Mengenal Cabin Fever, Penyebab Depresi di Kala Pandemi

cabin fever isolasi perasaan stres depresi mojok

cabin fever isolasi perasaan stres depresi mojok

Melihat berbagai masalah terus bermunculan baik itu di timeline media sosial, televisi, koran hingga obrolan tetangga, membuat rasa cemas menjadi kian meningkat dan menyebabkan pikiran menjadi mudah overthinking.

Rasa kehati-hatian agar nggak terinfeksi Covid-19 membuat berbagai kegiatan dilakukan secara daring dan dikerjakan di rumah (work from home). Tanpa sadar terlalu lama terkurung di rumah dengan rutinitas yang begitu-begitu saja membuat berbagai hal yang semula merupakan bagian dari rutinitas menjadi beban pikiran yang tak tertahankan.

Sebut saja beban kuliah daring yang begitu membosankan, beban kerja dari rumah yang justru semakin menggila, hingga perasaan was-was jika ada keluarga atau tetangga yang terinfeksi Covid. Berbagai tekanan yang menimbulkan perasaan negatif berlebih karena terlalu lama terisolasi di dalam rumah disebut sebagai cabin fever.

Istilah tersebut baru saya ketahui pada saat sedang mengikuti kuliah daring Kriminologi. Dosen saya menjelaskan bahwa salah satu fenomena yang terjadi di tengah pandemi ini adalah fenomena cabin fever yang bercirikan perasaan sedih, bosan, gelisah, cemas, dan mudah tersinggung akibat terlalu lama diam di rumah.

Bahkan banyak dari teman (termasuk saya sendiri) yang semula pulang kampung pada saat awal pandemi, memilih untuk kembali ke Yogya karena merasa stress terlalu lama di rumah. Sepintas memang terasa wajar fenomena seperti ini dialami oleh banyak orang. Akan tetapi, jika ditinjau berdasarkan ilmu kriminologi, ternyata fenomena ini menjadi cukup berbahaya jika dianggep sepele.

Berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana dari dosen saya “Apakah ada kemungkinan karena terkena cabin fever, seseorang menjadi melakukan perilaku menyimpang dalam arti berbuat kejahatan?” Saya jadi kepikiran karena dari yang saya baca dan lihat, memang terjadi berbagai tindak kejahatan yang berakar dari kejengahan selama pandemi ini.

Misalkan seperti yang disampaikan Komnas Perempuan bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat selama pandemi ini, ada juga kasus pencurian laptop karena nggak punya fasilitas untuk sekolah, hingga kasus pembunuhan seorang anak oleh ibunya sendiri karena si anak nggak mampu mengikuti sekolah secara daring.

Fenomena cabin fever ini menjadi berbahya karena berpengaruh terhadap emosi perilaku akibat stres. Saya sendiri beberapa kali merasakan stres tersebut meski nggak sampai menyebabkan perilaku menyimpang seperti melakukan suatu kejahatan.

Dosen saya memberikan beberapa contoh kondisi. Kondisi pertama, saat seseorang punya data internet dan menggunakan medsos, ia berpotensi menghabiskan banyak waktunya berselancar di medsos karena merasa memiliki banyak waktu luang. Kemudian akibat stress atas kondisi, ia mudah untuk menghakimi seseorang, melakukan bullying hingga ikut menyebarkan hoax.

Kondisi kedua, seseorang nggak punya hape, lalu nggak bisa cari hiburan, lalu stres, timbulah berbagai perilaku menyimpang seperti pemerkosaan hingga mencuri. Kedua contoh kondisi yang terlihat sederhana tersebut seketika membuat saya merinding dan berpikir bahwa pandemi ini sangat berpengaruh bagi kesehatan mental.

Kondisi ketiga, saat salah satu anggota keluarga terindikasi atau dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Masyarakat akan mulai memberikan label stigma dan banyak kita ketahui telah terjadi perilaku yang justru memperlihatkan minimnya sikap solidaritas karena takut akan terinfeksi virus.

Fenomena yang bermula karena kewajiban untuk membatasi berbagai kegiatan di luar, malah berbalik menjadi sesuatu yang cukup menakutkan dan merisaukan, bahkan berkontribusi sebagai salah satu faktor terjadinya kejahatan selama pandemi ini.

Oleh karena itu, saya merasa memang sebegitu pentingnya membuat kondisi rumah menjadi senyaman mungkin dan mengurangi konflik-konflik yang memang sebaiknya dihindari. Mulai dari memarahi anak yang terlihat malas, nggak paham materi, teriak-teriak di rumah, sampai terlalu mempersoalkan banyak hal-hal kecil.

Tentunya mengkondisikan rumah menjadi tempat ternyaman merupakan solusi terbaik untuk meredam cabin fever ini. Selain tentunya dengan makan makanan bergizi dan olahraga. Komunikasi yang baik merupakan kunci yang harus dibangun untuk membuat rumah menjadi tempat ternyaman selama pandemi ini.

Kembali ke pertanyaan awal tadi, “Apakah ada kemungkinan karena terkena cabin fever, seseorang menjadi melakukan perilaku menyimpang?” Jawabannya ada. Maka dari itu untuk mencegah dampak cabin fever ini, khususnya bagi semua anggota keluarga harus berkomunikasi dengan baik untuk membuat suasana rumah yang nyaman. Sehingga nggak akan merasa seperti sedang diisolasi di sebuah kabin yang jauh dari kehidupan.

BACA JUGA Susi Pudjiastuti Kesal pada Kebijakan-Kebijakan “Konyol” Kementerian Kelautan dan Perikanan dan tulisan Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version