Menemukan The Spirit of Java, Semangat Solo untuk Indonesia

Menemukan The Spirit of Java, Semangat Solo untuk Indonesia (Unsplash)

Menemukan The Spirit of Java, Semangat Solo untuk Indonesia (Unsplash)

Bukan, ini bukan kampanye, kok. Solo sebagai The Spirit of Java bukanlah sebagai slogan biasa. Nyatanya, energi positif kota ini memang sangat terasa.

Pada 2013, selepas SMA, saya kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alasannya klasik, saya tidak keterima di UNS. Namun, saya harus kuliah di luar kota yang dekat dengan rumah nenek saya di Sukoharjo.

Menjadi warga Solo “pinggiran” membuat saya cukup mengenal kota ini secara mendalam. Terutama tentang destinasi wisatanya, cita rasa makanan, dan budaya warganya. Hingga di kemudian hari saya membaca slogan “Solo, The Spirit of Java” di sebuah pusat grosir. Awalnya, saya cukup bingung akan slogan tersebut. Kenapa bisa kata “spirit” itu dipakai? Apa filosofinya?

Jika melihat Bandung dengan “Paris van Java”, saya mengerti karena Bandung erat dengan fashion dan kulinernya. “Jogja Istimewa” pastilah juga mudah dimengerti. Apa yang tidak istimewa dari Jogja? Namun untuk Solo, sepertinya biar ada slogan saja, pikir saya waktu itu.

Menemukan The Spirit of Java-nya Solo

Jika disuruh membanggakan ikon Kota Solo, Stadion Manahan adalah salah satunya. Maka, selama kuliah dan tinggal di kota ini, saya sering menyempatkan untuk berolahraga di sini. Seperti penduduknya, stadion ini terasa ramah saja bagi mereka yang berkunjung.

Setelah kurang lebih lima tahun akrab dengan kota ini, dan sempat saya tinggal melanglang buana ke kota-kota lain, akhirnya saya menemukan “The Spirit of Java” itu. Semangat yang tidak sengaja saya temukan ketika jogging beberapa hari kemarin.

Ketika sedang memutari velodrome di dalam Stadion Manahan, saya tak sengaja  mendengar percakapan antara pengunjung perempuan dan security yang sedang berjaga. Kurang lebih seperti ini:

“Maaf, Pak. Musalanya di sebelah mana, ya?” Tanya pengunjung perempuan.

“Oh, di sini bisa, Mbak”, jawab security tersebut sambil menunjuk tempat seperti ruangan yang dipakai untuk sekretariat persatuan olahraga. “Di situ juga ada sajadah dan mukenanya”, sambung beliau.

Mengetahui bahwa pengelola juga menyediakan musala bagi pengunjung yang hendak melaksanakan shalat, hati saya terasa menemukan semangat itu. Energi positif yang membuat Solo bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya fasilitas publik itu dikelola.

Entah, hal ini sudah diperhatikan jauh-jauh. Atau mungkin baru disiapkan semenjak jam buka Stadion Manahan yang diperpanjang sampai malam karena terobosan yang dilakukan Mas Wali, Gibran Rakabuming Raka.

Jadi begini, 15 Juni 2023 kemarin, Dispora Kota Surakarta resmi memperpanjang jam operasional Stadion Manahan dari pukul 05.30 s/d 21.00 WIB. Sebelumnya, Stadion Manahan hanya buka sampai pukul 18.00 WIB saja. Atas permintaan warga dan animo masyarakat, Mas Gibran menyetujui aspirasi tersebut.

Dengan jam operasional baru itu, besar kemungkinan pengunjung akan mencari musala ketika waktu Magrib tiba. Jadi, menyiapkan tempat ibadah di penjuru tempat dan kelengkapannya merupakan langkah yang sangat bijak.

Solo menghilangkan garis diskriminasi

Sebetulnya, energi positif lainnya dari Solo sempat saya temukan di parkiran dekat pintu A Stadion Manahan. Namun, karena mencari sudut parkir yang pas, hal tadi hanya sebatas lalu-lalang di kepala. Namun, setelah menyadarinya dan menggabungkan dengan detail kecil di atas, saya cukup berdecak kagum.

