Ada satu hal menarik dari dunia kuliner tradisional di Jawa terutama di Yogyakarta. Banyak makanan yang punya nama aneh bahkan bikin orang luar daerah heran. Salah satu contohnya adalah kue adrem yang di Bantul sering disebut dengan nama nyeleneh: kue kontol kejepit.
Begitu dengar namanya, banyak yang refleks tertawa, ngelus dada, kaget, tapi setelah dicoba, rasa dan maknanya justru dalam sekali. Saya pun akhirnya penasaran dan sengaja mencari kue ini saat main ke Bantul beberapa waktu lalu.
Dari lidah yang penasaran dengan kue kontol kejepit
Pagi itu saya jalan-jalan ke Pasar Niten, salah satu pasar tradisional yang masih ramai oleh pedagang lokal. Bau khas gorengan, tanah basah, dan suara ibu-ibu menawar harga bikin suasananya hidup. Di antara deretan jajanan pasar, ada satu meja kayu kecil dengan tampah berisi kue bulat kecokelatan yang aromanya seperti campuran gula merah dan kelapa parut yang digoreng. Saya tanya ke penjualnya, “Ini kue apa, Bu?” Ia menjawab santai, “Itu adrem, Mas. Tapi orang sini biasa bilang kontol kejepit.”
Wait, what?
Saya agak kikuk mendengar nama keduanya disebut tanpa ragu. Tapi si ibu tertawa kecil, katanya nama itu bukan bermaksud jorok. Itu cuma sebutan lama karena bentuk kuenya memang agak aneh, lonjong kecil dengan bagian tengah yang seolah terjepit. Lucunya, nama itu justru bikin banyak orang penasaran dan akhirnya membeli. Mungkin strategi branding tradisional zaman dulu memang segitu jeniusnya.
Saya pun membeli beberapa biji kue kontol kejepit, masih hangat dan berminyak. Saat dipegang, teksturnya padat tapi empuk. Gula merahnya meresap ke dalam adonan, bikin permukaannya sedikit lengket. Begitu digigit, rasa manisnya langsung meledak tapi tidak bikin enek. Ada sensasi gurih dari parutan kelapa yang menyatu dengan tepung beras. Rasanya sederhana tapi punya karakter kuat, semacam rasa manis yang melumat lidah.
Filosofi di balik bentuk dan nama kue kontol kejepit yang tak biasa
Setelah makan kue kontol kejepit beberapa biji, saya makin penasaran dengan cerita di balik kue ini. Konon, kue adrem sudah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat pesisir selatan Bantul. Dulu, bahan-bahannya diambil dari hasil bumi sendiri seperti gula kelapa dari nira yang dimasak manual dan tepung beras hasil tumbukan sendiri. Tidak ada bahan tambahan pabrikan. Semua alami dan diolah dengan tangan penuh kesabaran.
Soal nama adrem sendiri, katanya berasal dari kebiasaan masyarakat dulu yang menyebut bunyi “derem” saat adonan digoreng dalam minyak panas. Lama-lama sebutannya berubah jadi “adrem”. Tapi entah sejak kapan muncul julukan “kontol kejepit”, yang jelas itu bukan sebutan resmi tapi sudah melekat kuat di masyarakat.
Yang menarik, kue ini ternyata punya filosofi mendalam. Bentuknya yang lonjong dan terjepit di tengah katanya menggambarkan kesederhanaan hidup, bahwa sesuatu yang tampak tidak sempurna pun bisa membawa kebahagiaan. Orang Bantul percaya makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga cerita dan makna di baliknya. Maka dari itu, kue ini sering disajikan di acara hajatan atau selamatan.
Antara nostalgia, rasa, dan identitas kuliner
Bagi saya yang tumbuh di era serba instan, mencoba kue adrem alias kue kontol kejepit seperti menemukan pintu waktu ke masa lalu. Kue ini tidak butuh topping fancy, tidak ada hiasan mewah, bahkan dibungkusnya pun cuma pakai plastik bening seadanya. Tapi dari kesederhanaan itu muncul rasa yang nikmat, tanpa polesan. Ini bukan cuma soal makanan tapi juga identitas.
Saya ngobrol sebentar dengan salah satu pembeli yang kebetulan orang Bantul asli. Ia bilang, sejak kecil sudah akrab dengan kue ini. Katanya kalau pagi-pagi, aroma adrem yang digoreng bisa tercium sampai ke ujung gang. Dulu anak-anak sering rebutan beli satu dua biji seharga seratus rupiah. Sekarang mungkin harganya naik, tapi rasa dan suasananya tetap sama.
Kue adrem juga jadi simbol keteguhan budaya. Di tengah gempuran roti modern dan kue-kue kekinian yang viral di media sosial, kue ini tetap bertahan. Ia tidak butuh promosi besar-besaran. Cukup dijajakan di pasar atau di pinggir jalan, orang-orang masih mencarinya. Mungkin karena yang ditawarkan bukan sekadar rasa, tapi kenangan masa kecil yang hangat.
Saya juga merasa kue seperti ini punya peran penting menjaga keberagaman kuliner Nusantara. Tiap gigitan seolah mengingatkan bahwa Indonesia bukan cuma soal kopi kekinian atau dessert modern, tapi juga tentang jajanan pasar yang sudah menemani generasi demi generasi. Ada nilai gotong royong di baliknya, karena biasanya kue ini dibuat bareng-bareng oleh ibu-ibu kampung menjelang acara besar.
Menutup hari dengan sepotong kue adrem
Setelah mencicipi beberapa biji kue adrem alias kontol kejepit, saya merasa puas. Rasa manisnya pas, teksturnya renyah di luar dan lembut di dalam.
Ketika saya pulang membawa bungkus plastik berisi beberapa biji adrem, aroma gula merahnya masih menempel di tangan. Mungkin itu cara sederhana kue ini meninggalkan jejak, bukan hanya di lidah, tapi juga di ingatan. Dan kalau ada orang yang menertawakan namanya, biarlah. Karena bagi orang yang suka, adrem tetap kue kebanggaan, simbol rasa yang jujur dari tanah yang hangat.
Sumber gambar: Danangtrihartanto via Wikimedia Commons
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sidang Skripsi Nggak Perlu Dirayakan Berlebihan, Revisinya Belum Tentu Lancar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
