Pagi ini saya mendapati greenhouse mini belakang rumah berantakan dan belasan pot tanaman aglaonema kami terkonfirmasi hilang. Kondisi rumah yang berpagar tembok tinggi dan posisi rumah tetangga yang rapat membuat saya terdiam sejenak dan berkata dalam hati, “Kok bisa ya?”
Bagi saya, sungguh ini kehilangan besar dan berat untuk diterima. Semenjak pandemi, kami di rumah memilih untuk membatasi aktivitas di luar dan menyeriusi aglaonema. FYI aja, tanaman aglaonema kami memang sudah banyak sejak dahulu. Lantaran sedang trending, maka perlakuannya agak beda, dong. Sejujurnya inilah yang menyakitkan, kenangan bersama aglaonema melebihi kenangan bersama mantan kekasih. Setidaknya ada beberapa kenangan yang bisa saya bagikan kepada pembaca yang budiman.
#1 Saya banyak belajar hal baru
Saya kuliah di prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Jogja dan tidak ada sama sekali mata kuliah yang berkaitan dengan tanaman. Kalaupun ada, paling berkaitan dengan tanah, yakni Arkeologi Islam. Jadi bisa dikatakan nggak ada basic terkait tanaman aglaonema.
Lantaran nggak ada basic, saya mulai belajar mengenai tanah, pupuk, fermentasi sampah dapur, pestisida, fungisida, mikroorganisme, dan teman-temannya. Saya juga harus survei ke beberapa tempat yang menjual sekam padi, sekam pakis, dan ampas gilingan kopi. Selain itu, saya juga banyak membaca tulisan dan menonton video sebagai referensi dalam merawat tanaman aglaonema. Semua itu saya lakukan dengan susah payah karena harus beralih dari disiplin ilmu humaniora ke disiplin ilmu pertanian. Sungguh sangat berbeda tentunya.
Membeli ampas kopi dan pupuk kandang di wilayah Rejang Lebong bukanlah perkara mudah. Sangat jarang toko pertanian yang menyediakan dan kalaupun ada itu terbilang mahal. Satu-satunya cara adalah mendatangi penggilingan kopi dan tetangga yang punya ternak. Saya harus menyediakan karung sendiri, mengambilnya, memikul karung ke motor, dan membawanya ke rumah.
Ampas penggilingan kopi biasanya diletakkan di pembuangan yang lokasinya curam. Pupuk kandang yang tersedia biasanya juga masih fresh from the oven dan otomatis butuh protokol kesehatan tambahan untuk menjangkaunya. Kebayang dong, betapa remuknya badan saya yang sama sekali tak atletis ini.
#2 Mereka dicuri pas lagi sayang-sayangnya
Tidak ada tanda alam sama sekali ketika tanaman aglaonema kami akan hilang. Tak ada gelas yang pecah ataupun cicak yang jatuh menimpa kepala. Semuanya senyap dan menimbulkan pilu. Bisa dikatakan kami sedang sayang-sayangnya sebab rencananya akan dikembangkan menjadi bisnis.
Semuanya telah diletakkan di pot plastik putih, media yang proper, perawatan yang rutin, tanpa hama dan gulma, dan bahkan sudah ada kolega yang siap menampung untuk dijual di tokonya. Kebetulan juga, saya baru bebas dari isolasi mandiri covid, mama dan adik saya juga sudah pulang dari rumah sakit setelah perawatan covid. Jadi kami siap mengeksekusi bisnis ini. Eh, ia malah dicuri.
#3 Hikmah dari sebuah kehilangan
Peristiwa ini membuat saya banyak belajar bahwa luka kehilangan kekasih di masa lalu akan hilang bukan karena saya menemukan kekasih baru. Namun, karena saya memiliki luka yang terasa lebih besar.
Tanaman aglaonema yang dirawat seperti anak sendiri kini telah berpindah tangan. Kenangan dan pembelajaran dari aglaonema tentu membuat suasana menjadi biru. Namun, tak ada cara yang lebih mulia kecuali mengikhlaskan, mengulang bertanam kembali dan meningkatkan kewaspadaan.
Buat pembaca yang sedang merawat tanaman aglaonema mohon dijaga dengan hati-hati. Jangan sampai ia berpindah tangan tanpa ada ucapan perpisahan. Cukup saya yang luka, kalian jangan!
BACA JUGA Geliat Aglaonema Sebagai Tren dan Bisnis Akibat Pandemi dan tulisan Muhammad Afraval Saiphedra lainnya.