Ibu saya pernah menjelaskan dengan teori paling sederhana, dengan pemahaman khas orang kampung yang sangat ringan perihal tanda-tanda akhir zaman. Beliau menjelaskan dengan bercerita yang kurang lebih maksudnya begini: tanda paling penghabisan menjelang hari akhir sebelum matahari terbit dari barat adalah munculnya Dajjal si pemfitnah. Sik, bentar, saya kok tiba-tiba merinding. Oke kita lanjut, nah kalau kata ibu saya, Dajjal sekarang sedang di-cancang (bahasa ibu saya untuk diikat atau ditali kekang) di neraka.
Dajjal diikat dengan menggunakan rantai yang berupa kalimat azan. Ibu menerangkan, pokoknya selama azan masih berkumandang maka selama itu pula Dajjal nggak bakal turun ke bumi. Konon, ibu memperoleh cerita tersebut dari salah satu sesepuh di desa kami. Dan sesepuh tersebut konon juga pernah belajar ngaji ke salah satu kiai termasyhur di kabupaten kami. Meski saya sendiri belum pernah mengonfirmasi soal riwayat mengenai itu dari kitab-kitab induk, paling tidak sebagai orang pertama yang saya dengar tuturnya, ibu saya nggak bercerita dengan mengada-ada. Beliau memperoleh informasi tersebut dari pengajian rutinan, sanadnya musalsal (bersambung) wqwqwq~
Walaupun misalnya keterangan ibu tersebut nggak terkonfirmasi di kitab manapun, saya tetep bakal meyakini itu sebagai sebuah kebenaran. Sebab dengan logika sederhana saja apa yang dipaparkan ibu saya sudah sangat masuk akal. Begini, yang sering kita dengar dari para kiai, kiamat itu kan bakal terjadi kalau orang-orang nggak bermoral sudah memenuhi bumi. Oke, mungkin sekarang banyak orang-orang dengan moral rendah di sekitar kita, tapi jumlah orang baik kan juga masih nggak kalah separuhnya. Nah, masih berkumandangnya azan di seantero dunia adalah salah satu tanda kalau orang-orang baik dan saleh masih ada. Betul?
Sekarang, coba izinkan saya untuk men-cocokologi-kan teori ibu saya tersebut dengan fenomena yang baru-baru ini menggemparkan jagad media sosial. Beredar di sejumlah media sosial sebuah video yang memperdengarkan kumandang azan di beberapa masjid di Kuwait.
Sepintas azan yang berkumandang terdengar biasa saja, sampai kemudian pada bagian yang seharusnya dilantunkan, “Hayya ala al-shalat” dan “Hayya ala al-falah” sang muazin justru menggantinya dengan kalimat, “Shallu fii rihalikum” yang berarti, “Salatlah di rumahmu sekalian.” Di masjid yang lain lagi berbunyi, “al-Shalatu fii buyutikum” yang kurang lebih berarti sama: anjuran agar salat di rumah masing-masing. Hal tersebut merupakan kebijakan pemerintah Kuwait untuk memproteksi warganya menyusul semakin merebaknya wabah Corona di seantero dunia.
Nggak perlu tanya reaksi netijen kita bagaimana, seperti biasa, di kolom komentar tiba-tiba saja semua orang menjelma jadi Tuhan. Yang paling menggelitik, ada salah satu akun yang melontarkan pernyataan, “Wah berani-beraninya mengganti kalimat azan. Ya Allah kiamat benar-benar di depan mata. Sudah nggak ada lagi yang datang ke masjid.” Ah kita memang nggak pernah tahu siapa yang paling benar di mata Tuhan. Tapi bolehlah kalau kita hanya sekadar ber-ijtihad.
Mungkin menurut kiai yang dianut mbak-mbak pemilik akun tersebut, tolok ukur diacc-nya wacana kiamat adalah jika ada satu kaum yang berani-beraninya mengubah pakem-pakem dalam agama, dalam konteks ini adalah redaksi azan. Kaum ini tentu adalah kaum munafik, dilaknat Allah. Eh, bercanda yaaa.
