Meninggalkan Jogja Itu Tak Mudah dan Memang Tak Akan Pernah Mudah

Jogja atau Solo: Mana yang Lebih Nyaman untuk Ditinggali?

Jogja atau Solo: Mana yang Lebih Nyaman untuk Ditinggali? (Shutterstock.com)

Bagi saya, kenangan paling berkesan selalu diisi oleh hal-hal yang sederhana. Dulu ketika masih di Jogja, ada banyak peristiwa menarik yang saya alami, tapi yang saya rindukan justru hal-hal yang sederhana. Seperti makan siang di Olive Fried Chicken, ngadem sambil minum es doger di Balai Yasa, nongkrong random di Kafe Basabasi, beli makan malam di sebuah angkringan, atau keliling ring road ketika pikiran sedang penuh sesak.

Meski demikian, tentu tiap-tiap orang punya kerinduan yang berbeda-beda. Teman saya misalnya, ia bercerita kalau hal yang paling dirindukan di Jogja adalah ketika mengunjungi Malioboro selepas hujan mulai reda. Teman saya yang lain malah mengingat jagung bakar yang ada di Bukit Bintang. Yah, memang berbeda, tapi esensinya kami merindukan hal-hal yang sederhana ketimbang momen wisuda, atau ketika menjalani ujian akhir sebagai mahasiswa.

Saya adalah perantau yang akhirnya harus pulang dan meninggalkan Jogja. Jika boleh bercerita, saya pernah menjadi anak kosan di beberapa kota, seperti: Kediri, Malang, Lamongan, dan tentu saja Jogja. Seharusnya, riwayat pengalaman tersebut membuat saya terbiasa untuk tidak merindukan kota rantauan. Tapi ternyata tidak. Sampai sekarang pun, saya belum bisa berpaling sepenuhnya dari kota-kota tersebut, khususnya Jogja.

Bahkan ketika ada momen untuk ngobrol dengan teman yang bertemu di tanah rantauan, pasti obrolan tersebut akan mengarah pada pembahasan seputar Jogja. Dan itu terjadi secara tiba-tiba. Yah, manusia memang pandai mengenang-ngenang sebuah perjalanan.

Namun, jika direnungkan kembali, kadang saya merasa penasaran, kenapa sesuatu itu lebih terasa berharga setelah ditinggalkan? Ketika masih di Jogja, jalanan Jogja tak begitu saya hikmati. Biasa saja, terkadang menggerutu. Tapi setelah meninggalkan Jogja, bahkan macetnya jalan Gejayan pun menjadi kerinduan. Hasyuuu.

Tak berhenti sampai sana. Lirik lagu “selalu ada sesuatu di Jogja”, terasa begitu nikmat di telinga saya sekarang. Padahal, dulu lagu tersebut selalu saya skip ketika secara random muncul di Spotify.

Sebenarnya kesedihan ini bukan hanya milik perantauan saja. Ada begitu banyak orang yang meninggalkan Jogja, tapi batinnya tetap tinggal. Amati saja komentar dari konten-konten kota ini di berbagai media sosial, Anda tidak akan kesusahan menemukan orang yang merindukan kota ini, meski ia hanya menetap beberapa hari saja.

Ada banyak teman saya yang demikian. Padahal yang ia ingat dari Jogja hanya sebatas Malioboro, alun-alun, dan tenda angkringan. Tapi setelah mereka pulang, kenangannya cukup melekat dan terasa sekali kegembiraannya ketika menceritakan pengalamannya mengunjungi Jogja. Yah, Perbincangan seputar kota ini beserta embel-embel romantisasinya memang tak pernah ada habisnya.

Kenangan itu bisa diciptakan, tapi sialnya, tak bisa dihapus. Ia bisa kita buat ada, tapi membuatnya tiada adalah hal yang hampir mustahil. Ia akan tetap tinggal dalam alam bawah sadar. Dan tanpa kita sadar, pikiran kita menemukan jalannya, kembali ke tempat itu.

***

Sebelum meninggalkan Jogja, saya menyempatkan diri untuk foto di Tugu, salah satu objek yang sering sekali diabadikan oleh banyak orang. Konon, jika kita foto di sana, maka kita dapat kembali ke Jogja. Meski saya tak terlalu percaya dengan hal semacam itu, tapi untuk kasus ini, saya meyakininya. Lebih tepatnya, saya memaksa diri untuk yakin dan berharap dapat kembali ke Jogja sekali lagi.

Ah, sial, terlalu banyak ingatan indah kadang juga menyebalkan.

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version