Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kuliner

Mental Gratisan dan Budaya Traktiran di Indonesia yang Menyebalkan

Seto Wicaksono oleh Seto Wicaksono
16 Januari 2020
A A
Mental Gratisan dan Budaya Traktiran di Indonesia yang Menyebalkan
Share on FacebookShare on Twitter

Saya bekerja di suatu gedung perkantoran di kawasan Jakarta Selatan. Dari lantai 1 sampai 24, ada beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Mini market, berbagai jenis kedai kopi kekinian, dan makanan ala franchise pun tersedia. Maka tidak heran, ada tenant yang tidak melanjutkan kontrak untuk menempati suatu lantai atau ruangan, akan langsung ditempati oleh tenant baru.

Dan benar saja, baru-baru ini ada tenant baru yang mengisi lantai dasar, salah satu mini market ternama yang biasa menjual camilan, makanan berat, juga minuman kekinian seperti es kopi, cokelat, lengkap dengan boba sebagai topping. Ketika resmi dibuka, untuk menarik minat banyak pelanggan, mini market tersebut memberi promo. Seseorang bisa membayar beberapa jenis minuman berapa pun yang mereka inginkan. Tidak sedikit dari mereka membayar dengan nominal 500-2000 rupiah. Ya, bayar sesuka hati gitu, lah.

Karena promo tersebut, tidak mengherankan juga mini market menjadi ramai pengunjung. Banyak pelanggan berdatangan agar bisa membeli minuman kekinian dengan harga yang terbilang sangat murah. Saya pun menjadi salah satu orang yang mengisi daftar antrean.

Di antara banyaknya orang yang mengantre untuk mendapatkan minuman dengan harga murah, ada beberapa orang yang membuat saya tersadar sekaligus membuat kagum akan suatu hal. Bukan soal tertib ketika mengantre, melainkan dari promo yang sudah disediakan, ada beberapa pembeli yang tetap membayar dengan harga normal (kisaran 15-18ribu). Ketika kasir memastikan dan bertanya, “Nggak pakai promonya aja, Pak? Bisa bayar dengan harga lebih murah.” Sambil tersenyum, pembeli tersebut berkata, “Nggak usah, Mbak, nggak apa-apa. Buat yang lain aja promonya.”

Baru kali ini saya bertemu dengan orang seperti pembeli tersebut. Memilih membayar dengan harga normal alih-alih memanfaatkan promo yang ada.

Kejadian itu membuat saya berpikir, ada betulnya yang melakukan hal demikian. Kemudian, apakah memungkinkan jika mental seperti itu diaplikasikan kepada sesuatu yang gratisan? Mengingat di lingkungan sekitar, “mental gratisan” masih menjadi bagian dari banyak orang. Entah seseorang tergolong mampu secara finansial atau tidak, jika mendengar kata gratisan, pasti akan langsung diserbu dengan semangat tinggi.

Maksud saya, bukankah akan lebih baik jika sesuatu yang gratisan direlakan untuk orang yang benar-benar membutuhkan? Jika kita masih mampu membayar, kenapa harus ngotot mendapatkan sesuatu secara gratisan? Bagi saya, ini menjadi salah satu hal yang harus direnungkan sekaligus diubah, “mental gratisan” harus dihilangkan. Sadar atau tidak, “mental gratisan” ini sering kali membuat kita berharap untuk mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma, dan akan berakhir dengan rasa kecewa jika tidak mendapatkan sesuatu.

Mental gratisan juga tidak dapat dipisahkan dari budaya traktiran yang seakan menjadi kebiasaan untuk kebanyakan orang di Indonesia. Masalahnya, terkadang budaya traktiran ini merepotkan. Lha gimana nggak, dari sekian banyak, selalu saja ada yang berharap suatu saat akan ditraktir kembali oleh orang yang sudah diberi traktiran dengan berkata, “Biasa ditraktir, masa nggak mau nraktir, sih?”

