Memilih Politisi Ganteng: Masih Relevankah bagi Pemilih Muda?

Memilih Politisi Ganteng: Masih Relevankah bagi Pemilih Muda?

Memilih Politisi Ganteng: Masih Relevankah bagi Pemilih Muda? (Unsplash.com)

Masih ada lebih dari satu tahun hingga Pemilu 2024 dilangsungkan. Namun, seolah jadi tradisi, pesta hajatan politik ini sudah ramai sejak jauh-jauh hari.

Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai banyak nama bakal calon presiden yang dikabarkan akan ikut berpartisipasi dalam Pemilu nanti. Kerap kali para politisi yang dinilai cocok untuk ikut mencalonkan diri dalam Pilpres mendatang dipasang-pasangkan dengan politisi lain. Misalnya saja Anies Baswedan yang disandingkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Anies disebut bakal memenangi Pilpres jika menggandeng ketua umum Partai Demokrat itu. Politisi senior, Zulfan Lindan, mengungkapkan bahwa paras cakep AHY akan mampu menarik suara pada Pilpres mendatang.

Fenomena politisi ganteng yang kebetulan menang dalam pemilihan ini sebelumnya pernah terjadi di Indonesia. Masih ingat dengan eks-gubernur Jambi yang tersandung kasus korupsi, Zumi Zola? Blio yang merupakan mantan pesinetron ini memang perlu diakui bahwa visualnya cukup oke.

Berpartisipasi dua kali dalam Pemilu dan dua kali pula blio memenangkannya. Pada tahun 2011, Zumi Zola sukses dilantik sebagai bupati Tanjung Jabung Timur. Selepas masa pemerintahannya sebagai bupati usai, beliau mencalonkan diri kembali sebagai gubernur Jambi dan menang. Sayangnya, pemerintahan Zumi Zola yang kedua ini nggak happy ending lantaran blio malah dijebloskan ke penjara gara-gara kena kasus korupsi. Haduh.

Saya jadi kepikiran, “Apa iya penampilan yang ganteng bisa membuat pemilih kepincut?” Kalau boleh jujur, saya baru ngeh bahwa wajah juga menjadi modal penentu untuk bisa terpilih dalam Pilpres. Gimana ya, mulai dari guru Pendidikan Kewarganegaraan hingga lingkungan di sekitar saya senantiasa mengajarkan memilih seorang pemimpin haruslah mempertimbangkan kualitas dan kinerjanya.

Saya berpikir bahwa memilih calon pemimpin itu sebisa mungkin bukan atas dasar penampilan fisik belaka. Memang sih menurut penelitian psikologi disebutkan kalau menatap foto pria tampan bermanfaat bagi otak, khususnya dalam hal mengingat. Tapi dalam Pemilu, kita dihadapkan pada keputusan untuk memilih pemimpin yang—paling nggak lima tahun ke depan—bakal menentukan kesejahteraan kita. Kita bukan lagi menentukan bias dari sebuah grup K-Pop atau memberikan suara untuk The Most Handsome Face ala TC Candler.

Syukur-syukur kalau calon pemimpin tersebut memang ganteng sekaligus capable mengurus daerahnya. Namun, jika yang blio punya sekadar wajah sedap dipandang tapi kebijakan yang disusun dan di-acc nggak berpihak pada rakyat, punya pemerintahan yang korup, dan nggak membuat perubahan signifikan apa pun, ya buat apa?

Namun rupanya banyak riset yang menemukan bahwa calon pemimpin yang good looking lebih banyak meraup suara dibandingkan yang mukanya biasa aja. Dari banyaknya penelitian itu, terdapat riset yang dilakukan oleh Carl L. Palmer dan Rolfe D. Peterson yang mencoba mencari tahu apakah penampilan fisik berperan dalam dunia politik. Berdasarkan studi yang mereka lakukan melalui analisis data dari American National Election Studies (ANES) dan survei, hasilnya… yak, penampilan fisik berperan besar dalam pemilihan.

Riset tersebut menggunakan konsep stereotipe daya tarik. Sebagian orang menganggap bahwa seseorang yang terlihat menarik atau good looking cenderung lebih bahagia dan sukses dibandingkan orang yang biasa saja. Inilah yang memicu mereka lebih memilih seseorang yang ganteng atau paling nggak mencari tahu informasi lebih lanjut mengenai kandidat yang tampan tersebut. Dari studi ini ditemukan bahwa daya tarik fisik nggak hanya berdampak pada interaksi sosial, tapi juga interaksi politik.

Dari penelitian yang sama, dikutip juga beberapa penelitian sebelumnya yang pernah menemukan bahwa pemilih cenderung memutuskan mana pemimpin yang akan mereka pilih dengan mata mereka, bukan dengan logika. Jadi kalau berdasarkan penelitian ini, keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang good looking ternyata juga berlaku buat politisi, Gaes.

Kalau begitu, penampilan fisik yang keren memang bisa jadi nilai plus dalam menggaet pemilih. Beberapa orang yang pernah saya temui pernah mengungkapkan bahwa mereka memilih calon pemimpin saat pemilu berdasarkan penampilan yang tampak baik.

Hal ini nggak mustahil untuk terjadi. Meskipun kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilu banyak melakukan kampanye dan orasi, saya yakin hanya segelintir orang yang benar-benar memperhatikan tiap-tiap pemaparan mereka. Sebagian besar lainnya paling hanya menangkap key point dari kampanyenya. Kalau buat pemilih muda seperti pelajar dan mahasiswa mungkin lebih mementingkan praktikum dan ngerjain tugas daripada dengerin orasi capres selama dua jam. Maka muncullah peluang bahwa pemilih baru memutuskan siapa yang akan mereka coblos ketika masuk ke bilik suara dan melihat surat suara.

Kalau begitu, masih relevankah memilih pemimpin berdasarkan penampilan fisik semata? Mungkin masih, bagi sebagian orang. Tapi, nggak buat saya. Kemarikan dulu janji-janji kampanyemu, Pak. Kalau program yang ditawarkan memang bermanfaat dan kedengarannya realistis—paling nggak buat saya—nanti saya pilih.

Eh, tapi bisa jadi lho terjadi pergeseran preferensi pemimpin yang akan dipilih oleh pemilih muda. Sebab, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung bahwa ciri-ciri pemimpin yang memikirkan rakyat adalah mereka yang berambut putih dan keningnya berkerut. Masih soal penampilan fisik, tapi mungkin di masa depan, bapak-bapak yang sudah beruban bisa jadi justru lebih unggul dalam pemilihan.

Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Faldo Maldini dan Fenomena Politisi Muda Rasa Boomer.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version