Menanti Khataman Kabupaten Magelang, Budaya Pemersatu Kaum Abangan dan Santri

Pahit Getir Bertahan Jadi Santri Pondok di Rentang Usia 25 ke Atas terminal mojok.co

Pahit Getir Bertahan Jadi Santri Pondok di Rentang Usia 25 ke Atas terminal mojok.co

Setiap daerah memiliki keunikan masing-masing. Ada yang dari kuliner, nama daerahnya, bahasanya sampai kegiatan agama dan perayaan adat. Di wilayah saya sendiri Kabupaten Magelang, ada salah satu perayaan yang terkenal hingga luar daerah. Mungkin Anda pernah dengar khataman?

Mirip-mirip grebek Ramadan dan semi-semi pasar malam. Khataman dari kata khatam yang maknanya rampung atau selesai. Acara yang biasanya menandai libur dan masa berakhirnya seseorang ngaji atau nyantri. Acara ini diadakan seminggu penuh di Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, sebelum bulan Ramadan tiba. Di sana ada salah satu pondok pesantren besar pimpinan Gus Yusuf. Nah, dari pesantren inilah, budaya khataman bermula.

Dahulu, menurut cerita Mbah saya, khataman telah eksis sejak zaman bahuela. Pasar malam baru ada saat akhir 80-an atau awal 90-an. Sebelum era pasar malam, dulu orang berjalan kaki bahkan dari luar kota hanya untuk pergi khataman. Pada awalnya, acara yang pasti ada dan satu-satunya ya, pengajian di pondok.

Memasuki dekade 80-an acara khataman mulai ditambah dengan unsur tontonan. Wayang dan kesenian daerah mulai masuk dan menjadi pusat perhatian utama. Saat pasar malam yang penuh permainan dan hiburan muncul, khataman pun berubah fungsi menjadi acara hiburan semua kalangan selama seminggu full. Akhirnya, khataman lebih terkenal sebagai pasar malam dan tempat beragam pertunjukan kesenian tradisional.

Saat khataman, jalan sekitar pasar dan Terminal Tegalrejo, Kabupaten Magelang, punya bau khas seperti pecinan. Cakwe dan bolang-baling tercium sepanjang jalan. Banyak penjual baju dan barang penunjang gaya lainya. Arum manis, donat, molen, pokoknya semua makanan ada di situ. Tawa anak-anak dan keluh kesah orang tua yang tengah repot, ikut mendominasi kebisingan, selain suara musik dangdut dari speaker penjual DVD bajakan tentu saja.

Jinontro alias kandang manuk alias kincir, tampak berkelap-kelip. Komedi putar, tong setan, kora-kora, dan masih banyak lagi yang bisa kita nikmati. Tak lupa, para muda-mudi dimabuk asmara dan juga beberapa korban friendzone ikut menyemarakan kegiatan itu. Kapal kluthuk, alias kapal mainan dari kaleng masih sering kita jumpai di sana. Pergi khataman itu, serupa berkumpul dengan banyak potret zaman yang telah berlalu, tapi awas suka ada copet.

Arak-arak adalah malam acara puncak. Jalan ditutup dan arak-arakan manusia berjalan mengitari Tegalrejo. Mirip seperti karnaval. Banyak orang berkostum, obor yang menyala dalam jumlah banyak, sampai kereta dan gunungan hias. Saat acara puncak ini berlangsung, seluruh jalan ramai sampai berkilo-kilo meter. Walau acara puncak sebenarnya adalah pengajian, tapi arak-arak sudah terlanjur dianggap sebagai penutup. Sehingga tentu saja, pengajian khataman tampak lebih sepi dibanding arak-arak.

Namun, sudah dua tahun ini khataman tak terlihat batang hidungnya. Saya bukan orang yang bisa nyaman menikmati acara ini. Saya tak suka keramaian, titik. Namun, saya rindu juga dengan khataman. Rindu dengan cakwenya tentu saja. Pada 2019 acara ini vakum karena ada pilpres dan pileg (yopiye, ya? Yang punya hajat sedang sibuk). Sementara pada 2020 tentu saja karena corona.

Tahun lalu, sebenarnya para pekerja pasar malam sudah sampai lokasi dan tengah menyiapkan wahana permainan. Namun PSBB Kabupaten Magelang digalakkan dan mereka harus bubar. Para pedagang makanan yang sudah terlanjur datang sejak jauh-jauh hari juga harus pulang dengan terpaksa. Padahal banyak orang sangat menantikan dan bergantung pada khataman, keno gawe sangu badha.

Cerminan kehidupan masyarakat suburban bisa kita lihat di sana. Selain itu, ada alasan yang lebih penting dari sekadar motif ekonomi dan rindu hiburan, mengapa khataman harus selalu ada. Acara ini sejatinya sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Tak beda jauh dengan Lebaran dan Imlek. Khataman sudah terlanjur menjadi hari yang ditunggu-tunggu setahun penuh oleh banyak orang. Bisa juga acara ini disebut sebagai identitas Tegalrejo. Tanpanya, Tegalrejo bukanlah Tegalrejo yang sejati.

Sejatinya, tahun ini juga masih belum diprediksi: apakah acara ini bisa hadir lagi? Perayaan di mana kaum abangan dan santri bisa saling bahu membahu jadi panitia, ataupun sama-sama menikmati pasar malam dan tontonan.

Tak banyak yang tahu, banyak pihak luar pondok yang ikut membantu, entah sekadar bersih-bersih, jaga jalan, mengurusi tamu Pak Kiai, mengurusi pengisi acara, dll. Khataman itu serupa padusan, grebek Ramadan, pamongan Ramadan, bubur Ramadan, pokoknya semua kegiatan untuk menyambut Ramadan dengan suka cita dan bahagia (terlepas dirimu puasa atau tidak). Jika khataman tahun ini bisa diadakan, seharusnya tahun ini ia jadi khataman paling dirindukan, terdebes, tertragis, dan semoga benar-benar terjadi.

BACA JUGA Nasi Senerek, Kuliner Underrated nan Sulit Ditemui di Luar Magelang dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version