Kenapa sih kita terlalu terobsesi sekolah tatap muka? Apakah karena daring tidak efektif, atau kitanya saja yang gagap?
Salah satu antagonis di dalam manga yang saya ikuti secara rutin setiap minggu adalah seorang petinju. Memang, tema dari manga tersebut adalah seni bela diri, dan si petinju ini yang kononnya berasal dari Meksiko adalah striker terhebat di dunia. Melalui disiplin dan rutinitas luar biasa, ia bisa membentuk tubuhnya untuk bisa masuk ke dalam pertandingan tinju dalam semua kelas berat mulai dari featherweight sampai heavyweight. Namun, sebagaimana cerita-cerita manga lainnya, si petinju antagonis ini merasa tidak puas dengan kekuatannya, dan ia pun mencari cara lain untuk mengeksplorasi dirinya dan menemukan pengetahuan tentang Capoeira. Lantas, hanya dengan berbekal pembelajaran lewat gawai selama 20 jam, ia berhasil menjadi striker terhebat.
Anda sudah dapat arah cerita saya ke mana? Belum? Baik, saya akan mulai lagi.
Karl May, seorang penulis berkebangsaan Jerman, sangat piawai dalam menuliskan cerita-cerita bertema Wild West yang mencakup di dalamnya kebudayaan orang-orang suku Apache dan budaya-budaya cowboy. Ia menuangkan pengetahuannya itu di dalam serial Winnetou, jilid satu sampai tiga. Menariknya, serial tersebut ia buat murni hanya dari hasil pembelajarannya secara mandiri terhadap buku-buku yang ia baca. Karl May baru benar-benar memiliki kesempatan untuk mengembara ke dunia timur sekitar tujuh tahun setelah Winnetou terbit, dan pada hasil dari pengembaraannya ia tulis salah satunya dalam buku Und Friede auf Erden! (dalam Bahasa Indonesia: Dan Damai di Bumi!).
Sekarang seharusnya sudah bisa dapat arahnya ya? Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit orang-orang sukses yang dihasilkan dari mempelajari sesuatu secara mandiri, hanya dengan didasari oleh keinginan dan minat yang kuat. Garis bawahi kembali kata-kata saya: tidak sedikit. Saya tidak memungkiri bahwa ada begitu banyak orang sukses yang menjalani pendidikan dari A sampai Z. Rata-rata ilmuwan favorit saya begitu kok, mulai dari Michio Kaku sampai Neil deGrasse Tyson; dari Walter Lewin sampai Richard Feynman; dan tentu saja, Pak Yohannes Surya. Namun begitu, kita tidak bisa pula memungkiri bahwa orang-orang seperti Karl May ada dan mencatat sejarah.
Mereka tidak memerlukan guru yang berdiri di depan mereka untuk menunjukkan dari A sampai Z. Guru mereka adalah diri mereka sendiri, dan lingkungan di sekitar mereka. Seperti Toph dalam serial The Last Airbender yang langsung belajar mengendalikan bumi dengan mengamati pergerakan tikus tanah raksasa, orang-orang seperti Karl May belajar dengan mengamati, melihat, dan berimprovisasi. Artinya, mereka bebas mempelajari ilmu yang mereka rasa mereka perlukan; sebuah kemerdekaan berpengetahuan dalam artian yang paling mentah, segar, dan dingin.
Sehingga ini pun menimbulkan pertanyaan: sebenarnya sekolah tatap muka konvensional itu masih diperlukan tidak sih?
Sebagaimana yang kisanak semua tahu, Kemendikbud memberi arahan kepada sekolah-sekolah bahwa bermulai pada September, pembelajaran moda tatap muka dengan prokes ketat dan dianjurkan secara terbatas (metode hybrid; sebagian di sekolah, sebagian lagi daring di rumah masing-masing) sudah bisa mulai dijalankan. Sekolah tempat saya mengajar pun sampai kebat-kebit dibuatnya, karena pembelajaran hybrid benar-benar berat di sarpras. Tentu, ini sebelum tersebarnya video singkat dari bupati Kabupaten Tangerang yang mengimbau warga untuk sabar dan jangan terburu-buru berasumsi bahwa sekolah tatap muka sudah di depan mata.
