Menghargai Kepedulian Orangtua Melalui Pesan WhatsApp yang Selalu Di-Forward Agar Anak Selalu Waspada

forward

forward

Beberapa waktu terakhir sampai dengan saat ini, pesan yang sembarang diforward oleh kebanyakan orangtua seringkali menjadi bahan candaan anak-anaknya. Tak sedikit pula anak yang misuh atau ngedumel dengan berkata bahwa Bapak atau Ibu sukanya asal forward tanpa memastikan dahulu bagaimana kebenaran informasi tersebut.

Saya pun masih sering mendapat pesan—yang katanya—sembarang forward dari Bapak dan Ibu sampai dengan saat ini. Jika sempat akan saya baca pesan tersebut yang dikirim via Whatsapp. Kalau tidak sempat atau sebelumnya saya sudah pernah membaca isi pesan tersebut, biasanya langsung saya lewatkan begitu saja—tanpa perlu dibaca kembali.

Jika memang pesan tersebut baru, alih-alih merasa mangkel, saya selalu mengucapkan terima kasih terlebih dahulu karena tidak semua pesan yang diforward merupakan hoax. Ada pula informasi berupa sedang ada penilangan di lokasi tertentu atau ihwal waspada copet, kemalingan, juga begal yang masih saja ramai menjadi bahan perbincangan. Sebab itu, rasanya tidak berlebihan jika saya menghargai usaha orangtua untuk terus mengingatkan para anaknya agar tetap waspada dalam segala kondisi—termasuk marabahaya.

Jika memang benar informasi yang diteruskan adalah hoax atau belum teruji kebenarannya, sudah sewajarnya—saya sebagai anak—mengingatkan orangtua bahwa kabar tersebut adalah bohong. Daripada hanya jadi bahan olokan atau sebuah thread di media sosial, lebih baik diingatkan secara langsung. Tidak baik jika asal forward dan belum kroscek tentang keabsahan informasi tersebut.

Perlu dipahami, tidak semua orangtua berniat menyebarkan hoax atau ketakutan, mereka hanya ingin menjaga dan memastikan bahwa keluarganya—terlebih para anaknya—tetap baik-baik saja dengan cara mengingatkan lewat pesan yang dikirimkan. Jadi, rasanya kurang baik jika langsung berburuk sangka kepada orangtua jika sedikit-sedikit forward pesan atau informasi via WhatsApp.

Selain itu, para orangtua yang memang baru menggunakan aplikasi chatting, biasanya memang akan lebih tertarik mencoba-coba hal yang baru saja dipelajari atau diberi tahu tentang tata cara penggunaannya—salah satunya forward pesan. Seperti Bapak saya yang begitu mengetahui bagaimana cara meneruskan pesan, hampir setiap saat dia meneruskan pesan yang didapat dari grup WhatsApp-nya.

Laiknya anak kecil yang baru bisa berjalan atau berlari, semuanya terus dilakukan secara berulang karena senang akhirnya mengetahui bagaimana cara melakukannya—antusias. Begitu pula dengan para orangtua yang selalu forward pesan karena baru mengetahui bagaimana cara penggunaannya.

Saya pikir, tidak ada orangtua yang betul-betul ingin menjerumuskan anaknya bermodalkan forward pesan yang tidak diketahui kebenarannya. Tidak semua orangtua juga memahami bagaimana cara mengkroscek informasi yang didapat benar atau tidak. Dapat dipahami, selain karena beda generasi, tentu beda pola pikir dan fasilitas yang ada dan disediakan saat masih belajar dulu. Kini internet dengan mudah didapatkan dan ditemui, namun dahulu internet masih menjadi sesuatu yang tabu.

Wajar jika atas dasar ketidaktahuan dan ketidakpekaan atas suatu kebenaran informasi, para orangtua menjadi sembarang forward pesan. Sebagaimana dilansir tirto.id dari data yang bersumber dari Science Advance dan The Verge, penyebab orangtua berada di pusaran hoax antara lain karena:

1. Telat mengenal internet dan media sosial
2. Kemampuan literasi digital kurang memadai
3. Kemampuan kognitif menurun

Oleh sebab itu, sekali lagi, sebagai anak sudah sebaiknya tidak pernah bosan untuk mengingatkan dibanding hanya menjadikan kelemahan tersebut sebagai olok-olokan.

Untuk hal tersebut, baiknya kita sebagai anak sama-sama belajar dan memberi arahan kepada orangtua tanpa kenal lelah. Sebab kini semakin banyak informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Judul berita dari suatu media online saja bisa diubah-ubah sesuai keinginan oleh netizen, kok, setelah diketahui celah bagaimana cara mengubahnya.

Lagipula, tidak ingin juga kan hanya kita sebagai anak yang selamat dari ancaman hoax, sedang orangtua kita sendiri secara tidak sadar meneruskan info yang jadi musuh bersama tersebut. Dalam pemusnahan hoax, sudah selaiknya jadi tanggung jawab bersama—bukan hanya pemerintah. Dan langkah sederhana yang bisa dilakukan salah satunya dengan mencegah rantai tersebut bermula dari orangtua dan diri sendiri. (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Exit mobile version