Menyikapi Orang yang Minta Sumbangan tapi Malah Kayak Nodong

Menyikapi Orang yang Minta Sumbangan tapi Malah Kayak Nodong

Minta sumbangan, kok, ke Nikita Mirzani?

Dalam beberapa kasus, saya memang nggak begitu demen dengan polah tingkah Nikita Mirzani yang menurut hemat saya nih, kelihatan banget cari sensasi. Namun, untuk masalah yang baru-baru ini ramai di jagat hiburan, saya memutuskan untuk berada satu barisan dengannya.

Melalui Instastory akun pribadinya, Nikita Mirzani mengunggah kekesalannya manakala rumahnya “diserbu” banyak orang. Dari mulai ojol sampai entah yang berprofesi sebagai apa lagi. Menurut pengakuan presenter 34 tahun tersebut, mereka berbondong-bondong menyerbu rumah Nikita hampir setiap hari dengan alasan yang sama: minta bantuan (alias minta sumbangan). Bahkan kabarnya ada yang ingin menggadaikan sertifikat rumah dan tanah. Wah, kalau ini namanya ya nodong, Dik.

Diketahui, Nikita memang gemar berbagi dengan orang-orang kelas proletar yang kondisi perekonomiannya morat-marit, imbas dari pandemi yang masih melanda sebagian besar wilayah di Indonesia, khususnya DKI Jakarta sebagai episentrum penyebaran wabah. Dilansir dari Kumparan, sedari awal Nikita memang sudah menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah yang sengaja diproyeksikan untuk penanganan terdampak Covid-19.

Namun, niat baik Nikita tampaknya disalahpahami oleh beberapa orang yang menganggap seolah Nikita adalah ladang harta yang bisa seenaknya dieksploitir. Wah, nggak bener. Terlebih Nikita sendiri sudah menegaskan, kalau dirinya punya klasifikasi tertentu atas siapa-siapa yang hendak dia bantu dan beri sumbangan.

“Saya bantu ya karena emang saya mau bantu, dari hati saya yang dalem, bukan dengan begini!” begitu sebaris kalimat yang terlontar dari mulut Nikita. “Saya bukan pemerintah yang bisa dimintai.” Pada titik ini saya termenung. Benar juga apa kata Nikita, jika kondisi ekonomi mereka sedang kacau, harusnya mereka mengibanya kepada pemerintah. Pemerintah kok kelihatan nggak becus banget gitu ngurus rakyatnya.

Namun, bukan itu poin yang ingin saya tekankan. Yang ingin saya garis bawahi, betapa pun memprihatinkannya kondisi kita, nggak lantas jadi pembenaran buat nodong orang. Sorry, saya kira istilah ‘penodongan’ jauh lebih tepat ketimbang menyebutnya sebagai “antre sumbangan”. Lantaran pada prinsipnya, Nikita nggak pernah bikin selebaran atau pemberitahuan apa pun kalau dirinya sedang bagi-bagi bantuan. Orang-orang “bertamu” ke kediamannya atas dasar nggak tahu diri inisiatif sendiri.

Beda cerita kalau dari awal Nikita sudah koar-koar bilang, “Siapapun yang butuh duwit, silakan ke rumah gua!” Kalau begitu kronologisnya, baru dah tuh silakan bawa rombongan satu truk ke rumahnya, nggak masalah. Lah ini, nggak ada angin nggak ada hujan, kok dengan percaya dirinya bawa satu kompi orang untuk minta sumbangan dan menuntut belas kasihan?

Sekali lagi, sorry, saya bukannya antipati sama orang kecil, sebab saya sendiri juga dari kalangan pas-pasan. Tapi mbok ya tahu diri gitu. Orang kondisi fisik masih seger buger, dibilang melarat ya nggak melarat-melarat benget, kok. Bener sih sedekah atau ngasih sumbangan itu baik. Tapi perlu diingat juga kalau menjarah orang apa pun motifnya, juga bukan hal yang patut dibenarkan. Dilema memang. Ya mirip-mirip kalau kita ngadepin kasus orang yang kepaksa jambret karena anaknya butuh uang jajan.

Berkenaan dengan itu, saya sendiri sering ngalamin selama di perantauan. Namun, berhubung yang paling dekat adalah Ramadan, izinkan saya menceritakan sekelumit pengalaman menjengkelkan di beberapa kesempatan bagi-bagi takjil yang saya ikuti.

Saya akan menceritakannya dari dua sudut pandang. Pertama, tentu sebagai sesama pemburu takjil. Demi menghemat pengeluaran biar ada tabungan buat lebaran, saya dan beberapa kawan senasib sependeritaan biasanya memanfaatkan momentum bagi-bagi takjil atau buka puasa gratis yang dibagi-bagikan di beberapa ruas jalan. Meski seringnya kami lebih memilih buka bersama yang disediakan salah satu masjid yang sudah jadi langganan kami selama dua Ramadan terakhir.

Nah yang berhasil membuat kami nggak habis pikir adalah, peserta pemburu takjil ini ternyata nggak cuma dari mahasiswa kere, ojol, atau para pekerja serabutan. Orang-orang bermobil yang notabene lebih mampu buat beli takjil atau buka puasa sendiri kok ya bisa-bisanya ikut nimbrung dalam antrean. Wagu, kan, yaaa?

