Seorang teman yang baru pulang dari Eropa pernah cerita, katanya jangan pernah minta saus sambal kalau makan di restoran, terutama kalau lagi fine dining di Kota Paris. Bisa-bisa kamu diomelin sang koki. Menurut blio, adalah sebuah penghinaan untuk sang koki kalau masakan yang disajikan kudu ditambahkan saus sambal lagi.
Saya manggut-manggut mendengar cerita teman saya itu. Saya sih percaya saja, lha wong saya juga belum pernah halan-halan ke Eropa. Apalagi “makan ala sultan” alias fine dining di sana. Dan, saya juga sepakat perkara saus sambal itu.
Menurut saya, saus sambal menjadi salah satu bumbu andalan buat koki yang tidak PD dengan masakannya. Beda dengan micin dan kaldu instan yang bisa dianggap sebagai “pengoreksi” rasa, penggunaan saus sambal yang tidak tepat, justru bisa jadi “perusak” rasa. Belum lagi untuk beberapa jenis masakan, penambahan saus sambal bisa membuat tekstur makanan, terutama kuah, menjadi lebih kental.
Bisa jadi, lidah orang Indonesia yang terbiasa mengecap rasa “pedas-gurih”-nya saus sambal yang membuat beberapa koki makin PD menambahkan bahan ini ke dalam masakannya. Entah blio sadar atau tidak, pada akhirnya saus sambal inilah yang justru mendominasi rasa masakan.
Yang jadi masalah berikutnya adalah ketika sang koki “main” tuang bahan satu ini, tanpa permisi! Halooo… nggak semua pembeli doyan, lho. Saya adalah salah satunya.
Buat saya, saus sambal adalah biang pedas yang sedapat mungkin saya hindari. Sayangnya, saya cukup sering mendapatkan makanan yang sudah kadung terintervensi bahan satu ini. Mulai dari lumeran saus sambal dalam burger/kebab/crepes, atau penampakannya yang zigzag di atas nugget dan kentang goreng, sampai yang kasat mata karena langsung dicampur dalam kuah mi.
Saya nggak mengerti, bagaimana sang koki memposisikan saus sambal dalam penyajian makanannya itu, ya? Sebagai bumbu masak, topping, atau sekadar hiasan (garnish)?
Dalam kasus mi rebus itu, mungkin blio memang memandang saus sambal itu sama derajatnya dengan bawang merah, bawang putih, garam, merica, atau bumbu lainnya. Pokoknya penting banget. Kudu ada. Ring satu! Saya sih langsung ilfil lihat tampilan mi dengan warna kuah yang sudah bermutasi oranye terang itu. Sudah kebayang, hidangan itu akan terasa sangat khas saus sambal. Itu saja. Persetan dengan bawang merah, bawang putih, daun bawang, dan dedaunan lainnya yang sudah susah payah diiris, diulek, dan dicemplungin ke dalam kuah mi itu. Nggak ngaruh!
Sementara kentang goreng dan nugget yang di atasnya langsung diguyur bahan satu ini, menurut saya sang koki sedang kehabisan ide bagaimana cara menghias hidangannya. Secara tampilan mungkin menurut blio unyu. Kombinasi kuningnya kentang yang matching banget dengan cokelatnya nugget, bakal lebih sempurna kalau dipadupadankan dengan oranyenya saus. Paling nggak, terlihat sedap di mata blio gitu.
Saat sang koki terpesona dengan tampilan hasil karyanya di piring, blio malah nggak sadar kalau jenis masakannya sudah berubah dari “paket camilan kentang goreng dan nugget” menjadi megaloman “paket saus sambal spesial dengan kentang goreng dan nugget”.
Kenapa ya saus sambal ini seakan menjadi “pegangan hidup” buat sebagian koki? Saking penasaran, saya pun mengambil saus sambal sembarang merek, dan melihat sebenarnya apa saja sih bahan yang terkandung di dalamnya.
Tenyata komposisi saus sambal yang diberi gelar “ekstra pedas” itu terdiri dari air, cabai, garam, pengental nabati, ekstrak ragi, bumbu dan rempat-rempah, pengatur keasaman, perisa, dan pengawet (natrium benzoat, natrium metabisulfit). Tanpa perlu tahu apa saja bumbu dan rempah-rempah yang dikandungnya, pada akhirnya toh menghasilkan rasa yang disukai penduduk Indonesia.
Nggak heran kalau banyak orang langsung meliriknya saat merasa bermasalah dengan masakannya. Dengan kandungan selengkap itu, bahan satu ini dianggap sebagai problem solver nomer wahid!
Sebentar! Problem solver buat sang koki apakah berlaku juga untuk penyantap hidangan? Kalau ketemunya pembeli yang fans diehard-nya sih, mungkin nggak masalah. Lah, kalau ternyata saya yang pesan hidangannya, ya bakalan jadi masalah. Seperti pengalaman saya ketika menyambangi kedai burger yang baru dibuka di kota saya.
Nggak mau terjebak dalam banjir Jakarta saus sambal yang sangat mungkin menjadi salah satu komponen andalan di menu burger, saya pun memesan egg toast with mozarella cheese. Beuh, dari namanya saja sudah ndoro banget, nih. Artinya kira-kira sih “roti bakar isi telur dengan keju mozarella”.
Sudah kebayang, menu ini pasti rasanya bakalan asin dan gurih. Lidah saya seolah sudah mengecap lelehan mozarella, walau hidangannya belum datang. Tapi sepertinya, saat itu saya bermimpi terlalu tinggi. Ini hidangan saya:
Mungkin kalian akan berpikiran, kalau nggak suka ya tinggal disisihkan saja sausnya, selesai! Pengalaman saya, membuang saus yang sudah tercampur dalam hidangan, nggak seperti mengambil buah stroberi dari atas kue tart, Mylov. Mengambil saus dengan sendok itu sama seperti meratakannya ke seluruh permukaan hidangan. Percayalah, saya sudah pengalaman sekali “kopdar” dengan bahan satu ini.
Tahu nggak, hidangan seperti ini bikin saya pesan es teh manis dua gelas karena kepedesan. Pada akhirnya bukannya kenyang, saya malah kembung kebanyakan minum. Huh!
Sumber Gambar dalam Artikel: Dokumentasi Penulis
BACA JUGA Dituduh Tidak Islami, Persatuan Klepon Indonesia Justru Ingin Ajak Kurma Colab Bikin Produk Klepon Saus Kurma dan tulisan Dessy Liestiyani lainnya.