Dua minggu lalu (4 Oktober 2020), saya sempat ngekor temen-temen dari Lasem Kota Cagar Budaya (LKCB) dalam kegiatan Jelajah Gunung Lasem II. Inti kegiatan ini adalah napak tilas jejak-jejak peradaban Majapahit yang tercecer di beberapa perbukitan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Sebelumnya, tepatnya pada 5 Juli 2020, sudah ada Jelajah Gunung Lasem I yang waktu itu napak tilas di gunung Argopuro, Lasem.
Kesimpulan dari dua kegiatan ini adalah, pantes saja jika banyak orang yang nggak percaya bahwa Lasem dulunya merupakan bagian dari imperium Majapahit. Jangankan masyarakat sipil, akademisi—khususnya sejarawan—saja masih banyak yang meragukan bahwa Lasem di Kabupaten Rembang ini bukanlah Lasem yang dimaksud dalam beberapa catatan kuna. Mulai dari Babad Tanah Jawi, Carita Lasem, Kakawin Nagarakartagama, sampai Serat Pararaton.
Pasalnya gini, dalam naskah-naskah kuna tersebut, Lasem dideskripsikan sebagai daerah potensial. Itulah kenapa pada 1351, secara resmi Lasem dideklarasikan sebagai salah satu kerajaan bawahan Majapahit, dipimpin oleh sepupu Prabu Hayam Wuruk, yaitu Rajasadhuhita Indhudewi. Hal tersebut terekam dalam Piagam Singasari.
Disebut juga bahwa para penguasa Lasem memiliki jejak petilasan berupa candi, prasasti, maupun yang lain-lain, yang tersebar hampir di seluruh sudut Lasem.
Nah, pertanyaan mendasar yang sering saya terima, “Jika memang benar Lasem-Rembang ini adalah yang dimaksud dalam naskah-naskah kuna tersebut, mana bukti autentiknya?” Secara, dalam mindset banyak orang, yang namanya bekas peradaban Majapahit pasti menyisakan peninggalan-peninggalan dengan corak ke-Majapahit-an, umumnya berupa candi dan prasasti-prasasti. Contohnya candi-candi dan situs yang ditemukan di Trowulan, Mojokerto.
Lah di Lasem, temuan-temuan semacam itu bener-bener minim. Hanya berupa kepingan-kepingan yang, dalam anggapan beberapa orang, bisa saja bukan berasal dari masa Majapahit.
Tapi, misalnya Lasem-Rembang bukanlah Lasem yang dimaksud dalam naskah-naskah kuna, nyatanya ada kok peninggalan berupa makam para penguasa Lasem. Selain itu juga ada kesesuaian antara nama-nama desa di Lasem hari ini dengan yang tertulis pada naskah Carita Lasem. Artinya, tetap bisa dipastikan bahwa Lasem-Rembang memang merupakan bagian dari peradaban Majapahit.
Kalau memang begitu, pertanyaannya, bagaimana bisa situs-situs peninggalan dengan corak ke-Majapahitan itu lenyap dari bumi Lasem?
Jawabannya ada di akhir naskah Carita Lasem dan tercatat pula dalam The Historical Reading of Lasem. Situs-situs peninggalan Majapahit sengaja dilenyapkan ketika Lasem berada di bawah cengkeraman Mataram yang waktu itu dipimpin oleh Pakubuwana II.
Mari kita runtutkan sedikit demi sedikit.
Pada era Mataram, Kadipaten Lasem berturut-turut dipimpin oleh Raden Bagus Srimpet Tejakusuma I (dari Masa Panembahan Senapati-Sultan Agung), Tejakusuma II (tidak memimpin), Tejakusuma III (pada masa Amangkurat I-Amangkurat II), Tejakusuma IV (pada masa Amangkurat II-Amangkurat III), dan Raden Jaka Sasongko Tejakusuma V (pada masa Pakubuwana I-Pakubuwana II).
Nah, pada masa Pakubuwana II, Tejakusuma V memutuskan turun dari takhtanya dan mengasingkan diri lantaran kondisi politik negeri yang semakin kacau. Apalagi waktu itu Pakubuwana II semakin dekat saja dengan VOC.
Pada 1727, Pakubuwana II kemudian mengangkat syahbandar Lasem, yaitu Oei Ing Kiat sebagai adipati Lasem, yang selanjutnya bergelar Tumenggung Widyaningrat.
