Setelah menikah, rutinitas tiap malam saya adalah menemani istri nonton sinetron. Sebelum menikah, istri saya bukanlah tipikal anak muda kebanyakan yang gila drakor dan series. Meski begitu, dia betah menonton sinetron, di Indosiar lagi. Dan belakangan, saya harus menemani dia menonton Bismillah Cinta.
Suami yang baik pasti akan menemani istrinya, saya tahu. Masalahnya adalah, saya benci sinetron Indonesia dengan sepenuh hati. Bukan karena kualitas akting atau pengambilan gambar yang buruk, tapi karena dialog-dialog jahat yang dilontarkan. Sumpah, saya tidak bisa menerima sama sekali. Saya tahu itu hanya akting, tapi saya pikir ada batas yang jelas di segala hal, dan sinetron Indonesia rata-rata menabrak batas tersebut dengan percaya diri. Mereka tahu akan lolos dari KPI kok, soalnya yang kualitasnya buruk dan nggak mendidik nggak bakal diserang KPI.
Nah, Bismillah Cinta ndilalahe penuh dengan dialog jahat itu.
Ya bayangin aja, dari semua pemain, cuma tiga yang nggak punya sifat jahat. Padahal pemainnya aja ada tujuh atau delapan. Jadi dalam sinetron tersebut, kita mendengar dialog jahat berulang-ulang tanpa jeda. Saya yakin kamu bisa mengubah manusia baik-baik menjadi manusia brengsek hanya dengan memintanya menonton sinetron ini secara maraton.
Baiklah, itu berlebihan, saya tahu. Tapi, saya nggak berlebihan kalau bilang Bismillah Cinta itu melewati batas. Ya kali tiap adegan isinya maki-maki atau bikin rencana jahat. Ya saya tahu, sinetron ini tuh pake formula cerita sinetron Indonesia yang nggak berubah dan mungkin nggak akan berubah, yaitu dua insan dimabuk cinta yang didera masalah untuk menempa cinta mereka. Tapi, yo ra ngene banget lah.
Nah, itu yang saya maksud dengan batas, bahwa untuk sebuah sinetron yang gitu-gitu aja, maki-makian dan kata-kata jahatnya kebangetan. Saya bahkan punya pendapat ngasal: ini sinetron adalah tutorial untuk menjadi orang jahat dan mertua jahat.
Memang, saya nggak bisa minta sinetron kejar tayang punya mutu yang bagus. Rata-rata sih, jelek saja belum. Membandingkannya dengan serial yang sering saya tonton juga nggak apple to apple. Biaya produksi aja udah beda, SDM-nya apalagi. Kalau di sini kan, yang penting ratingnya tinggi. Kalau bisa bikin tayangan dengan rating tinggi tanpa effort gede, kenapa nggak?
Tapi, menurut saya kok terlalu jauh ya kalau demi bikin penonton tetap duduk manis, mereka harus dibikin gregetan karena ulah jahat yang tanpa jeda gitu.
Udah gitu, seakan-akan tokoh dengan sifat baiknya punya nyali yang amat mini. Ya kali ada ustad diem aja nggak bertindak tegas sama istrinya yang maki-maki anak orang dengan lantang? Simpan dulu argumen anti-patriarkimu, iki ngomongne liyane sek.
Saya berkali-kali nemenin istri saya nonton, saya liat Abah—ayah tokoh protagonis—terkesan tidak punya nyali untuk memberi tahu istrinya untuk calm the fuck down. Maksude, mosok ya nggak bisa gitu ada ketegasan yang nggenah-nggenah tegas biar bikin ini sinetron agak masuk akal gitu?
Mungkin saya kejauhan mikirnya, tapi jujur saja, Bismillah Cinta ini terkesan kayak representasi kehidupan sosial yang sebenernya. Yang saya maksud adalah, orang yang punya sifat baik sering ciut sama kejahatan. Bukan karena nggak punya nyali, ya karena kalah jumlah aja.
Faktanya emang orang jahat itu jauh lebih banyak ketimbang orang baik. Kalau mau ngelantur nih, ini sinetron bisa bikin orang join the dark side ya karena kalau mau jadi orang baik, ujungnya rugi karena bakal tertindas selamanya.
Mungkin saja, sebenarnya sinetron selain Bismillah Cinta punya permasalahan yang sama, yaitu dialog atau adegan jahat yang tanpa jeda. Kebetulan saja saya nontonnya yang itu. Tapi, kalau benar semua sinetron punya masalah yang sama, saya jadi curiga bahwa sebenarnya sinetron seperti itu bukanlah untuk memenuhi kemauan pasar, tapi untuk membentuk selera pasar.
Alias, kita-kita ini dipaksa punya selera rendah sama mereka-mereka ini.
BACA JUGA Kesimpulan ‘Ikatan Cinta’: Semuanya Gara-gara Ikut Campur Urusan Orang Lain dan artikel Rizky Prasetya lainnya.