Rasa-rasanya kita semua udah nggak asing lagi dengan meme yang mengatakan bahwa anak kelahiran tahun 1997 atau 1998 adalah generasi yang paling sial. Gimana nggak, pas lahir ngalamin krisis moneter, pas SD jadi kelinci percobaan UN 5 paket, pas SMP (masih) jadi kelinci percobaan UN 20 paket, pas SMA, (lagi-lagi) jadi kelinci percobaan kurikum 2013. Eh sekarang, pas skripsian, harus ditunda soalnya ada pandemi corona.
Coba kasih tahu saya, apa ada generasi yang lebih sial dari kami?
Sebagai salah satu anak yang lahir di tahun tersebut, saya ‘berusaha’ untuk melihat fenomena kesialan ini sebagai keluhan memori kolektif. Memori kolektif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ingatan yang dibagi bersama oleh sekelompok orang. Dan memori kolektif kami terbukti isinya masalah ujian semua…
Yang pertama, krisis moneter pada tahun 98. Krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Indonesia. Saya yakin kalian udah sering membaca dan mendengar betapa kacaunya kondisi ekonomi INdonesia saat itu. Rupiah tinggi banget udah kayak cita-cita anak SD. Banyak penjarahan, demo, dan kerusuhan yang pecah jadi konflik kekerasan yang menimbulkan banyak korban.
Meskipun kami baru saja lahir, bukan berarti kami tidak merasakan kesulitan apa-apa, banyak dari kami yang diceritai kalau orang tua kami kesulitan membeli susu dan kebutuhan kami sampai akhirnya banyak yang jadi kurang gizi dan mengalami perlambatan pertumbuhan. Hiks sedih sekali.
Kedua, ketika mau selesai jenjang SD, kami jadi kelinci percobaan untuk UN 5 paket. Tahun-tahun sebelumnya padahal hanya 4 paket soal. Dan itu makin parah di jenjang SMP kami soal UNnya jadi 20 paket (yang artinya nggak ada satu pun soal UN yang sama dalam satu ruangan kelas).
Padahalkan UN itu serem ya. Soalnya waktu jaman kami, UN masih jadi syarat kelulusan (nggak kayak sekarang yang cuma jadi nilai tambahan). Jadi kalau nggak lulus UN, perjuangan sekolah 3 tahun akan sia-sia begitu saja. Makanya kami super was-was sama percobaan UN 20 paket tersebut.
Ketiga, waktu masuk SMA, kami dikenakan Kurikulum 2013. Kurikulum terbaru ini sangat fenomenal karena hampir merombak seluruh proses belajar mengajar. Dengan adanya kurikulum ini siswa (diharapkan) menjadi lebih aktif di kelas dan dapat meng-explore pengetahuan baru bukan hanya melalui guru tapi dari diskusi. Kurikulum 2013 adalah cetusan Mentri Pendiikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh. Mayoritas SMA Negeri sudah menerapkan kurikulum tersebut agar sesuai tujuan yang diharapkan, yaitu siswa menjadi lebih aktif dan kritis, serta memiliki pendidikan karakter.
Tapi apa yang terjadi di lapangan? Waktu di sekolah semakin bertambah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yetty Morelent dan Syofiani, tentang pembentukan karakter di salah satu SD di Bukit Tinggi, perkembangan karakter peserta didik tidak hanya berdasarkan kurikulum 2013, tetapi juga dipengaruhi oleh guru dan orang tua. Selebihnya, tidak ditemukan data bahwa Kurikulum 2013 berhasil atau tidak secara menyeluruh di Indonesia.
Keempat, penelitian skripsi (harus) tertunda dikarenakan penyebaran pendemi virus korona. Sebagaimana yang kita tahu, virus ini menjadi masalah besar yang bukan hanya dialami oleh Indonesia, tapi juga di hampir semua negara. Angkatan kami jadi kena imbasnya karena adanya anjuran social distancing dan lockdown di beberapa daerah. Beginilah kira-kira keluhan teman-teman kami itu,
“Objek penelitianku di daerah yang kena virus, banyak warganya yang kena. Bagaimana bisa ambil data?”
“Perpustakaan kampus dan perpustakaan Nasional ditutup, padahal biasanya skripsian di sana”
Jika disikapi dengan tangan terbuka, pasti selalu ada jalan untuk menyusun skripsi tersebut. Seperti misalnya, bimbingan online. Beberapa kampus telah menyebarkan surat edaran kepada mahasiswa yang sedang skripsi untuk melakukan bimbingan online dan bahkan sidang online. Contohnya ialah mahasiswa UNESA yang dinyatakan lulus dalam skripsinya. Terlebih lagi, waktu untuk social distancing ini bisa digunakan untuk membuka kembali buku teori dan memperdalam penelitian di dalam rumah.
Terakhir, manusia memang sering mensakralkan tahun-tahun dalam ingatan. Seperti hapal banget tahun pertama kali ketemu, tahun jadian, bahkan tahun putus. Begitupun dengan yang dirasakan oleh kami generasi yang lahir di tahun tersebut. Ingatan-ingatan soal kesialan ini sudah berada dalam benak karena kami alami dan rasakan sendiri.
Tapi ya mau gimana lagi, mau terus diratapi kok ya rasanya sedih sekali. Makanya sekarang kami lebih sering menganggap kesialan ini sebagai guyonan belaka. Biarlah kami sambat karena hidup selalu guyon pada generasi kami ini.
BACA JUGA Senangnya Jadi Orang Flores: Menjadi Terkenal Karena Tak Dikenal atau tulisan Fauziannisa Latief lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.