Mental Gratisan dan Budaya Traktiran di Indonesia yang Menyebalkan

Mental Gratisan dan Budaya Traktiran di Indonesia yang Menyebalkan

Saya bekerja di suatu gedung perkantoran di kawasan Jakarta Selatan. Dari lantai 1 sampai 24, ada beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Mini market, berbagai jenis kedai kopi kekinian, dan makanan ala franchise pun tersedia. Maka tidak heran, ada tenant yang tidak melanjutkan kontrak untuk menempati suatu lantai atau ruangan, akan langsung ditempati oleh tenant baru.

Dan benar saja, baru-baru ini ada tenant baru yang mengisi lantai dasar, salah satu mini market ternama yang biasa menjual camilan, makanan berat, juga minuman kekinian seperti es kopi, cokelat, lengkap dengan boba sebagai topping. Ketika resmi dibuka, untuk menarik minat banyak pelanggan, mini market tersebut memberi promo. Seseorang bisa membayar beberapa jenis minuman berapa pun yang mereka inginkan. Tidak sedikit dari mereka membayar dengan nominal 500-2000 rupiah. Ya, bayar sesuka hati gitu, lah.

Karena promo tersebut, tidak mengherankan juga mini market menjadi ramai pengunjung. Banyak pelanggan berdatangan agar bisa membeli minuman kekinian dengan harga yang terbilang sangat murah. Saya pun menjadi salah satu orang yang mengisi daftar antrean.

Di antara banyaknya orang yang mengantre untuk mendapatkan minuman dengan harga murah, ada beberapa orang yang membuat saya tersadar sekaligus membuat kagum akan suatu hal. Bukan soal tertib ketika mengantre, melainkan dari promo yang sudah disediakan, ada beberapa pembeli yang tetap membayar dengan harga normal (kisaran 15-18ribu). Ketika kasir memastikan dan bertanya, “Nggak pakai promonya aja, Pak? Bisa bayar dengan harga lebih murah.” Sambil tersenyum, pembeli tersebut berkata, “Nggak usah, Mbak, nggak apa-apa. Buat yang lain aja promonya.”

Baru kali ini saya bertemu dengan orang seperti pembeli tersebut. Memilih membayar dengan harga normal alih-alih memanfaatkan promo yang ada.

Kejadian itu membuat saya berpikir, ada betulnya yang melakukan hal demikian. Kemudian, apakah memungkinkan jika mental seperti itu diaplikasikan kepada sesuatu yang gratisan? Mengingat di lingkungan sekitar, “mental gratisan” masih menjadi bagian dari banyak orang. Entah seseorang tergolong mampu secara finansial atau tidak, jika mendengar kata gratisan, pasti akan langsung diserbu dengan semangat tinggi.

Maksud saya, bukankah akan lebih baik jika sesuatu yang gratisan direlakan untuk orang yang benar-benar membutuhkan? Jika kita masih mampu membayar, kenapa harus ngotot mendapatkan sesuatu secara gratisan? Bagi saya, ini menjadi salah satu hal yang harus direnungkan sekaligus diubah, “mental gratisan” harus dihilangkan. Sadar atau tidak, “mental gratisan” ini sering kali membuat kita berharap untuk mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma, dan akan berakhir dengan rasa kecewa jika tidak mendapatkan sesuatu.

Mental gratisan juga tidak dapat dipisahkan dari budaya traktiran yang seakan menjadi kebiasaan untuk kebanyakan orang di Indonesia. Masalahnya, terkadang budaya traktiran ini merepotkan. Lha gimana nggak, dari sekian banyak, selalu saja ada yang berharap suatu saat akan ditraktir kembali oleh orang yang sudah diberi traktiran dengan berkata, “Biasa ditraktir, masa nggak mau nraktir, sih?”

Padahal kan, kemampuan dan kondisi finansial tiap orang itu berbeda. Nggak semua orang bisa mentraktir satu sama lain. Lagipula, jika niat memberi traktiran ya yang ikhlas ajalah. Nggak perlu berharap ditraktir kembali di kemudian hari. Sepertinya wajar jika kemudian saya mempertanyakan, yang seperti ini hanya ada di Indonesia atau gimana, sih?

Beruntung, saya memiliki kakak ipar yang sudah sekira tujuh tahun bekerja di Jerman dan seorang teman yang sudah 13 tahun menetap di Belanda hingga saat ini. Sehingga, saya bisa sedikit bertanya tentang bagaimana masyarakat di kedua negara tersebut dalam menanggapi budaya traktir-mentraktir. Paling tidak, bisa dijadikan sebagai gambaran, lah.

Setelah saya tanyakan kepada mereka, baik di Jerman maupun Belanda, ternyata kurang familier dengan kebiasaan traktir-mentraktir. Karena pada dasarnya, jika bisa membayar secara mandiri untuk apa dibayarkan oleh orang lain? Jika memang ingin mentraktir, biasanya harus dengan persetujuan yang akan ditraktir, kira-kira berkenan atau tidak. Jika tidak, akan terjadi salah paham karena dianggap tidak mampu (secara finansial).

Begitu pula untuk yang sedang berulang tahun. Alih-alih dipaksa untuk mentraktir atau dimintai traktiran oleh orang di sekitar, yang berulang tahun justru akan ditraktir dan dibuat senang di hari spesialnya. Bukan malah sebaliknya. Sudah diceplok pakai telor, adonan tepung, dan air comberan, eh, setelahnya malah diminta traktiran juga. Hadeeeh.

Berkaca pada hal tersebut, soal traktiran, apa nggak sebaiknya kita mencontoh kebiasaan di Jerman dan Belanda saja? Atau malah kita terlalu nyaman dan lebih memilih mempertahankan mental gratisan? Eh.

BACA JUGA Meminta Oleh-oleh dan Traktiran adalah Budaya Kita atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version