Baca Juga:

Momen Pekok Kencan Pertama: Sok Mau Mentraktir di Resto Terkenal, Eh Malah Ditraktir Balik. Kencan Amburadul #3

Padahal kan, kemampuan dan kondisi finansial tiap orang itu berbeda. Nggak semua orang bisa mentraktir satu sama lain. Lagipula, jika niat memberi traktiran ya yang ikhlas ajalah. Nggak perlu berharap ditraktir kembali di kemudian hari. Sepertinya wajar jika kemudian saya mempertanyakan, yang seperti ini hanya ada di Indonesia atau gimana, sih?

Beruntung, saya memiliki kakak ipar yang sudah sekira tujuh tahun bekerja di Jerman dan seorang teman yang sudah 13 tahun menetap di Belanda hingga saat ini. Sehingga, saya bisa sedikit bertanya tentang bagaimana masyarakat di kedua negara tersebut dalam menanggapi budaya traktir-mentraktir. Paling tidak, bisa dijadikan sebagai gambaran, lah.

Setelah saya tanyakan kepada mereka, baik di Jerman maupun Belanda, ternyata kurang familier dengan kebiasaan traktir-mentraktir. Karena pada dasarnya, jika bisa membayar secara mandiri untuk apa dibayarkan oleh orang lain? Jika memang ingin mentraktir, biasanya harus dengan persetujuan yang akan ditraktir, kira-kira berkenan atau tidak. Jika tidak, akan terjadi salah paham karena dianggap tidak mampu (secara finansial).

Begitu pula untuk yang sedang berulang tahun. Alih-alih dipaksa untuk mentraktir atau dimintai traktiran oleh orang di sekitar, yang berulang tahun justru akan ditraktir dan dibuat senang di hari spesialnya. Bukan malah sebaliknya. Sudah diceplok pakai telor, adonan tepung, dan air comberan, eh, setelahnya malah diminta traktiran juga. Hadeeeh.

Berkaca pada hal tersebut, soal traktiran, apa nggak sebaiknya kita mencontoh kebiasaan di Jerman dan Belanda saja? Atau malah kita terlalu nyaman dan lebih memilih mempertahankan mental gratisan? Eh.

BACA JUGA Meminta Oleh-oleh dan Traktiran adalah Budaya Kita atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Oktober 2021 oleh

Tags: budaya traktiranmental gratisan
Seto Wicaksono

Seto Wicaksono

Kelahiran 20 Juli. Fans Liverpool FC. Lulusan Psikologi Universitas Gunadarma. Seorang Suami, Ayah, dan Recruiter di suatu perusahaan.

ArtikelTerkait

Momen Pekok Kencan Pertama: Sok Mau Mentraktir di Resto Terkenal, Eh Malah Ditraktir Balik. Kencan Amburadul #3 terminal mojok.co

Momen Pekok Kencan Pertama: Sok Mau Mentraktir di Resto Terkenal, Eh Malah Ditraktir Balik. Kencan Amburadul #3

14 Februari 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

29 November 2025
Culture Shock Orang Lamongan Menikah dengan Orang Mojokerto: Istri Nggak Suka Ikan, Saya Bingung Lihat Dia Makan Rujak Pakai Nasi

Culture Shock Orang Lamongan Menikah dengan Orang Mojokerto: Istri Nggak Suka Ikan, Saya Bingung Lihat Dia Makan Rujak Pakai Nasi

2 Desember 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025
Logika Aneh di Balik Es Teh Solo yang Bikin Kaget (Unsplash)

Logika Ekonomi yang Aneh di Balik Es Teh Solo, Membuat Pendatang dari Klaten Heran Sekaligus Bahagia

30 November 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025
Nggak Ada Gunanya Dosen Ngasih Tugas Artikel Akademik dan Wajib Terbit, Cuma Bikin Mahasiswa Stres!

Dosen yang Minta Mahasiswa untuk Kuliah Mandiri Lebih Pemalas dari Mahasiswa Itu Sendiri

5 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana
  • Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.