Mengapa Kebanyakan Mahasiswa Nggak Bisa Menulis Ilmiah?

Mengapa Kebanyakan Mahasiswa Nggak Bisa Menulis Ilmiah?

Mengapa Kebanyakan Mahasiswa Nggak Bisa Menulis Ilmiah? (Pixabay.com)

Menulis ilmiah adalah jantung keberlanjutan studi mahasiswa. Tanpa hal tersebut, mahasiswa bisa “mati” stres ditikam revisi. Tapi, pada faktanya banyak mahasiswa yang tak memiliki jantungnya. Jangan kaget (atau malah sudah tahu?), banyak mahasiswa yang tak punya kemampuan menulis ilmiah.

Penelitian statistik deskriptif dari Nirwana dan Ruspa tahun 2020 menunjukkan bahwa 70 persen mahasiswa informatika di salah satu kampus negeri nggak mampu menulis ilmiah sesuai standar. Oke, datanya memang hanya tentang mahasiswa Informatika. Tapi, saya juga menemukan keluhan yang sama di jurusan lain. Artinya, masalah ini adalah masalah bersama.

Saat masih kuliah, saya menemui banyak kasus perihal menulis ilmiah menjadi persoalan pelik di kalangan mahasiswa. Buntu ide, revisi tulisan tak berkesudahan, dicaci dosen karena tulisan nggak memenuhi kaidah ilmiah, jadi hal-hal yang dihadapi banyak mahasiswa. Selain itu, saat saya menempuh mata kuliah teknik penulisan ilmiah, hanya segelintir mahasiswa saja yang bisa lulus dengan nilai A-, sisanya B dan bahkan banyak yg C (nilai mati).

Pertanyaannya, mengapa demikian? Bagaimana bisa? Bukankah harusnya, mahasiswa bisa menulis, setidaknya setelah menempuh beberapa semester?

Malas baca

Saya tidak akan bilang semua mahasiswa yang tidak bisa menulis itu malas baca. Saya tidak akan gegabah membuat asumsi seperti itu. Tapi, tidak bisa dimungkiri, ya tetap ada yang tak bisa karena jarang membaca karya ilmiah. Jika yang dibaca hanya sedikit, bagaimana bisa memahami bagaimana kaidah penulisan ilmiah yang benar?

Tidak pernah diajari menulis

Saat masuk SMA, siswa jarang dikenalkan dengan karya ilmiah, apalagi dengan kemampuan menulis ilmiah. Siswa hanya dikenalkan dengan bacaan paket untuk menjawab soal ujian pilihan ganda. Nyaris nggak pernah dikenalkan dengan cara menulis yang intinya menghasilkan teks original dari pikirannya sendiri. Alhasil, saat menjadi mahasiswa kikuk tak berdaya menghadapi kenyataan tugas-tugas menulis ilmiah yang bejibun.

Baca halaman selanjutnya

Menulis memang tak mudah…

Menulis memang tak mudah

Oke, menulis memang tak mudah. Kalau mudah, semua orang bisa nembus Mojok. Menulis biasa saja tak mudah, apalagi menulis ilmiah.

Menulis ilmiah memang cenderung rumit dan kompleks. Sebab, ada berbagai pakem yang harus dikuasai, seperti jenis kutipan, teknik mengutip, sistematika penulisan, kaidah penulisan, dan tata bahasa yang cukup berbeda dengan menulis karya tulis biasa pada umumnya. Selain itu, juga harus objektif. Nggak boleh mengada-ngada. Harus bersandar pada rujukan yang terpercaya dengan penyusunan argumen dalam tulisan yang sistematis dan tertata.

Sebenarnya ya, sama sih kek menulis biasa. Tapi menulis ilmiah memang lebih rigid. Hayo, pada baru tahu ya? Kalau pada belum tahu, nih ada panduan penulisan karya ilmiah salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Biar paham-paham dikit lah.

Dosen pun nggak ngajarin

Selain nggak mudah, mahasiswa juga sulit sekali rasanya mendapat pelatihan menulis ilmiah dari dosennya. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa hanya satu-dua dosen saja yang benar-benar secara telaten ngajarin mahasiswanya. Itu pun ngajarnya disertai dengan ngedumel yang nggak selesai-selesai, karena menganggap seharusnya level mahasiswa sudah selayaknya bisa menulis. Sedangkan, mahasiswanya banyak yang masih mulai menulis dari nol, karena waktu SMA nggak diajarkan.

Jadi akhirnya, masalah pelik kemampuan menulis mahasiswa ini menjadi bentuk nyata dari kesalahpahaman antara jenjang pendidikan sekolah menengah dengan jenjang pendidikan tinggi. Sekolah menengah nggak ngajarin, tapi perguruan tinggi minta calon mahasiswanya yang baru lulus dari SMA sudah bisa menulis ilmiah. Ini kan sulit. Mau bisa dari mana kalo nggak pernah diajarin, kan?

Ditambah, dosennya nggak ngajarin, nuntut doang. Ya gimana ya.

Nulis dianggap nggak penting

Masalah lain mucul ketik dosennya sudah bersedia meluangkan kesabaran untuk ngajarin mahasiswanya, justru banyak mahasiswa yang nggak mau belajar. Saat dulu saya kuliah, salah satu dosen mengadakan pelatihan menulis ilmiah di mata kuliahnya. Tapi, tak banyak yang ikut. Yang ikut pun terkesan formalitas. Nggak benar-benar serius untuk belajar. Alhasil, tulisannya tetap amburadul dan terpaksa mengulang mata kuliah yang ada.

Hal ini bisa terjadi karena kebanyakan mahasiswa menganggap menulis ilmiah itu nggak penting-penting amat. Banyak yang menyepelekan, berpikir nanti pas skripsi juga bakal bisa sendiri. Pada kenyataannya, banyak mahasiswa yang stress bukan kepalang karena terkendala dalam penulisan skripsinya.

Banyak yang terhambat studinya, karena kendala penulisan. Tak sedikit yang D.O karena nggak bisa nyelesain skripsinya. Beberapa butuh terapi karena sering revisi. Dan masih banyak kendala lain yang merugikan, karena nggak bisa menulis ilmiah. Jadi, masih nganggep nggak penting? Bertobatlah, tretan.

Pada akhirnya, menulis (pada umumnya) merupakan kemampuan yang harus diasah berdasarkan proses. Kemampuan ini nggak bisa tiba-tiba datang saat kita mulai memasuki masa-masa menulis skripsi saja. Sejak semester 1, mahasiswa harus mulai rutin belajar menulis dari tugas-tugas yang ada agar saat skripsi kemampuan menulisnya sudah yahud dan lekas lulus. Dengan begitu, tugas menulis nggak akan lagi jadi soal yang berarti.

Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 7 Kesalahan Mahasiswa Saat Menulis Artikel di Jurnal Ilmiah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version