Sebelumnya saya belum memiliki ketertarikan membaca artikel yang berjudul, Mari Bersepakat Bahwa Indomaret Lebih Baik Daripada Alfamart tertanggal 25 Juni 2019. Hingga akhirnya, entah mengapa di layar telepon genggam saya secara tidak sengaja membuka tautan artikel tersebut, lalu membacanya hingga tuntas sampai ke akar-akarnya komentar-komentarnya.
Sudah saya duga sebelumnya, tulisan tersebut pasti hanya bersifat subjektif semata, opini pribadi. Seperti dijelaskan dalam tulisan, ide itu muncul karena adanya “rangsangan” dari kru mojok, sesuai yang diceritakan penulis.
Jadi, apa yang dilakukan penulis adalah sah-sah saja. Lha wong ketentuan penulisan oleh redaksi juga tidak membatasi opini penulis. Bahkan cukup jelas, asal tidak mengandung SARA, ujaran kebencian, dan hoaks—dapat dilihat di ketentuan penulisan Terminal Mojok dan menu FAQ.
Kalau dibaca secara saksama memang tidak ada ujaran kebencian dalam artikel tersebut, termasuk berita hoaks. Bersih. Kan sudah dijelakan di akhir artikel bahwa itu adalah pengalaman pribadi penulis, berarti berdasarkan fakta, to. Penulis juga menegaskan kalau ada yang tidak setuju ya monggo—nah lo. Jika esok akan ada artikel serupa yang isinya tentang Alfamart yang Lebih Bagus dari Indomaret ya sah-sah saja. Monggo yang mau bikin tulisan tentang itu—mumpung belum ada yang menuliskan di Terminal Mojok. heuheu
Satu hal menarik yang dapat saya tangkap dari artikel tersebut adalah ramainya reksi netizen—baik yang pro maupun kontra. Bagi seorang penulis, hal semacam ini jelas akan menjadi nilai jual karena secara tidak langsung apa yang menjadi gagasan penulis berhasil meracuni dan membius pembaca untuk setidaknya mengambil posisi.
Seperti yang tertulis di kalimat terakhir, banyak pembaca yang sependapat. Namun, tak sedikit pula yang menentang. Pada tingkat tertentu, saya mungkin melihat perang argumen yang hampir serupa dengan perdebatan antara cebong dan kampret. Setidaknya menurut hemat pribadi saya—kan nggak apa-apa to saya menyebut demikian. heuheu
Bahkan saya terpingkal saat membaca komentar beberapa netizen yang menyebut penulis artikel tersebut kurang jauh mainnya. Apalagi ada yang bilang tulisan itu adalah bayaran pihak Indomaret—hellooow, kalau mau bercanda yang lucu dikit kenapa. wkwkwk. Saya juga bisa bilang begini, “Anda dibayar berapa untuk mengomentari dan menjelekkan penulis artikel itu?” Saya yakin pasti pada jawab, “siapa yang bayar? Kagak ada.”
Jawaban yang mungkin sama dengan jawaban penulis artikel tersebut. Saya yakin tidak ada yang menungganginya. Pada tulisan saya sebelumnya terkait Deddy Corbuzier, juga sempat ada yang berkomentar negatif terhadap isi tulisan dan menuduh saya memperkeruh keadaan. Saya sih selow dan tidak baper—risiko penumpang.
Hmm, jadi begini menulis itu tentang sudut pandang ya. Bagaimana kita menelurkan ide atau gagasan bahkan pengalaman pribadi ke dalam suatu tulisan. Semua orang berhak dan sangat terbuka untuk melakukan itu. Ya, seperti penulis artikel Indomaret Alfamart itu. Ini bukan lagi zaman orde baru—yang katanya bersuara sedkit saja langsung dibungkam.
Termasuk sebenarnya netizen berkomentar dan menanggapi artikel tersebut juga sah-sah saja. Asal—ada asalnya nih—asal tetap mengutamakan adab dan etika bermedia sosial. Jika netizen berkomentar penulis mainnya kurang jauh, apa bedanya dengan dirinya sendiri—baru ngerti artikel seperti itu saja baper.
Atau orang yang berkomentar negatif sebenarnya belum membaca artikel tersebut secara utuh. Ya karena dalam artikel tersebut sudah terpampang jelas bahwa itu hanya merupakan penilaian subjektif penulis. Harusnya cukup dimaknai sebagai kekayaan cara pandang manusia dalam melihat suatu permasalahan.
Terakhir nih, jangan bertanya saya dibayar berapa oleh penulis—kenal saja tidak. Saya menulis artikel ini bukan berarti saya ada di pihak penulis artikel tersebut. Saya juga kurang setuju dengan ajakan penulis untuk bersepakat bahwa Indomaret lebih baik dari pada Alfamart. Lha wong di tempat saya kerja, belum ada keduanya. Meski di kampung halaman saya banyak ditemukan Alfamart dan Indomaret, namun tak sampai kurang kerjaan hingga mengamati perbedaan tinggi langit-langitnya. Atau kasirnya cantikan mana. heuheu
Tidak menutup kemungkinan, ada yang tidak setuju pula dengan tulisan ini—ya dipersilakan. Kebebasan anda bersuara masih dijamin Undang-Undang kok. Paling penting, jangan lupa bahagia dan terus berdoa agar bangsa ini tetap aman jelang putusan sidang sengketa pemilu oleh MK. Tabik.
Salam kemekel~