Tulisan ini bermula dari kebiasaan saya menonton film serta TV series dan berbagai novel serta komik yang diproduksi Amerika Serikat atau Jepang, yang menunjukkan ketika seseorang berumur 17 tahun, biasanya mereka akan kuliah atau bekerja dan memulai hidup baru yang mandiri secara terpisah dari orang tua. Biasanya, mereka akan tinggal di apartemen kecil atau rumah kontrakan/kos, jauh dari rumah orang tua yang lokasinya dekat dengan tempat mereka kuliah atau bekerja.
Ini tentu saja sangat berbeda jauh dengan kebiasaan orang Indonesia, maupun orang Asia pada umumnya yang masih tinggal dengan orang tua, meskipun sudah lulus kuliah. Bahkan, yang sudah menikah dan memiliki anak pun banyak yang masih tinggal dengan orang tua. Banyak sekali saudara dan teman-teman terdekat saya yang masih tinggal dengan orang tua.
Saya juga paham bahwa harga rumah saat ini sangat tidak masuk akal. Sekalipun pasangan suami dan istri sama-sama bekerja kantoran dengan penghasilan masing-masing di atas UMR/UMK setempat, memiliki rumah itu sangatlah mahal dan tidak masuk akal. Dengan penghasilan dua digit sekalipun, kasarnya, suami istri baru bisa memiliki rumah setelah bertahun-tahun KPR, bahkan ada yang sampai 25 tahun. Itulah mengapa banyak dari pasangan suami istri yang sudah memiliki anak memilih masing tinggal dengan orang tuanya.
Berbekal dari apa yang sering saya konsumsi melalui media dan literatur yang saya baca, akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor utama mengapa anak muda masih tinggal dengan orang tua. Faktor budaya atau kebiasaan orang Indonesia yang membentuk hal tersebut.
Masyarakat Barat justru terbebani jika anak-anaknya tidak juga meninggalkan rumah orang tua ketika beranjak dewasa. Bertolak belakang dengan masyarakat Timur yang justru memandang tidak pantas jika orang tua dibiarkan sendiri, apalagi yang sudah sakit-sakitan.
Bahkan, saya yang sudah berusia 29 tahun pun tidak bisa bekerja di luar kota karena ibu saya sudah berusia lebih dari 65 tahun dan sudah tidak memiliki suami karena ayah saya sudah wafat satu tahun yang lalu. Saya pun tidak bisa pulang di atas jam 10 malam ketika tidak ada pandemi sekalipun karena ibu saya yang sendirian di rumah. Maklum saja saya adalah anak satu-satunya.
Berbeda jauh dengan masyarakat Amerika atau Jepang di mana para lansia bahkan dapat dengan mandiri, bepergian menggunakan bus kota ataupun kereta. Mereka bisa hidup mandiri tanpa bantuan anak-anaknya karena budayanya yang mengajarkan hal seperti itu. Saya tidak bisa seperti itu, bahkan banyak dari saudara dan teman saya yang menyuruh saya agar tidak bekerja di luar kota maupun meninggalkan rumah saat sudah malam karena keadaan saya ini.
Jika kalian berpikir bahwa saya terlalu menelan bulat-bulat apa yang saya konsumsi via film, TV series, novel, maupun komik, kalian salah. Saya cukup beruntung pernah beberapa kali ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Jepang, dan sejumlah negara lainnya sehingga bisa melihat langsung fenomena yang terjadi di sana. Saya juga cukup beruntung memiliki sejumlah saudara atau teman yang kuliah dan bekerja selama puluhan tahun di luar negeri, sehingga bisa mendapatkan gambaran tentang apa yang terjadi di negara-negara tersebut.
Di luar negeri, terutama Amerika dan Eropa, anak dididik sejak kecil oleh orang tua agar saat dewasa, atau saat berusia setidaknya 17 tahun, untuk meninggalkan rumah, entah untuk kuliah ataupun bekerja. Meski masih dalam satu kota yang sama, mereka memang dididik untuk tinggal di apartemen/kos kecil agar dapat hidup dengan mandiri. Itulah kenapa banyak yang merayakan ulang tahunnya yang ke-17 dengan meriah karena itu sebagai bentuk seremonial agar anak dapat hidup dengan mandiri.
Dalam berbagai literatur yang saya baca, privasi adalah sebuah prinsip utama dari kehidupan orang dewasa di Amerika. Sebuah bentuk sopan santun yang paling mendasar. Berbeda dengan budaya Indonesia, atau budaya Timur pada umumnya yang menganggap bahwa privasi bukanlah sesuatu yang utama. Itulah mengapa anak didorong agar segera mandiri dan tinggal terpisah dengan orang tua, karena baik orang tua maupun anak, menginginkan sebuah privasi. Mereka hanya mengunjungi rumah orang tuanya ketika hari raya atau hari libur saja.
Banyak film Amerika dan Eropa yang sering mengejek bahwa orang dewasa, yang sudah bekerja, namun masih tinggal dengan orang tua dengan sebutan orang gagal, bukan? Berbeda jauh dengan budaya Indonesia yang seolah mewajibkan anak untuk berbakti pada orang tua dengan tinggal di rumahnya untuk mengurusnya sebagai bentuk balas budi untuk orang tua.
Jadi, alasan kenapa begitu banyak orang Indonesia yang masih tinggal dengan orang tua sebetulnya tidak hanya karena harga rumah yang sangat mahal. Sebenarnya mereka bisa saja kos, mengontrak rumah, atau apartemen, apalagi ketika keduanya sama-sama bekerja. Namun, hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang Indonesia yang mengharuskan anak untuk berbakti kepada orang tua dengan tinggal tidak jauh dengan orang tuanya, bahkan kalau bisa satu rumah.
Sebagai penutup, jangan salah, saya tidak bermaksud untuk nyinyir kepada mereka (yang sudah menikah dan memiliki anak) yang masih tinggal dengan orang tua. Ini hanyalah pendapat saya saja dan keluh kesah saya karena di usia saya yang hampir kepala tiga, saya sendiri masih harus tinggal dengan orang tua. Generasi saya tidak cukup beruntung karena untuk sekadar memiliki rumah, saya harus melunasinya selama belasan bahkan puluhan tahun dengan sistem KPR, itupun jauh dari pusat kota, bahkan ketika penghasilan saya sudah dua digit sekalipun.
BACA JUGA 8 Karakter Orang Betawi yang Perlu Dipelajari kalau Tinggal di Jakarta dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.