Menteri kena reshuffle menteri kok ditangisin. Dia itu pejabat, pelayan publik, bukan idola. Nggak perlu ditangisin!
Beberapa hari ini kondisi perpolitikan Indonesia lagi gonjang-ganjing. Gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia. Police brutality terjadi di mana-mana yang berimbas baik secara langsung atau tidak langsung membuat 10 orang gugur. Mudah-mudahan seluruh amal ibadah mereka yang gugur diterima Tuhan. Buat perjuangan mereka tidak sia-sia dengan terus mengkritik pemerintah! Panjang umur perjuangan!
Ok, sudah cukup basa-basi pembukaannya.
Masih lanjutan dari kelamnya kondisi perpolitikan Indonesia, sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto kena reshuffle. Reshuffle sendiri bukan barang baru, ia merupakan hak prerogatif Presiden untuk memilih, menukar, atau mencopot posisi Menteri yang beliau anggap perlu.
Di sini, saya tidak akan membahas gimana kinerja menteri yang kena reshuffle tersebut atau memprediksi kinerja menteri baru. Saya cuma mau geleng-geleng kepala karena ada banyak orang yang menangisi pejabat publik yang kena reshuffle tersebut. Kok bisa?
Saya membatin, “Ngapain menangisi mereka? Yang harus ditangisi itu Manchester United dan jutaan fans lainnya, termasuk saya!”
Untuk apa menangisi (mantan) menteri yang menurut LKHPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) punya harta puluhan miliar Rupiah? Yang harus ditangisi itu hidup kalian, yang penghasilannya saja belum tentu nyampai UMR Jogja, yang padahal, nyampai UMR Jogja aja itu hidupnya sama sekali jauh dari layak.
Yang harus ditangisi itu kendaraan kalian, yang mentok cuma motor matic dengan cicilan ngos-ngosan yang harus kalian bayar cicilannya biar pejabat bisa hidup mewah!
Menteri mah bakal kaya sekalipun nggak menjabat lagi sampai akhir hayatnya
Saya yakin, menteri yang kena reshuffle, sekalipun nggak kembali menjabat kembali sebagai Menteri atau terpilih sebagai pejabat pada periode pemerintahan selanjutnya itu bisa hidup tenang sampai akhir hayatnya.
Pasalnya, berdasarkan LKHPN, kekayaan beliau itu ada puluhan miliar. Belum ditambah aset lainnya seperti tanah, rumah, mobil, dan logam mulia. Mau sampai akhir hayatnya rebahan juga aman. Buat makan ada yang masakin. Mau pergi ada yang nyopirin. Kalau uang dapur masih kurang, masih bisa jadi dosen tamu di kampus-kampus, bikin seminar sana-sini, hadir di podcast YouTuber ini-itu, atau bisa juga bikin buku atau bikin channel YouTube sendiri.
Daripada menangisi menteri yang kena reshuffle, mending menangisi guru honorer yang hanya digaji beberapa ratus ribu dalam satu bulan. Mending menangisi mereka yang gugur dalam aksi demonstrasi kemarin. Mending juga menangisi saudara-saudara kita yang meninggal karena ulah Zionis Israel. Bukan menteri yang kekayaannya jauh lebih kaya dari kita!
Explain it in football terms!
“Tapi kinerja beliau kan bagus! Beliau sudah menjabat sebagai Menteri selama belasan tahun!”
Sekalipun kinerja beliau bagus, anggap saja seperti Sir Alex Ferguson saat menahkodai Manhester United atau seperti Arsene Wenger saat menahkodai Arsenal, itu kan emang tugasnya? Bukan hal spesial? Mereka dibayar dari pajak negara untuk itu kan?
Logikanya gini.
Ferguson digaji dari uang klub (pihak swasta). Sukses atau gagalnya Fergie ketika menahkodai Manchester United dampaknya hanya langsung pada Manchester United dan fansnya. Sedangkan pejabat publik itu digaji dari rakyat. Kebijakan yang dibuat seorang Menteri itu berdampak pada taraf hidup ratusan juta orang. Kalau kebijakannya ngaco, jutaan orang bisa langsung jatuh miskin. Sedangkan kalau pelatih Manchester United gagal bawa juara, mentok-mentok jadi bahan bullyan Coach Justin aja.
Bedanya Ferguson dengan pejabat publik adalah soal tanggung jawab. Ferguson dihargai dan dihormati fans sepak bola sampai dibikinin patungnya dan namanya diabadikan jadi nama tribun di Old Trafford karena ia ngasih prestasi ke klub yang menggajinya. Tapi pejabat publik? Mereka digaji dari pajak rakyat. Sebagus apa pun prestasinya, itu bukan keistimewaan, tapi ya kewajiban.
Menangisi Ferguson itu wajar, karena sepak bola memang permainan emosi. Tapi menangisi pejabat publik? Itu berbahaya. Karena artinya kita memperlakukan politik layaknya kultus pribadi. Pejabat itu pelayan rakyat, bukan kultus pribadi.
Dia itu menteri, pejabat publik, bukan idola!
Rasanya, saya jadi pesimis dengan revolusi yang selama ini digaungkan dalam gelombang demonstrasi yang terjadi beberapa minggu ini. Tentang betapa mudahnya masyarakat Indonesia ini lupa tentang kebijakan menteri selama menjabat yang nggak pro rakyat. Tentang betapa mudahnya masyarakat Indonesia ini memaafkan seseorang, padahal beberapa minggu lalu ingin menjarah rumahnya?
Di banyak negara maju, termasuk Amerika, pejabat publik itu sebutannya public servant alias pelayan publik, pelayan masyarakat. Kalau kinerjanya bagus? Ya itu kewajiban. Kalau gagal? Harus siap diganti. Menangisi menteri artinya telah membolak balikan logika di atas. Yang harusnya dilayani jadi melayani. Ngerti kan?
Sebagai penutup, saya sendiri nggak ada masalah pribadi dengan mantan menteri yang namanya tidak perlu saya sebut dalam tulisan ini. Saya yakin kalian tahu siapa yang saya maksud. Yang saya kritisi adalah kebijakan beliau selama menjabat, serta fenomena masyarakat yang gampang sekali menangisi pejabat seolah mereka pahlawan pribadi. Padahal pejabat publik digaji untuk bekerja bagi rakyat, bukan untuk dijadikan idola.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















