Selain jodoh, azan Maghrib juga bisa jadi sesuatu berharga yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang saat Ramadan. Lantaran saat berkumandang azan Maghrib, maka berarti puasa hari itu telah selesai dan segala pantangan yang telah ditahan seharian untuk tidak dilakukan, jadi boleh dilakukan kembali. Termasuk makan dan minum tentunya. Maka tak jarang kalau banyak orang yang berupaya menghadirkan makanan dan minuman kesukaannya sebagai menu buka puasa. Maklum lah, sudah seharian berpuasa menahan lapar dan haus, jadi sekalinya makan maunya yang enak, dong.
Menu andalan yang ada di meja saat buka puasa itu biasanya minuman manis dan dingin, serta makanan hangat dan memiliki cita rasa pedas atau gurih. Kombinasi yang umum biasanya begini, nasi hangat dimakan pakai sayur lodeh atau tongseng lalu minumannya es buah. Atau yang terbiasa makan takjil terlebih dahulu sebelum makan besar, pasti tak asing dengan kolak. Kolak memang jadi primadona takjil, karena meskipun tergolong minuman, tetapi bisa juga sekaligus digunakan untuk mengganjal rasa lapar.
Semua menu makanan favorit kita itu akan mudah dibuat kalau kita menjalankan ibadah puasa di Indonesia. Akan tetapi, kalau kita masak makanan yang sama di Mekkah bagaimana, ya?
Tantangan pertama kita kalau mau makan sayur lodeh atau kolak di Mekkah adalah mencari bahannya. Jelas di sana mencari buah dan sayur tidak akan semudah di Indonesia, lha wong buah dan sayur lebih banyak didatangkan impor kok. Kalaupun sudah ketemu, pasti harganya tidak akan murah. Jadi, kalau di sini kita makan sayur lodeh pakai tempe goreng dan menyebutnya sebagai menu sederhana, di Mekkah kita akan dianggap orang kaya kalau makan sayur tiap hari.
Saya pernah merasakan betapa sulitnya mencari daun bayam di Mekkah yang padahal biasa kita temukan di tukang sayur seharga dua ribu rupiah itu. Pusat-pusat perbelanjaan lebih banyak menyediakan perisa sayur dibanding sayur aslinya. Akan lebih memungkinkan untuk menemukan sayur di kompleks pemukiman orang melayu daripada di pusat perbelanjaan meskipun harganya tetap saja mahal. Akhirnya saya mendapatkan satu ikat bayam dengan harga 8 riyal atau setara 32 ribu rupiah. Iya kawan-kawan, sayur dan buah di Mekkah memang harganya semahal itu bahkan lebih mahal dari daging sapi, unta, maupun kambing. Daging-dagingan itu harganya sekitar 6-7 riyal per kilogram, belum lagi kalau musim qurban, lebih nggak ada harganya lagi daging-daging itu. Berbeda dengan sayur atau buah yang harus impor setiap saat.
Jadi, mari kita coba menghitung berapa biaya yang harus kita keluarkan untuk menu buka puasa andalan kita yang sangat mudah dibuat yaitu nasi dan tumis kangkung pakai lauk tempe goreng. Tak lupa juga kolak pisang favorit kita semua.
Untuk memasak nasi, kita butuh beras, kalau bertanya mau beras basmati yang biasa dijadikan hidangan timur tengah seperti nasi briyani itu, harganya sedikit lebih murah yaitu sekitar 4 riyal. Kalau kita pakai beras yang sering kita masak di rumah, per kilo harganya 6 riyal. Untuk kangkung, satu ikat harganya 6 riyal. Tempe di Mekkah dijual dengan kisaran harga 5 riyal. Lalu kita juga membutuhkan minyak, harganya kisaran 3 riyal per liter.
Untuk menu kolak pisang, kita harus rela merogoh kocek lebih dalam lagi dengan membeli pisang seharga 20 riyal satu sisir, ditambah gula merah dan santan kelapa yang masing-masing bisa kita dapatkan seharga 2 sampai 3 riyal.
Kita asumsikan saja dengan kurs 1 riyal 4000 rupiah, maka untuk menu nasi kangkung dan tempe goreng kita akan menghabiskan 80 ribu rupiah, sedangkan untuk menu kolak kita akan menghabiskan 96 ribu rupiah. Jadi total, sekali buka puasa dengan menu “sederhana” kita itu, kita akan menghabiskan 176 ribu rupiah. Kalau dibawa ke restoran di Indonesia, sudah hampir dapat all you can eat, ya?.
Ini belum termasuk kalau kita hobi makan milam lho. Iya, milam, mie instan malam-malam. Hehehe. Di sana ada Indomie kok, tapi harganya 5 riyal per pcs yaitu sekitar 20 ribu rupiah. Bagaimana? Tertarik mencoba menghamburkan uang untuk memasak kolak pisang dan makan mie instan di Mekkah? Sebenarnya makan di Mekkah nggak akan semahal itu kok, kalau kita mau berbaur dengan menu lokal. Nasi briyani, yang porsi jumbo plus pake ayam paha atas saja harganya cuma 7 riyal.
Ini membuktikan bahwa slogan, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” itu bukan semata tentang toleransi berbudaya, tapi juga toleransi berkuliner yang akan memudahkan dan mengamankan isi dompet kita.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.