Mencintai Honda Beat, Sebuah Kisah Kasih Menjadi Seorang Beatkers

motor honda astrea 800 Pol espargaro Honda scoopy Honda CT125 Honda CRF honda beat street motor matik MOJOK.CO honda c70

Logo Honda (Pixabay.com)

Menjadi legenda bersama Honda Beat….

Buat saya, menjadi anak klub motor adalah sebuah obsesi tersendiri sejak kelas 2 SMK—2008 lalu. Obsesi ini muncul pas tahu kalau kepala sekolah saya kala itu, Pak Dadang, adalah seorang bikers.

Boleh saya sebut nama club motor belio? Baik. YMCI—Yamaha MX Club Indonesia chapter Bekasi. Nggak cuma Pak Dadang, ada juga seorang guru mapel TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), Pak Tito, yang juga tergabung di YMCI chapter Bekasi.

Wah, Pak Guru anak klub! Kagum saya tuh. Yamaha Jupiter MX-nya rata-rata udah didandani ala racing look. Ban profil gede, rem cakram lebar, batok Mio, handle rem dan kopling adjustable, lampu senja LED. Modif harian tapi terlihat rapih dan ganteng banget hasilnya. Begitu kesan yang saya dapat ketika melihat style modif motor beliau. Ditambah lagi ada emblem atau stiker klub motor beliau. Kereeen~

Semakin berjalannya waktu, obsesi itu semakin menjadi-jadi pas saya menemukan motivasi dalam diri, yakni safety riding campaign. Menjadi role model bikers yang safe saat berkendara di jalan dan dimulai dari diri sendiri adalah jalan pedang yang akan saya tempuh. Tentu kurang greget kalau cuma sendirian, maka dari itu kudu ada teman. Apalagi teman-teman klub motor yang image-nya melekat erat dengan istilah safety riding.

Masa-masa lulus SMK, sehabis dapat pekerjaan, yang ada di angan-angan saya tuh mencari klub motor sesuai dengan kuda besi yang saya punya. Bukan nyari pacar. Dulu saya naik Honda Astrea Grand, saya coba cari-cari klub motor khusus Astrea Grand atau Honda Legenda via Facebook. Ketemu! Kopdarnya di sekitaran Galaxy Bekasi.

Tapi kok ya, saya masih enggan merapat ke sana. Padalah SIM ada, STNK nggak tergadaikan. Rasanya saya memang belum terpanggil buat gabung di klub itu. Sampai saya punya kuda besi baru lagi: Honda Beat rakitan tahun 2011, masih belum tergabung di klub.

Pada masa ini, saya terserang rasa kesepian. Pacar nggak punya, teman sekolah entah pada ke mana. Teman main nggak ada, apalagi teman nongkrong bareng. Pergi touring oke juga sih, buat melepas kesepian batin ini tapi kalau sendirian mah yang ada malah bete.

Berdasarkan perasaan itu semua saya bulatkan tekad dan berbekal uang 2000 perak buat pergi ke warnet. Enggak, bukan! Bukan buat chating atau YM-an. Tapi buat coba nyari klub Honda Beat yang ada di Bekasi via internet. Setelah Googling, ketemu Honda Beat Club Indonesia dengan laman web: www.honda.beat.club.com. Eh, sekarang laman web itu udah nggak ada, deh. Tapi secara fisik, klubnya tetap ada, dong.

Di laman web itu terpampang jelas nama Honda Beat Club Bekasi dengan nara hubungnya Yoko, ID club: 002 dan Dome, ID club: 003. Orang yang pertama kali saya kontak via SMS yakni Yoko.

Tapi entah kenapa, orang yang ngontak balik saya malah Dome via telpon HP. Terus tanpa pikir panjang saya sowan ke kopdaran Honda Beat Club Bekasi di Kali Malang. Tepatnya di Jl. KH. Noer Alie, Dealer Honda Daya Motor, ruko BSK, Bekasi. Dengan hangat mereka berdua merangkul saya. Seketika hati saya terasa klop. Sampai sekarang kopdarannya masih di situ. Masih betah. Kali aja kamu minat buat join. Gasss~

Sebagai anak yang masih bau kencur—masa itu, saya sangat membanggakan kuda besi hasil keringat sendiri ini: Honda Beat tahun 2011. Saya juga bangga bisa diterima dan berada di keluarga kecil Honda Beat Club Bekasi. Sebuah komunitas otomotif dengan segala visi misinya yang tentu saja baik.

Ingin sekali rasanya membuat image penunggang Honda Beat dengan sebutan BeatKers adalah pengendara yang santun, safe, dan juga beretika. Zaman itu nggak ada tuh yang namanya stigma penunggang Beat adalah sobat misquen. Tapi kok ya, manusia sekarang emang suka cem-macem sih. Hedeh, hedeeeh~

Sama halnya dengan Jupiter MX milik guru saya itu, Honda Beat milik teman di klub juga rata-rata memang sudah modif. Handel rem adjustable, lampu led, ban profil lebih besar dari standaran, cat klimis, dan lainnya. Modifnya juga sesuai kebutuhan. Misalnya kebutuhannya buat touring nih, banyak yang mengaplikasi Box bagasi merek Givi dengan berbagai macam tipenya.