Malah kadang nih, ya, kalau sudah tahu di tepi jalan raya sudah ada sekelompok pegiat sosial menurunkan box-box berisi bingkisan, sontak saja beberapa pengendara mobil menepikan mobilnya. Satu mobil yang kemudian diikuti oleh dua, tiga, sampai empat mobil di belakangnya.

Yang bikin gemes, dari beberapa kasus yang saya amati, yang keluar dari mobil ini nggak cukup perwakilan loh, Rek. Pertama yang kelur meyahut bingkisan adalah bapaknya. Setelah bapaknya kembali ke mobil, maka keluarlah dua anaknya. Selanjutnya setelah si anak mendapatkan buruan, maka keluarlah si ibu. Lah itu kalau empat mobil gitu semua, ya remooook.

Saya sendiri sih nggak masalah semisal nggak kebagian. Saya cuma nggak habis pikir aja, kok ada gitu orang model gini? Ah ya tentunya ada sih, banyak, saya aja yang kurang pergaulan.

Kedua, saya akan menceritakannya dari sudut pandang si pemberi takjil. Suatu kali saya pernah mengikuti bagi-bagi takjil yang dilakukan oleh salah satu komunitas mahasiswa. Berbekal pengalaman yang sering saya amati secara langsung, saya mengusulkan agar bagi-baginya pakai sistem buka puasa on the road saja.

Jadi sebelum terjun ke lapangan, ditentukan dulu siapa-siapa yang berhak buat dapat bingkisan takjil dan nasi kotak buat berbuka. Mengingat kalau pakai model stand by pinggir jalan, nanti yang ada malah diserbu sama orang-orang bermobil, yang itu artinya nggak tepat sasaran. Akhirnya diketok palu bahwa yang berhak mendapat bingkisan cukup dari kalangan tukang becak, tukang nyebrangin kendaraan, sama tukang sapu.

Beberapa menit pertama berjalan lancar dan sesuai rencana, bingkisan jatuh di tangan target yang telah disepakati sebelumnya. Sampai kemudian ketika saya membagi bingkisan kepada salah seorang tukang sapu, beberapa orang yang sedang berada di ruko-ruko miliknya menyerbu saya dengan jumlah yang nggak sedikit. Beberapa menodong saya dengan cara verbal, seperti dengan ucapan, “Mas aku Mas, dua,” atau, “Mas aku minta tiga, Mas sama anak saya di rumah.” Tapi itu masih mending, kadang malah ada yang tanpa banyak cincong langsung merebut bingkisan dari dekapan saya. Kan keterlaluan.

Demi menjaga sopan santun, pelan-pelan saya memberi pengertian kalau bingkisan yang saya bawa jumlahnya nggak banyak, dan itu pun sudah ditentukan siapa yang berhak jadi penerimanya. Bukannya mereda, para pemilik ruko ini malah semakin kalap. “Halah Mas, kok pelit gitu, tho.” Lantaran kondisi makin nggak kondusif, akhirnya saya meminta kawan saya untuk bergegas memacu motor menjauhi kerumunan. Sayup-sayup terdengar umpatan-umpatan kasar terlontar dari mereka.

Secara manusiawi, saya sebenarnya dongkol bukan main. Bayangin saja, tukang becak atau tukang sapu yang nggak kami kasih aja cuma diem. Dikasih ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Kurang lebih seperti itu. Sementara para pemilik ruko, yang harusnya lebih mampu secara finansial kok ya sebegitu bar-barnya nodong kami. Dikasih, bakal minta lebih. Kalau nggak dikasih misuh-misuh.

Sempat saya mendengar salah seorang pemilik ruko nyeletuk, “Halah, Mas, ngasih buka orang yang puasa itu dapet pahala, loh.” Ya emang, saya tahu itu, makanya saya bagi-bagi bingkisan. Kalau nggak tahu gitu mah mending tak makan sendiri, ha wong saya sendiri ya doyan, kok.

Cuma ya tetep dilihat-lihat dulu, dong, konteksnya. Maksudnya, kalau dirasa ada yang lebih harus ditolong, maka mereka itu yang harus jadi prioritas. Anehnya, sekarang ini semuanya serba kebalik, og. Yang bener-bener butuh pertolongan selow aja, yang sebenernya mampu eh malah memiskin-miskinkan diri. Hmmm, emang semuanya kembali ke kesadaran diri masing-masing, sih.

Saya jadi keinget sama quote yang saya catet (dalam ingatan) dari salah satu adegan di film Imperfect (2019). Ada satu bagian di mana Rara (Jessica Mila) ingin menebus keterlambatannya kepada Dika (Reza Rahadian) dengan membayar ganti rugi berupa nominal uang. “Satu hal yang harus kamu tahu. Dalam kondisi butuh, nggak semua orang lantas kehilangan harga dirinya,” sambar Dika dengan ketus. Tepat. Itu poin yang ingin saya tekankan dari tulisan ngaco ini.

BACA JUGA Sumbangan Sukarela Tanpa Rasa Suka dan Rela atau tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version