Alun-Alun Situbondo, layaknya alun-alun di banyak kota kecil lainnya, menjadi salah satu pusat aktivitas masyarakat. Di sana, orang bisa jalan-jalan sore, pedagang asongan berkeliaran, dan anak-anak bermain di tengah suasana santai.
Akan tetapi ada satu pemandangan yang jelas memicu pertanyaan, yakni dua gapura besar yang berdiri megah. Sekarang pertanyaannya adalah: buat apa dua gapura besar itu ada di Alun-Alun Situbondo?
Dari segi visual, kedua gapura ini memang terlihat megah dan indah. Desainnya yang tradisional memberi kesan seolah-olah kita sedang memasuki tempat yang spesial kalau melewatinya. Tapi realitasnya? Tidak demikian.
Alun-Alun Situbondo terbuka dari segala arah, tanpa batasan fisik yang mengharuskan siapa pun melewati gapura itu. Mau masuk dari sisi kanan, kiri, atau bahkan dari tempat parkir, semuanya bisa! Oleh karena itu gapura-gapura tersebut menjadi hiasan belaka yang lebih mirip pajangan daripada pintu gerbang yang fungsional.
Daftar Isi
Gapura di Alun-Alun Situbondo, apa fungsinya?
Gapura biasanya dibangun dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk jadi pintu masuk, gerbang kehormatan, atau simbol kebanggaan daerah. Bahkan menurut KBBI saja gapura berarti pintu besar untuk masuk pekarangan rumah (taman, dan sebagainya); pintu gerbang. Tapi masalahnya, gapura di Alun-Alun Situbondo belum bisa menjawab tujuan dari mengapa ia dibangun.
Pasalnya, pengunjung bebas masuk dari mana saja karena alun-alun ini tidak dikelilingi pagar yang memaksa orang untuk melewati gapura tersebut. Ini seperti membangun gerbang di hamparan luas padang rumput. Nirguna.
Memang kadang kita terlalu fokus pada penampilan dan simbol-simbol yang megah, tapi lupa mempertimbangkan fungsinya. Begitu juga dengan gapura di Alun-Alun Situbondo. Tampak penting, tapi kenyataannya tidak.
Baca halaman selanjutnya: Redundansi yang menggelikan…
Redundansi yang menggelikan
Kalau satu gapura saja sudah cukup membuat kita bertanya-tanya soal fungsinya, bagaimana jika ada dua? Kehadiran gapura kedua di Alun-Alun Situbondo malah semakin terlihat absurd. Dua gapura, berdiri di area yang sama, tapi tidak ada pengaruh nyata selain bagus saja dilihat dan tidak penting-penting amat.
Di teori teknik, redundansi itu bagus, kalau duplikasi yang dilakukan dengan sengaja dari komponen atau fungsi suatu sistem bisa meningkatkan keandalannya. Katakanlah agar fungsinya makin optimal. Tapi coba lihat dua gapura yang ada di Alun-Alun Situbondo. Adakah fungsi yang memang lebih diperkuat? Kalaupun ada, mungkin cuma fungsi untuk menjelaskan kesia-siaan dalam membangun sesuatu.
Seolah-olah satu gapura saja kurang cukup untu menunjukkan betapa tidak gunanya bangunan itu. Malah ditegasin pakai dua.
Belajar menerima absurditas dari hadirnya gapura di Alun-Alun Situbondo
Banyak kota dan negara yang membangun simbol-simbol besar untuk memperkuat identitas atau membanggakan kekayaan sejarah. Namun, alih-alih menjadi simbol kebanggaan, gapura-gapura di Alun-Alun Situbondo ini malah menjadi simbol kebingungan: mereka ada, tapi tidak benar-benar dibutuhkan.
Meskipun didesain untuk menjadi pintu masuk yang megah, realitasnya, mereka hanyalah ornamen yang mengambang di tengah ruang publik yang tak membutuhkannya. Dan jika gapura ini memang harus tetap ada, mungkin bisa difungsikan dengan lebih baik—sebagai gerbang dengan informasi sejarah, misalnya, atau dihubungkan dengan jalur pejalan kaki yang mengarahkan orang untuk benar-benar lewat di bawahnya. Dengan begitu, mereka tidak hanya jadi simbol kosong, tapi punya peran yang berarti dalam tata ruang kota.
Dua gapura besar di Alun-Alun Situbondo ini adalah simbol dari absurditas tata kota yang terjebak dalam simbolisme tanpa fungsi. Lantas, apa makna dari adanya gapura Situbondo?
Mereka ada, tapi tanpa makna. Pada akhirnya, keberadaan mereka mengundang kita untuk tertawa kecil—bukan karena mereka lucu, tapi karena mereka hadir tanpa alasan yang jelas.
Dan mungkin, seperti halnya absurditas hidup, kita harus menerima bahwa tidak semua yang ada di dunia ini perlu punya tujuan, punya fungsi, atau makna. Kadang, sesuatu hanya perlu ada, dinikmati, dan diterima kesia-siaannya.
Penulis: Firdaus Al Faqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA GOR Bung Karna, Proyek Narsis Bupati Situbondo yang Bakal Menelan Duit Rakyat hingga Puluhan Miliar.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.