Harganya juga variatif. Mulai ratusan ribu sampai tembus jutaan. Bahkan, ada salah satu teman pengguna Honda Beat lainnya yang pakai box Givi Maxia e55. Kala itu, type box tersebut dibanderol dengan harga Rp3 jutaan. Itu baru box belum termasuk bracket dan side box-nya.

Balik ke motor Honda Beat. Meskipun motor saya nggak mewah kayak Harley, BMW, Ducati, dan sebangsanya, tetap saja saya cukup bangga buat menungganginya. Honda Beat milik saya ini masih menggunakan karburator, enaknya jadi bisa disetting sesuai keinginan.

Mau irit aja atau mau irit banget. Perkara irit ini udah kayak semacam privilege yang saya dapat sebagai pengguna motor matik ini. Jadi, saya nggak pernah ragu touring jauh ke luar kota. Misalnya buat jalan dari Bekasi ke Bandung—PP, saya berani ngantongin duit cuma Rp50 ribu buat bensinnya aja. Kalau buat perut lain lagi, dong~

Honda Beat Karbu tahun 2011 ini, semakin saya sayang banget ketika saya ajak touring ke Bandar Lampung. Saat itu saya dan Beatkers lainnya hendak menghadiri acara anniversary Honda Beat Club Lampung. Ini perjalanan touring pertama saya. Awalnya saya khawatir kalau sewaktu-waktu kecapean di jalan. Nyatanya kekhawatiran saya itu nggak terjadi. Semua aman dan nyaman saja.

Saya benar-benar baru merasakan kalau secara ergonomi, motor ini memang nyaman banget buat jalan jarak jauh. Posisi stang saat dipegang nggak bikin posisi pengendara jadi bungkuk. Nggak cepat capek atau pegal pakai Honda Beat buat jarak jauh. Apalagi body-nya ramping, wah, nikmat sekali handling-nya. Ringan. Saya nggak salah deh, pilih Honda Beat buat perjalanan jarak jauh. Apalagi sekarang udah ada yang namanya Honda Beat Street dengan model stang trondol ala-ala fat bar. Semakin nyaman aja tentunya.

Soal akselerasi, buat ukuran motor standar, saya rasa cukup enak. Honda Beat tuh enteng tarikan awalnya. Dari tengah ke top speed juga bisa ngisi terus tenaganya. Toh saya nggak perlu motor yang power full, kok. Buat kebutuhan berangkat kerja dan touring, Honda Beat dengan jeroan mesin 110 cc udah cukup banget. Buat perjalanan stop and go di tengah kemacetan kota, tarikannya juga tetap nyaman. Tetap smooth~

Enaknya motor ini tuh gampang perawatannya. Mau bersihin karburator sendiri, tinggal buka 4 baut di jok aja. Nggak ribet. Mau ganti filter udara, ya tinggal buka aja tutup filternya bermodalkan obeng kembang. Nggak perlu merhatiin air radiator juga sebab masih pakai pendingin alami. Palingan yang perlu diperhatikan cukup oli mesin sama oli gardan aja. Jangan sampe lupa kapan terakhir kali ganti. Oh, udah soal umum kalo itu mah ya. Hehehee~

Kalau soal CVT, Honda Beat Karbu ini nggak pernah rewel. Selama 5 tahun pakai, saya nggak pernah ganti spare part yang berarti. Loh, kok 5 tahun? Iya, soalnya di 2016, Honda Beat yang menemani saya semasa membujang ini saya lungsurin ke adik saya. Sampai sekarang motornya masih ada, kok. Cuma ganti Beatkers-nya aja. Motornya sih tetap.

Selama itu saya pakai, pergantian spare part yaaa nggak jauh-jauh dari ganti bohlam lampu, aki, kampas rem, busi, roller, v-belt, dan kampas ganda. Selebihnya juga ada penggantian kayak rumah roller, mangkok ganda, bearing bambu, bearing tutup CVT, dan brush starter. Wajar, usia pemakaian harus ada pergantian secara berkala.

Kini Honda Beat Club Bekasi udah berusia 12 tahun. Sementara Honda Beat saya berusia 9 tahun. Jujur saja, kini saya sudah nggak aktif lagi di club itu. Tapi ingatan, kenangan, dan hati saya tetap membekas pada yang namanya Honda Beat.

Semua ada masanya. Apakah suatu hari Honda Beat yang menemani masa muda saya itu akan dijual? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab layaknya motor legend, Honda Beat tunggangan saya juga punya cerita dan sejarahnya sendiri.

BACA JUGA Merayakan Kegagalan bersama Honda Karisma dan tulisan Allan Maullana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version