Pada poin tertentu saya cukup setuju dengan blio. Begini lho, Bapak Ibu rekan-rekan guru. Saya merasa bahwa kerisauan kita tentang pembelajaran daring itu bukan terletak pada metode daring itu sendiri, melainkan pada kesilapan kita dalam mencocokkan ekspektasi, beban, dan tujuan bagi anak-anak didik di kala pembelajaran daring. Dalam artian begini: kita masih menggunakan ekspektasi, tata acara, dan adat yang sama dengan ketika kita masih melakukan pembelajaran konvensional, padahal yang sedemikian itu tidak cocok dipakai dalam pembelajaran daring.
Menurut hemat saya, pembelajaran daring lebih pantas disandingkan dengan pembelajaran mandiri. Artinya, anak-anak didik tidak difokuskan untuk menjalani sistem pendidikan, tetapi mencari ilmu dalam bentuknya yang paling dasar. Mereka akan menjelajahi dunia maya, menggali literasi, dan mengumpulkan informasi sesuai dengan apa yang mereka minati. Peran guru di sini bukan lagi sebagai penyampai materi, melainkan sebagai pembimbing yang memberikan wejangan dan pengajaran kepada anak-anak didik bahwa apa yang mereka minati bukanlah sekadar omong kosong atau kesenangan sesaat, tetapi mampu diarahkan kepada sesuatu yang produktif.
Saya risau bahwa sebenarnya, kecenderungan kita untuk menggandrungi sekolah tatap muka adalah bentuk dari rasa takut kita terhadap ketakutan yang kita ciptakan sendiri, terhadap sistem yang kita jalankan sendiri, dan berasal dari repetisi yang kita ulang-ulang sendiri. Kami para guru kerap mengeluh bagaimana penyampaian materi di masa daring itu kurang efektif. Nah, saya pun mempertanyakan diri saya kembali: materinya materi yang seperti apa? Dalam metode daring, kita masih mencekoki anak-anak didik dengan variasi pembelajaran yang diwarnai dengan apa itu soal-soal HOTS (High Order Thinking Skills), yang semakin ke sini saya lihat sebenarnya semakin dibuat-buat; pembuatan soal yang kreatif, namun jauh dari kata aplikatif. Soal UTBK, misalnya.
Para orang tua merasa takut ketika anaknya tidak bisa memahami materi yang disampaikan, anak-anak mereka akan sulit untuk masuk perguruan tinggi negeri. Kita pun begitu: kita menghargai anak-anak didik yang berhasil menembus PTN ternama, tetapi memandang sebelah mata mereka yang setelah lulus memilih untuk bekerja sebagai montir. Kita katakan kepada mereka, “Sudah capek-capek 12 tahun sekolah, lulus hanya jadi montir.” Padahal dalam esensi ilmu sebagai ilmu itu sendiri, perkara sebegitu tidak salah dan tetap perlu diapresiasi.
Dengan seiring kemajuan zaman, seharusnya cara pandang kita terhadap kegiatan menimba ilmu jauh lebih fleksibel. Saya rasa ide belajar secara konvensional, di mana para guru menyampaikan materi yang sudah ditetapkan oleh sistem kurikulum pendidikan supaya anak-anak didik dapat mencapai kesuksesan versi sistem itu sendiri sudah usang. Kesuksesan adalah sesuatu yang intangible, relatif. Oleh karenanya, pembelajaran dalam sebuah peradaban maju seharusnya mengedepankan fleksibilitas. Percaya tidak percaya, pembelajaran moda daring memiliki potensi untuk mencapai visi sebegitu. Tapi, syaratnya itu: tinggalkan pola pikir pendidikan sebagaimana yang biasa dijalankan.
Salah satu permasalahan mungkin adalah terkait adab. Banyak yang mengatakan bahwa adab anak-anak didik semakin tidak karuan dengan adanya pembelajaran daring. Ah, masa sih? Adab anak-anak sekarang memang sudah hancur bahkan ketika tatap muka kok. Malahan sebenarnya dengan didiamkannya mereka di rumah sekarang, menjadi acuan bagi para orang tua untuk lebih memperhatikan adab anaknya. Tidak hanya menghormati guru atau orang yang lebih tua, tetapi alam sekalian isinya.
Intinya, ketika kita meletakkan pengetahuan pada tempatnya, kebaikan sepatutnya turut mengikuti.