot memang sudah terkenal konsumsi bensinnya 1:14.
Sembari menggeser tuas transfer case untuk masuk ke mode gerak empat roda, Hardtop perlahan mulai bergerak merayapi tanjakan curam nan berliku. Bambang menunjukkan betapa andalnya Hardtop melibas tanjakan dengan lancar tanpa ngeden, dengan muatan penuh total sembilan orang.
“Bensin lebih bertenaga buat nanjak panjang begini mas, kalau diesel biasanya ngempos di tengah, jadi harus cekatan ambil ancang-ancang. Belum lagi bau asapnya yang tamu kurang senang.” Ujarnya.
Benar saja, di spot pertama, Penanjakan. Jalanan sangat dipadati oleh Hardtop dan wisatawan yang masih harus jalan kaki menuju spot melihat sunrise. Terbayang kalau kondisi padat begini harus menghirup pekatnya bau asap diesel dari ratusan Hardtop.
Menurut Bambang, sekali trip ke empat titik favorit, yakni Penanjakan, Padang Savanna, Bukit Teletubbies, dan Pasir Berbisik menghabiskan setidaknya 20-25 liter bensin. Boros? Ya maklum mesin lawas teknologi sederhana, efisiensi kinerja mesin belum sebaik mesin masa kini.
Tapi karena kesederhanaan itu, Hardtop cukup mudah dirawat. Bambang mengaku perawatan mobilnya biasa dikerjakan sendiri, selama tidak sampai turun mesin dan bongkar kaki-kaki. Ia pun menuturkan belum pernah mengalami masalah berarti di tengah jalan selama mengantar tamu.
Lalu, apakah ada modifikasi khusus untuk menunjang kemampuan Hardtop mengingat pola pemakaian hariannya cukup ekstrem? Satu-satunya modifikasi yang dilakukan hanya menambahkan seperangkat power steering hidrolis copotan bekas Kijang. Kebayang juga sih beratnya kalo belum ditambahi power steering.
Namun ada hal yang dikeluhkan Bambang mengenai Toyota Hardtop, yaitu harga jualnya yang kini malah melambung. Dulu Hardtop ini ia dapatkan di angka Rp90 juta saja dengan kondisi hidup normal, body tidak keropos. Sekarang, memburunya saja makin susah, Rp150 juta pun belum tentu dapat.
Setelah saling bertukar kontak, ia berpesan agar segera memberitahunya kalau di tempat saya ada Hardtop yang dijual.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Puncak Kenikmatan Bersantap itu Bernama Teh Tubruk Hangat atau tulisan M. Dzulfikri Firdaus lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.