Bahasa Jawa memiliki tiga dialek dengan penutur yang tidak bisa dianggap kecil. Dimulai dengan penutur Bahasa Jawa dengan dialek Ngapak yang tersebar di Jawa Tengah sebelah barat, dialek Mataraman yang beredar di sekitar Jogja, Solo, dan beberapa kota di Jawa Timur seperti Kediri, Nganjuk, dan Tulungagung. Dialek terakhir yang cukup dikenal adalah dialek Malangan atau Suroboyoan yang tersebar di sekitar kota Surabaya, Malang, Gresik dan lainnya. Dialek-dialek besar ini sering saya jumpai di kampus dan di lingkungan keluarga saya sendiri. Membuat saya tertarik untuk mendengarkannya lebih lama.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengamati percakapan antara ibu saya yang merupakan orang Jawa dengan dialek Mataraman dan sahabatnya dengan dialek Surabaya. Asyik berbincang dengan bahasa ngoko lugu, saya sedikit menyela perbincangan dengan bahasa krama inggil.
Selama ini saya kurang memperhatikan kejanggalan yang nyatanya, masih baru-baru ini saya sadari. Dialek-dialek Jawa yang selama ini saya dengar selalu memiliki kosakata yang berbeda-beda tiap daerahnya. Dialek-dialek ini uniknya, selalu saya dapati pada level kesopanan ngoko, alias tingkatan bahasa sehari-hari yang digunakan pada teman sejawat atau orang seumuran.
Bagi yang kurang familiar, krama inggil adalah salah satu level kesopanan dalam Bahasa Jawa dengan tingkat tertinggi. Biasa digunakan ketika sedang berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang terhormat. Hal ini membuat krama inggil menjadi level kesopanan terhalus yang bahkan cukup sulit untuk dipelajari, terutama bagi pendatang baru yang berasal dari luar Jawa ataupun anak muda.
Krama inggil tidak selalu terdengar di masyarakat jika dibandingkan dengan level bahasa lainnya seperti ngoko lugu misalnya. Di saat ngoko lugu menawarkan pilihan kata yang lebih mudah untuk diingat dan diucapkan, krama inggil terkadang memiliki kosakata yang jarang lagi ditemui dalam percakapan sehari-hari.
Oke, mari kita kembali ke pembahasan awal. Saat saya mencermati percakapan saya dengan orang Malang atau Surabaya yang menggunakan krama inggil, saya menyadari bahwa kosakata yang digunakan selalu sama.
Sebagai perbandingan, kami biasa mengenal perbedaan makna dalam beberapa kata di level ngoko lugu. Di Ponorogo, teko [tɜkɒ] memiliki makna “sampai”, sedangan kata yang sama memiliki makna “dari” di Malang. Sehingga kalimat seperti aku teko kampus memiliki dua makna yang berbeda tergantung dari mana asal orang yang mengucapkannya. Hal ini, tidak saya temui di level kesopanan krama inggil di mana panjenengan [panjɜnɜŋan] selalu berarti “Anda”.
Orang dari Malang bisa saja kebingungan ketika berbincang dengan orang dari Jogja karena perbedaan kosa kata. Namun saya bisa menjamin bahwa mereka akan saling memahami apabila mereka menggunakan bahasa krama. Mungkin bahasa krama adalah lingua franca-nya orang Jawa?
Saya sendiri sempat berpikir mungkin saja hal ini dipengaruhi lingkungan dan pengaruh bahasa lain sehingga ngoko lugu memiliki banyak perbedaan. Namun, anehnya, hal ini tidak terjadi pada krama inggil yang juga tersebar di banyak daerah; membuat saya harus mengulik lagi bahasan ini.
Hingga belum lama ini, saya sempat membaca sebuah jurnal yang meneliti bagaimana kata kerja dalam Bahasa Inggris mengalami perubahan seiring berjalannya waktu (tentang verb inflection). Jurnal ini menjelaskan sebuah aturan baru bisa menyingkirkan atau “membunuh” aturan lama (Lieberman, Michel, Jackson, Tang, & Nowak, 2007).
Dalam hal ini, sebuah keadaan bagaimana irregular verb bertransformasi menjadi regular verb seperti yang kita kenal sekarang. Studi ini menjabarkan bahwa intensitas penggunaan kata sangat memengaruhi peristiwa tersebut. Bahwa semakin jarang sebuah kata digunakan, maka potensi ia berubah menjadi regular verb semakin besar. Kata seperti slew semakin jarang digunakan hingga kini bertransformasi menjadi slayed, sebuah bentuk yang lebih sederhana.
Menariknya, saya menghubungkan hal ini dengan pembahasan tentang kesamaan kosakata krama inggil di banyak daerah. Membuat saya mulai berpikir dengan cocoklogi saya, membangun asumsi tanpa dasar bahwa mungkin saja krama inggil akan bernasib sama dengan apa yang terjadi pada beberapa irregular verb.
Kenyataan bahwa kini penutur krama inggil semakin menurun, membuat saya berpikir bahwa mungkin inilah penyebab krama inggil tidak pernah berevolusi. Berbeda jauh dengan ngoko lugu yang semakin populer di kalangan penutur Bahasa Jawa baik anak muda maupun orang yang baru saja belajar.
Ketakutan ini mungkin menimbulkan beberapa pertanyaan: bagaimana kalau pembahasan ini adalah sebuah jawaban yang benar? Bagaimana kalau krama inggil suatu hari akan lenyap karena habisnya penutur aktif? Bagaimana kalau saya sendiri adalah pelaku matinya sebuah bahasa karena saya tidak pernah belajar?
Bahasa Jawa sendiri sudah mulai terkikis dengan hilangnya peredaran aksara Jawa. Tentu dengan pudarnya sebuah level kesopanan akan menimbulkan asumsi menarik; apakah masyarakat Jawa perlahan melupakan tradisi sopan santun pada sesama penuturnya?
BACA JUGA Level Sombong Ultimate: Nggak Mau Turun Mobil Pas Beli Roti Bakar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.