Jam di arloji tangan sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Aku bersama temanku memarkirkan motor di tempat yang telah disediakan. Matahari pagi awal musim kemarau mengguyur cerah sepanjang perjalanan. Aku menggeliat pelan, mengusir rasa lelah setelah melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor dari pusat kota Probolinggo menuju kawasan air terjun Madakaripura di Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Liburan kali ini aku sengaja memilih berkunjung ke air terjun tertinggi di pulau jawa dan nomor dua di Indonesia. Bukannya tanpa alasan. Kecintaan pada traveling dan sejarah membuatku merasa penasaran untuk mengunjungi air terjun dengan pesona alam dan magis yang kuat. Air terjun Madakaripura menjadi tempat pertapaan sekaligus instrospeksi diri seorang Gajah Mada hingga moksa ketika sedang melakukan persembahyangan.
Siapa yang tidak kenal Mahapatih Gajah Mada? Pahlawan Majapahit yang terkenal dengan sepak terjang serta keberaniannya menyatukan Nusantara. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah universitas. Tak hanya sampai di situ. Pemerintah bahkan menggunakan nama Gajah Mada sebagai nama jalan di berbagai kota besar di Indonesia.
Tapi lagi-lagi. Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini tanpa melakukan kesalahan sedikitpun. Termasuk Gajah Mada. Dan air terjun Madakaripura inilah yang menjadi saksi sejarah ketidaksempurnaan Gajah Mada.
Dari berbagai literatur yang pernah saya baca, Gajah Mada menghabiskan sisa umur untuk bertapa di air terjun ini demi merenungi kehidupannya. Salah satunya Perang Bubat, perang tidak seimbang ketika seluruh keluarga dan pasukan kerajaan Sunda dibantai habis. Ini juga menjadi alasan penamaan air terjun Madakaripura. Mada dari kata Gajah Mada, “kari” artinya meninggal dan “pura” artinya tempat persembahyangan.
Arca Gajah Mada seperti menyambut kedatangan kami di pintu masuk. Gambaran tubuh yang tinggi kekar membuat siapa pun yang melihat patung ini bisa mempercayai kehebatan pembuktian Sumpah Palapa yang pernah diucapnya. Yaitu tidak akan menikah sebelum bisa menyetukan seluruh wilayah Nusantara.
Ada banyak mitos yang dipercaya warga setempat mengenai air terjun Madakaripura. Salah satunya adalah jangan membawa niat buruk karena akan mencelakai selama perjalanan. Selain itu, pengunjung harus pulang sebelum pukul 2 siang. Jika lebih dari pukul 2, hujan deras akan turun tiba-tiba sehingga membuat debit air terjun menjadi lebih banyak dan membahayakan pengunjung.
Dari berbagai mitos yang beredar juga, air terjun Madakaripura ini bisa membuat awet muda. Banyak pengunjung yang sengaja membasahi diri dengan air terjun Madakaripura agar awet muda. Entah benar atau tidak.
Dari tempat parkir motor, kami berjalan melewati jalan setapak menuju titik air terjun. Terlihat lembah sungai yang semakin menyempit membentuk sebuah ngarai. Ada beberapa penjual jas hujan yang menawarkan barang dagangannya kepada pembeli. Melihat tampias aliran air terjun yang mirip hujan, saya memutuskan membeli satu jas hujan agar tidak basah kuyup. Mindungi berbagai barang bawaan yang rentan terkena air seperti gadget dan kamera.
Meskipun lelah menempuh perjalanan hingga sampai ke titik air terjun, semua terbayar dengan keindahan alam dengan latar suara gemericik air terjun Madakaripura yang hampir mirip suara hujan deras.
Air terjun Madakaripura berbentuk ceruk atau lebih mirip seperti gua dengan ketinggian kurang lebih 200 meter. Bisa bayangkan air turun melingkar dari atas melewati tebing vertikal yang ditumbuhi tanaman hijau. Pantulan cahaya matahari membuat air terjun Madakaripura terlihat seperti tirai putih saat dipandang atau dipegang.
Pada air terjun utama terlihat beberapa ceruk kecil menyerupai gua. Konon katanya, di dalam ceruk itulah Gajah Mada melakukan pertapaan. Patih hebat itu menyerahkan akhir hidupnya dengan cara bertapa. Dia menebus semua dosa dengan melepaskan segala jabatan patih yang telah membesarkan namanya. Gajah Mada seperti lenyap dalam hiruk pikuk ketidakpastian kehidupan manusia.
Cerita Majapahit dan Gajah Mada begitu melegenda, namun kisah akhir dari legenda itu masih belum jelas. Sedikit prasasti atau bukti sejarah yang menjelaskan secata gamblang mengenai salah satu kerajaan besar di Nusantara itu. Para arkeolog dan sejarawan hanya mencoba mengais sisa-sisa sejarah dari beberapa sumber saduran kitab Negarakertagama. Selebihnya hanya mengandalkan dari kisah sejarah yang diproduksi dari mulut ke mulut lalu diceritakan dari generasi ke generasi.
Apa pun cerita yang beredar di masyarakat terkait Majapahit dan Gajah Mada, air terjun Madakaripura memang layak dijadikan destinasi wisata akhir pekan. Hanya dengan membayar harga tiket masuk sebesar Rp11 ribu saja, pengunjung bisa menikmati keindahan alam air terjun tertinggi di jawa dan nomor dua di Indonesia ini dengan segala fasilitas seperti toilet, musala, dan toko souvenir di dalamnya.
Agar perjalanan lebih menyenangkan, sebaiknya lakukan kunjungan selama musim kemarau. Jangan berkunjung ketika musim penghujan. Karena dengan intensitas hujan yang tinggi bisa menyebabkan debit air terjung lebih tinggi sehingga rawan terjadi banjir dan longsong yang membahayakan bagi wisatawan.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Nasihat Pernikahan yang Tidak Banyak Diketahui Orang dan tulisan Puji Khristiana Dyah Nugrahaini lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.