Mengintip Kebebasan Pers di Amerika Serikat

kebebasan pers amerika serikat mojok

kebebasan pers amerika serikat mojok

Bertanya terkadang bukan perkara sederhana. Mengajukan pertanyaan yang tepat, pada orang yang tepat di saat yang tepat, seringkali tidak mudah. Untuk itulah seorang jurnalis dibayar. Dari jawaban atas pertanyaan itulah seorang jurnalis dapat memberitakan suatu peristiwa pada masyarakat luas.

Rabu  6 Januari 2021 waktu setempat, Amerika Serikat menjadi sorotan dunia, saat massa pendukung Presiden Donald Trump menerobos Gedung Capitol, Washington D.C. Massa menyerbu masuk saat Kongres hendak mengesahkan kemenangan Joe Biden dalam pilpres.

Kerusuhan yang memakan korban jiwa tersebut bagai mencoreng arang di kening, mengingat selama ini Amerika Serikat sering dijadikan model atau suri tauladan pemerintahan demokratis bagi negara-negara lain di seluruh dunia. Tidak heran jika setelah peristiwa memalukan itu masyarakat dunia bertanya-tanya, apakah gerangan yang akan dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat, untuk memperbaiki situasi, dan memulihkan nama baiknya yang tercoreng.

Tepat itulah yang dilakukan oleh jurnalis VOA (Voice of America) asal Indonesia yang bertugas meliput Gedung Putih, Patsy Widakuswara. Mengajukan pertanyaan yang tepat. Senin 11 Januari 2021 lalu, Menlu AS, Mike Pompeo berpidato selama sekitar 30 menit tentang Kehebatan Amerika di kantor pusat VOA di Washington D.C. Dalam pidatonya, Pompeo sama sekali tidak menyebutkan tentang kerusuhan yang terjadi di Gedung Capitol minggu sebelumnya. Pada sesi tanya-jawab yang dinilai “amat bersahabat” pun, direktur VOA yang baru, Robert R. Reilly sama sekali tidak bertanya seputar kerusuhan yang merenggut korban jiwa tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa dalam pidato tersebut Pompeo hanya menerima dan menjawab pertanyaan dari sejumlah eksekutif VOA yang ditunjuk oleh Presiden Donald Trump, namun sama sekali tidak menerima pertanyaan dari jurnalis VOA.

Pertanyaan yang bisa dibilang mewakili rasa ingin tahu masyarakat dunia baru sempat diajukan, pada saat Pompeo berjalan meninggalkan gedung kantor pusat VOA. Patsy Widakuswara mengajukan dua pertanyaan. Apa yang akan Menlu Mike Pompeo lakukan untuk memulihkan reputasi Amerika Serikat. Ketika pertanyaan tersebut diabaikan, Patsy Widakuswara mengajukan pertanyaan kedua, yaitu apakah Pompeo menyesali ucapannya bahwa akan ada administrasi Trump yang kedua. Sebagai catatan, pada 10 November 2020 Pompeo memang pernah menyatakan bahwa “akan ada administrasi Trump yang kedua” meski ia mengakui kekalahan Presiden Donald Trump dalam Pilpres AS 2020 (sumber: Al Jazeera).

Patsy Widakuswara kemudian mengunggah video dirinya saat mengajukan pertanyaan, di akun Twitter-nya. Beberapa jam usai mengajukan pertanyaan tersebut, ia dipindahtugaskan dari posnya di Gedung Putih. Ironis sekali, mengingat bahwa dalam piagam VOA bab 503 butir kedua tertulis bahwa VOA akan mewakili (keseluruhan) Amerika, bukan hanya segmen tunggal masyarakat Amerika, dan karenanya akan menyajikan proyeksi pemikiran dan institusi-institusi signifikan Amerika yang seimbang dan komprehensif.

Ketika seseorang dipindahtugaskan dari pos yang ditempatinya, dan tidak ada protes berarti dari pihak lain, cukup aman untuk menyimpulkan bahwa barangkali ia memang tidak sesuai untuk pos tersebut. Namun, hal ini jelas tidak berlaku untuk sang jurnalis Gedung Putih VOA. Segera setelah pemindahtugasannya diumumkan, gelombang protes langsung menyerbu.

Politisi Demokrat dan Republikan dari Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat, Gregory Meeks dan Michael McCaul mendorong VOA untuk menempatkan Patsy Widakuswara pada pos semula. Dalam sebuah pernyataan bersama, mereka menyatakan, “Ini adalah Amerika Serikat, kami tidak menghukum jurnalis-jurnalis kami karena mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Pers yang bebas dan adil berada dalam pokok Konstitusi dan demokrasi kami.”

Zeke Miller, Presiden Asosiasi Koresponden Gedung Putih menyatakan bahwa pemindahtugasan tersebut merupakan serangan pada Amandemen Pertama, khususnya kebebasan pers. VOA yang ditopang oleh para pembayar pajak semestinya mencontohkan kebebasan pers, di mana Amerika Serikat berharap bahwa kebebasan pers mereka bisa menjadi teladan bagi negara lain di seluruh dunia. Pemindahtugasan Patsy Widakuswara karena melakukan tugasnya yaitu mengajukan pertanyaan, adalah penghinaan bagi isi pidato Menlu AS Mike Pompeo Senin lalu.

Ya, ironisnya, dalam pidatonya hari Senin lalu Mike Pompeo sempat mengkritik VOA. Ia menyatakan, berita yang disiarkan VOA seringkali merendahkan Amerika. Menurut Pompeo, bukan berita palsu bagi VOA untuk menyiarkan bahwa Amerika Serikat adalah negara terbesar dalam sejarah dunia, dan bangsa terbesar yang pernah dikenal dalam peradaban. Lebih lanjut, Pompeo menyatakan bahwa ia tidak mengatakan hal itu untuk mengabaikan kesalahan-kesalahan mereka. Namun ini bukan “Vice of America” yang berfokus pada semua hal yang salah dengan bangsa hebat ini. Ini adalah “Voice of America”. Ini jelas bukan tempat untuk memberi panggung bagi rezim otoriter Beijing atau Teheran.

Menarik untuk dilihat lebih lanjut, apakah Patsy Widakuswara akan dikembalikan ke posnya semula di Gedung Putih atau tidak. Bisa dibilang, pemindahtugasan yang mengakibatkan protes dari banyak pihak ini justru membuktikan pencapaian kerjanya sebagai jurnalis andal. Juga keberaniannya mengajukan pertanyaan yang tepat pada orang yang tepat. Apakah Amerika Serikat benar-benar pantas dijadikan suri tauladan kebebasan pers? Kita lihat saja nanti.

BACA JUGA Jakob Oetama yang Secerdik Ular dan Selembut Merpati dan tulisan Santi Kurniasari Hanjoyo lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version