Mengenang Kebun Binatang

monyet kebun binatang

monyet kebun binatang

Saya sedang ingin mengenang kebun binatang. Kalau kamu mau ikut, yuk kita lanjutkan. Meluncurlah di atas kenangan dan menceburlah ke kolam ingatan. Biarkan tubuh kita basah dengan cerita yang sudah-sudah.
Kebun binatang itu tempat wisata yang menjanjikan waktu liburan. Sebuah dunia lain bagi masa kecil saya yang rumahan. Palingan ya main ke kali atau kebun tetangga. Kalau lagi untung, bisa sampai ladang. Itupun karena mengejar layang-layang.
Ketika ibu menjanjikan liburan ke kebun binatang, saya rela puasa jajan. Uangnya ditabung biar bisa beli pakan. Ndulang binatang di kandang kan bisa jadi satu kesenangan. Nggak lengkap rasanya kalau belum terlaksana.
Dulu, ibu selalu bilang, besok kalau ke kebun binatang, kita bakal ketemu saudaramu. Saya tidak menyangka jika yang dimaksud adalah kera. Pas sudah dewasa, saya membayangkan ibu mempunyai anak seekor kera. Ya nggak mungkin dong yhaaa~
Tapi kalau dipikir, logikanya kan seperti ini. Premis pertama, saya adalah anak ibu. Premis kedua, kera adalah saudara saya. Premis ketiga, semua saudara saya adalah anak ibu. Jadi, konklusinya, kera adalah anak ibu juga. Masak iya sih bapak saya seekor kera? Ah, enggak ah.
Ternyata maksud ibu itu mengejek saya. Menyamakan saya dengan kera. Kalau dalam bahasa nenek disebut ngilo ning kaca benggala, madakno rupo. Duh… Ibu kok bisa-bisanya selucu itu?
Apa ibu nggak geli ya—membayangkan menggendong anak yang ternyata seekor kera? Kalau dalam film-film sih, biasanya langsung kaget—menjerit ketakutan. Melihat kenyataan yang lebih buruk dari angan-angan kan memang menyakitkan. Bisa jadi kalau beneran terjadi, saya ditinggal pergi.
Untung hal-hal menyedihkan di atas hanya imajinasi saya. Meskipun ibu mengejek, toh saya tetap bahagia diajak melihat kera. Saya jadi tahu kalau kera itu banyak macamnya—persis seperti manusia. Ada aja yang mati-matian mempertahankan kedudukan ataupun bucin-bucinan dengan pasangan.
Selain melihat kera, ibu mengajak saya naik unta. Binatang berpunuk dari tanah Arab dan Afrika. Pada waktu itu, unta menjadi binatang tunggangan yang kenamaan. Anak-anak sering antre demi merasakan sensasi digendong binatang.
Dulu saya penasaran, kenapa punggung unta tidak rata seperti binatang lainnya? Untuk apa seekor unta memelihara punuk yang terkadang ada dua? Di kebun binatang ini saya mendapat jawabannya.
Ternyata unta itu hobinya menyimpan cadangan perasaan makanan. Tempatnya, ya, di punuknya itu. Kalau cadangan makanannya habis, bisa kempis nggak ya? Apaan sih? Yang kembang-kempis kan cuma cintamu.
Di samping itu, cara unta bertahan dari lapar, haus, dan panasnya gurun pasir, tidak kalah dengan caramu menutupi rasa sakit dan kemudian menyingkir. Kalian berdua memang sangat mahir. Upss~
Tapi ketika yang lain berfoto ria nunggang unta, saya tidak ikut serta. Ibu bilang, ingatan kita yang akan merekam. Kertas bergambar itu bisa luntur, tapi ingatan akan tetap subur kalau rutin disiram.
Sejak saat itu, saya jadi suka mengunjungi kebun binatang. Biasanya pas lagi sumpek-sumpeknya. Pas malas mikir tugas atau was-was mikir tresno sing ra digagas. Mau cerita ke teman malu, tapi kalau gak cerita jadinya ngelu.
Kemudian, biasanya saya memutuskan untuk naik Trans Jogja keliling kota dan berhenti di Gembira Loka. Mencari saudara tua yang diceritakan ibu dalam dongengan purba—siapa lagi kalau bukan kera.
Saya bercerita padanya panjang lebar. Dia adalah pendengar yang baik. Tidak pernah memotong cerita saya. Tidak juga mengejek kebucinan saya. Tapi, ternyata cerita saya hanya seperti bunga baginya. Tidak berarti apa-apa.
Saya cukup lega. Setidaknya saya sudah mengatakan semuanya. Setelah itu, tugas saya tinggal menunggu dan menerima, kan? Apa pun respon yang diberikan, saya kira, harus diikhlaskan.
Toh tujuan utama saya mengunjungi kebun binatang ini untuk menyiram ingatan tentang ibu. Perempuan yang menanam benih ingatan ini dalam kepalaku. Lebih baik memang saya lanjutkan perjalanan mencari unta dan mengatakan kalau saya rindu padanya.
Bukannya sampai di kandang unta, saya malah tiba di ingatan lain. Di tempat yang sama, tapi waktu yang lain. Saya sekarang berada di Gembira Loka bulan Desember yang gerimis.
Waktu itu hampir magrib dan kebun binatang begitu sepi. Beberapa binatang telah menepi. Saya ditemani perempuan dengan kenangan yang sama: kebun binatang adalah tempat wisata keluarga yang menjanjikan di waktu liburan.
Berbeda dengan ibu, bersamanya saya tidak melihat kera dan naik unta. Mata kami memotret kancil-kancil kecil, gajah-gajah besar, sepasang burung pelikan, dan ikan purba yang menyeramkan.
Kaki kecil kami mencatat jalan yang terburu dan lari yang tergesa. Kami dirundung kecemasan. Takut terkunci di kebun binatang. Saya membayangkan, seandainya benar-benar bermalam di kebun binatang, apa yang akan kami lakukan? Apa akan seperti kisah Night at The Museum?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, kami telah sampai di parkiran motor. Seorang tukang parkir gagu sendiri. Ia menunggui motor yang tinggal sebiji. Itulah motor kami.
Setelah kami membayar, ia pergi begitu saja. Tanpa berbicara barang sepatah kata. Lalu seolah tak berdosa, kami tertawa sekenanya. Betapa bodoh dan jahatnya~

Exit mobile version