Adalah adanya fasilitas parkir untuk pengunjung disabilitas, terutama bagi mereka yang tuna daksa. Hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Ketika saya mencari space parkir yang pas, saya melihat adanya ruang untuk meletakan kursi roda untuk para tunadaksa yang ditandai dengan tanda warna biru dan gambar kursi roda. 

Mungkin ada antara 4-5 space di sana. Tentu saja, sebagai salah satu venue yang direncanakan menjadi salah satu stadion yang dipakai untuk Piala Dunia U-20, hal ini wajib diperhitungkan.

Di tengah lunturnya rasa empati, hal-hal seperti ini tentu akan sangat jarang kita temui. Apalagi di daerah-daerah yang pengelolaannya kurang tanggap akan pentingnya kesetaraan hak akan fasilitas publik. Jangankan hak bagi mereka yang disabilitas, hak bagi pejalan kaki saja tidak diperhatikan.

Padahal, dari fasilitas-fasilitas itu sering melahirkan dampak positif bagi kota itu sendiri. Para tuna daksa yang dihargai tentu tidak akan merasa minder akan keberadaan dan cita-citanya. Di antara mereka, ada yang kelak bisa mengharumkan nama bangsa lewat prestasi. Misalnya dengan mengikuti ajang Paralympic dan juara. Atau minimal, fasilitas yang layak membantu mereka agar tidak sungkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya.

Puncak dari “The Spirit of Java”

Sekilas, mari sejenak kembali ke laga final sepak bola Sea Games 2023, beberapa minggu lalu.

Babak perpanjangan waktu baru dimulai, Irfan Jauhari berhasil mendapatkan bola hasil kesalahan tim lawan. Dengan sedikit dribble lalu dengan cerdik dia lakukan chip bola melewati kiper lawan dan gol. Bola berhasil menggetarkan jala lawan. Skor menjadi 3-2 untuk keunggulan Indonesia atas Thailand di laga final Sea Games 2023 cabang sepak bola.

Bersamaan dengan itu, di depan kantor walikota Surakarta, masyarakat Kota Solo bersorak gembira merayakan keunggulan. Setelah penantian 32 tahun, timnas sepak bola Indonesia berhasil membawa pulang medali emas Sea Games 2023 walau harus melalui drama hebat.

Ya, pada malam itu, Pemkot Solo menghelat acara nobar final. Bukan di dalam kantor wali kota, alun-alun, atau di sebuah kafe. Nobar tersebut diadakan di jalan raya pusat kota depan balai kota. Tepatnya di tugu bundaran Jalan Jendral Sudirman. 

Semua yang datang mendapatkan tempat yang pantas, termasuk para penyandang disabilitas. Mereka tidak dilupakan, mendapatkan tempat yang sangat nyaman untuk ikut memeriahkan acara tersebut.

Memang, saya tidak hadir langsung. Namun, jika melihat informasi yang tersebar di media sosial, euforia yang dihadirkan tentu luar biasa. Seingat saya, baru kali ini Kota Solo menggelar hajat nobar sebesar ini.

Dari Solo untuk Indonesia

Dengan dukungan sarana dan prasarana yang semakin hari semakin bagus, bukan tidak mungkin, Solo akan menjadi rujukan menarik bagi mereka yang mau mencari kota yang sangat layak untuk ditempati. Menjadi percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia. Terlebih, berdasarkan pengukuran SETARA Institute, Solo masuk 10 besar Indeks Kota Toleran 2022, menduduki peringkat empat dengan skor 5,883.

Sebagai informasi, tidak ada perbedaan secara berarti antara Solo dan Surakarta. Solo adalah nama yang sudah umum melekat di masyarakat. Sedangkan Surakarta adalah nama yang dipakai untuk nama administratif resmi kotanya.

Rasanya tidak berlebihan jika menyimpulkan bahwa Solo menjadi salah satu kota yang lengkap dan akomodatif. Hal itu berdasarkan dari beberapa faktor seperti biaya hidup yang masih terjangkau, sarana pendidikan dan kesehatan memadai, dan transportasi yang lengkap seperti bandara, dan KRL yang terhubung ke Jogja. Paripurna.

Penulis: Deddy Perdana Bakti

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Rekomendasi 5 Tempat di Sekitar Stasiun Solo Balapan yang Bisa Dikunjungi Ketika Mencoba Naik KRL Jogja-Solo

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version