Hari Minggu merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Garut. Sebab di hari Minggu, masyarakat Garut, terutama di sekitar pedesaan rutin mengadakan salah satu tradisi kebanggan kotanya yakni adu domba.
Tradisi adu domba cukup menghibur bagi kami. Mulai dari anak kecil hingga orang tua pasti menyempatkan waktu untuk menyaksikan tradisi ini. Saya yakin, masyarakat Garut bersyukur tinggal di kota yang mampu merawat tradisinya dengan baik.
Akan tetapi, tradisi adu domba ini oleh masyarakat awam sering kali disalahartikan. Berdasar pengalaman saya pribadi, tradisi adu domba sering dianggap ajang main judi bak adu ayam. Lalu, beberapa orang suka merasa kasihan sama domba-domba yang sengaja kami adukan. Maka, untuk meminimalisir anggapan-anggapan seperti itu, izinkan saya untuk menjelaskan tradisi adu domba ini.
Begini. Di desa saya, tradisi adu domba sudah menjadi keseharian warga. Seperti yang saya bilang tadi, pertunjukan adu domba hanya digelar pada hari Minggu. Tapi, yang perlu dicatat adalah tidak semua daerah di Garut mengadakan kompetisi adu domba, terutama di sekitar kota. Hanya di daerah-daerah tertentu saja. Misal, di kecamatan Leles (tempat tinggal saya), Rancabango, Cikajang, dan Limbangan.
Pertanyaannya, apakah tradisi adu domba merupakan ajang perjudian dan tindakan yang tidak berkepribinatangan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya bertanya langsung ke Mang Aceng, salah satu anggota dari himpunan peternak domba Garut Indonesia.
Mang Aceng menyatakan bahwa tidak ada perjudian di tradisi adu domba ini dan tidak akan melanggar pula hak-hak dari domba. Sebab, adu domba merupakan budaya yang telah tumbuh dari masyarakat Garut. Maka, dengan mengadakan pertunjukan atau kompetisi adu domba, inilah salah satu cara untuk melestarikan kearifan lokal.
Nah, dalam kompetisi adu domba, masyarakat desa saya menyebutkan sebagai ajang ketangkasan para domba. Sebab, domba yang diadukan tidak sembarang domba. Domba cupu paling sebagai penonton saja di lapangan. Lalu, kompetisi adu domba ini bukan semata-mata siapa yang menang atau kalah. Tapi, semacam hiburan saja bagi masyarakat Garut.
Memang, saya mengakui bahwa kota Garut terkenal dengan dodol dan dombanya. Sampai-sampai kalau saya ke luar kota, domba Garut terkenal betul. Lantas, bagaimana bentuk domba Garut hingga bisa terkenal. Dan, ini sekaligus masuk ke pertanyaan tentang domba yang seperti apa yang diadukan.
Domba yang diadukan tentu saja domba jantan. Sebab, domba jantan memiliki postur yang gagah dan jiwa petarung. Sedangkan keberadaan domba betina di lapangan hanya untuk menyemangati domba jantan.
Domba hasil perternakan orang Garut memiliki karakter khas. Domba Garut terkenal dengan perawakan yang kekar dan tinggi. Bobotnya kira-kira sekitar 60 sampai 90 kilogram lah. Kemudian, tanduknya sangat besar untuk ukuran domba standar yang ada di Indonesia.
Ciri unik lain dari domba Garut adalah bertelinga panjang. Atau, dalam istilah Sunda disebut ngagiri. Ada empat tanduk yang menjadi unggulan dari domba pertarung ini. Ada bentuk gayor, golong tambang, leang, dan ngabendo. Lucunya, agar tampak hitam, mengkilap, dan terkesan macho, pemilik domba biasanya mengolesi tanduk-tanduk ini dengan minyak kemiri.
Dengan tampilan dan kualitas domba Garut seperti itu, maka tidak heran kalau harganya lumayan mahal. Untuk satu ekor domba Garut dapat dihargai paling murah sekitar 20 juta rupiah per ekornya. Lalu, harga domba Garut yang sudah ikut serta dalam kompetisi bisa meningkat drastis dikarenakan semakin edan perawatannya.
Perawatan domba Garut tidak main-main. Selain diberi rumput pilihan, domba Garut sering diberi susu yang dicampur madu. Belum lagi pemeliharaan fisiknya yang harus tetap dijaga bersih dan sehat. Maka, kalau pembaca nonton kompetisi adu domba, penampilan domba kadang lebih ganteng daripada pemiliknya.
Di desa saya, nyaris setiap rumah memelihara domba dengan jumlah lebih dari satu. Sebab, punya domba itu semacam tabungan. Maka, orang Garut yang memelihara domba kalau mau menikah tidak perlu kebingungan. Tinggal jual aja dombanya dan cus nikah.
Ada kebanggan tersendiri kalau si pemilik domba menang dalam kompetisi. Sebab, untuk satu ekor domba yang sudah ikut kompetisi dan menang dapat dihargai sekitar 40 juta rupiah per ekornya.
Kompetisi adu domba dibatasi dari segi keselamatan. Makanya, tidak perlu kasihan. Kompetisi ini tidak bertarung sampai mati memperebutkan kekuasaan. Pembatasan terhadap domba yang diadukan yaitu maksimal 20 kali aduan. Kemudian, di setiap kompetisi pasti ada tiga wasit di lapangan yang mengawasi kompetisi. Kompetisi adu domba ini lebih seru daripada pertandingan SmackDown! yang terkesan settingan.
Tradisi adu domba memang tidak lepas dari banyaknya peternakan domba yang ada di daerah Garut. Tradisi ini sudah turun-temurun sejak dua abad lalu. Tepatnya pada awal abad ke-19 saat keresidenan Garut dipimpin oleh Suryakanta Legawa, bupati yang menjabat pada periode 1815-1829. Terlebih, faktor geografi juga membuat kota Garut sebagai tempat yang ideal untuk peternakan domba.
Bagi masyarakat Garut, eksistensi tradisi adu domba layak dipertahankan terus karena ini menjadi salah satu pendongkrak turis. Sebelum pandemi, banyak turis yang terkesima, terus selfie-selfie sama domba dan cengengesan melihat tradisi ini. Tradisi adu domba sangat diseriusi oleh pemerintah Garut sebagai bagian dari strategi menarik wisatawan. Luar biasa, bukan? Ini tradisi adu domba di kota saya, mana tradisimu?
BACA JUGA Ngaliwet, Tradisi Khas Sunda yang Dirindukan Saat Pulang Kampung dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.