Dari dulu telinga kita memang sudah sangat familiar dengan azan yang urutannya sudah kita hafal luar kepala. Kita agak gagap ketika tiba-tiba saja ada satu/dua kalimat yang diubah. Tapi hal tersebut menurut saya kok nggah aneh-aneh amat. Misalnya saja, dalam salat subuh kita pasti sangat hafal dengan kalimat, “al-Shalatu khairun min al-naum” yang berarti, “Salat lebih baik dari tidur.” Jangan salah, kalimat tersebut adalah kalimat yang baru saja ditambahi oleh Umar bin Khatab sebagai sindiran agar masyarakat tidak bermalas-malasan untuk mengerjakan salat subuh berjamaah. Begitu kata ahli tasawuf kontemporer, Prof. Haidar Bagir
Kemudian dalam sebuah riwayat dalam kitab Sahih Bukhari, disebut juga Rasulullah pernah mengizinkan masyarakat Madinah untuk salat di rumah masing-masing sebab pada saat itu Madinah diterjang hujan badai cukup hebat. Redaksi kalimat Rasul tersebut adalah yang dikutip oleh muazin di Kuwait, yaitu “al-Shalatu fii buyutikum.” Artinya, dalam kondisi tertentu Rasulullah membolehkan kita untuk nggak salat ke masjid dulu. Menimbang lebih besar mana antara mafsadah dan maslahah-nya jika kita pergi ke sana. Dan dalam hal ini, kebijakan pemerintah Kuwait sudah cukup tepat karena mencoba mengantisipasi potensi penularan Corona di tengah warganya.
“Eh, tapi Rasulullah kan hanya membolehkan itu saat hujan badai saja?” Duh, nggak setiap dalil harus kita sikapi secara skriptualis ya, Mbak. Sebab hukum kehidupan ini dinamis, permasalahan manusia nggak cuma soal hujan badai saja. Kalau dalam Islam ada tuh yang namanya qiyas, yaitu mencari padanaan hukum klasik untuk kasus hukum kontemporer. Hujan badai dengan Corona jelas sangat berbeda. Tapi keduanya kan sama-sama berbahaya dan harus dihindari. Nah, jadi itu yang barangkali melandasi pemerintah Kuwait menerapkan kebijakan nggak perlu salat di masjid dulu untuk sementara waktu. Paham, ya?
Itu baru soal mengosongkan masjid. Lalu bagaimana dengan mengubah redaksi azan? Kalau saya sih begini, azan itu kan panggilan. Atau bisa juga diartikan penanda atau pengingat waktu salat. Nggak ada yang salah kok dengan redaksi azan yang dikumandangkan muzain di Kuwait tersebut. Redaksi (baru) azan di Kuwait toh masih mengingatkan bahwa telah masuk waktu salat untuk didirikan. Bedanya, kali ini muazin lebih menganjurkan jamaah untuk mengerjakan salat di rumah saja.
Terus Mbak, nggak usah khawatir masjid jadi sepi. Dalam bahasa sufi; di mana kau sujud, di situlah masjid kau bangun. Kalau pakai kaidah ini, hukum rumah yang kita gunakan untuk salat sudah bisa disebut masjid, loh, heuheuheu.
Terus apakah dengan redaksi azan yang diubah atau masjid yang kehilangan jamaahnya itu berarti kiamat sudah teramat dekat? Di sini nih teori ibu saya harus saya sampaikan lagi. Sans wae tho, Mbak, kok ya ngebet banget pengin kiamat. Pokoknya, selagi azan masih berkumandang dan selagi kewajiban salat masih didirikan, selama itu pula Dajjal masih terikat dengan tali kekang. Intine, kiamat isek suweeee. “Misal ujug-ujug beneran kiamat giamana?” Ya nggak apa-apa tho, wong ya wis wayahe. Lagian, sekeras apapun kita menghindar semesta tetap bakal mengalami akhir zaman. Jalani saja, dan yang terpenting: kadar ibadah harus ditambah.
BACA JUGA Jangan Usir Anak-Anak yang Bermain di Masjid atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.