Ternyata eh ternyata, Tumenggung Widyaningrat masih terlalu setia dengan trah Tejakusuman. Ia secara terang-terangan menolak kebijakan apa pun dari Pakubuwana II dan VOC jika itu bertendensi merugikan rakyat Lasem.
Puncaknya adalah ketika pada 1741 VOC mendirikan pemerintah regency dan kantor dagang di Rembang tanpa melibatkan Tumenggung Widyaningrat. Bahkan pihak VOC melantik Hangabei Honggojoyo sebagai bupati regency Rembang yang pertama. Bagi Tumenggung Widyaningrat, ini adalah perampasan karena sebelumnya Rembang masih merupakan bagian teritorial dari Kadipaten Lasem.
Maka dengan memanfaatkan momentum “Peristiwa Angke” (pemberontakan etnis Tionghoa di Batavia), Tumenggung Widyaningrat ditemani oleh Tan Ke Wie dan Raden Panji Margono (putera Tejakusuma V), memutuskan untuk menyerang kantor dagang VOC di Rembang dan Jepara. Serangan yang berhasil ditumpas dengan mudah oleh VOC.
Imbas dari penyerangan tersebut, Tumenggung Widyaningrat dicopot dari jabatan adipati dan hanya memangku jabatan sebagai Tumenggung Mayor Titular (jabatan boneka yang dibuat oleh VOC). Hangabei Honggojoyo juga dipecat karena dituduh terlibat dalam penyerangan tersebut.
Untuk mengondusifkan keadaan yang sempat kacau, Gubernur Jenderal VOC ke-27, Gustaaf Willem baron Van Imfoff, mengangkat Suro Adimenggolo III (bangsawan asal Semarang) sebagai adipati atau waktu itu sudah menjadi bupati regency untuk Lasem. Nah, pada masa inilah situs-situs peninggalan Majapahit dilenyapkan.
Pada 1745 (awal-awal kepemimpinannya di Lasem) ia memerintahkan agar situs-situs peninggalan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha tersebut untuk dimusnahkan. Baik candi, prasasti, pusaka, sampai pustaka turut dilenyapkan secara paksa. Alasannya, peninggalan-peninggalan tersebut mengandung unsur syirik.
Ia bahkan membuat maklumat yang berbunyi:
“Barangsiapa yang terbukti membantu para perusuh yang menyerang regency dan tangsi VOC akan dihukum mati. Barangsiapa menyimpan benda-benda pusaka ataupun pustaka peninggalan leluhur harus diserahkan ke kadipaten. Bila kedapatan menyembunyikan, akan dihukum cambuk sebanyak 25 kali di alun-alun, dan candi-candi yang ada di Lasem supaya dirubuhkan dan arca-arcanya disirnakan.”
Sebenarnya pemusnahan peninggalan Majapahit memang seolah menjadi tradisi bagi trah Mataram. Dalam catatan Suripan Sadi Hutomo, hal tersebut bahkan sudah terjadi sejak masa Sultan Agung. Tidak hanya pada situs, bahkan peninggalan Majapahit berupa kesenian maupun tradisi pun sedikit banyak mulai dilenyapkan. Yang dicontohkan Suripan adalah pada kasus kesenian kentrung/jedoran (termasuk jenis folk songs) yang dianggap nggak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Mataram ingin mengukuhkan diri sebagai kesultanan Islam yang kaffah di Nusantara.
Pemusnahan pada masa Suro Adimonggolo III itu belum seberapa karena masih ada serpihan-serpihan situs maupun candi yang masih tersisa.
Peninggalan arkeologis Majapahit di Lasem bener-bener lenyap ketika berjalannya proyek pembangunan De Groot Postweg (Jalan Pos) sepanjang Anyer-Panarukan (seribu km) pada 1808 oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Ketika proyek tersebut mulai menyentuh Lasem, material reruntuhan candi maupun situs-situs yang lain digunakan sebagai fondasi jalanan.
Yah, begitulah, salah satu bagian penting dari imperium Majapahit harus lenyap begitu saja dari peta sejarah. Ironis memang.
BACA JUGA 3 Pengetahuan Dasar Tentang Terminal Bungurasih yang Wajib Diketahui dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.