“Memecahkan Berarti Membeli”, Ternyata Tidak Berlaku Untuk Hati Dan Perasaan

memecahkan berarti membeli

memecahkan berarti membeli

Tulisan “Memecahkan Berarti Membeli” sepertinya bukan hal asing lagi bagi kita semua. Seperti yang kita tahu, tulisan tersebut kerap kali kita jumpai hampir di setiap toko ataupun swalayan. Kebanyakan tulisan tersebut ditempel pada rak yang menjual aneka piring, gelas, ataupun benda-benda pecah belah lainnya yang rentan untuk pecah dan hancur.

Setiap pemilik toko tentu tak mau mendapati pengunjung tokonya memecahkan daganganya lalu kabur begitu saja. Siapa juga orang di dunia ini yang mau rugi. Karena tujuan mereka memajang barang-barang tersebut bukan untuk dipertontonkan atau cuma untuk bahan mainan pengunjung toko. Tentu akan sangat menjengkelkan, bila barang dagangan mereka itu pecah lantas si calon pembeli ini berdalih tak mau membelinya.

Oleh karena itu, adanya tulisan ini seolah menegaskan para pengunjung toko bahwa kalau mereka tak berniat untuk membeli jangan sekali-kali mencoba untuk memegangnya atau main-main dengan barang tersebut. Kalau mereka sudah menyentuh atau memegangnya, berarti mereka sudah siap membeli.

Di dunia ini harus ada pertanggungjawaban yang dipikul dalam setiap perbuatan yang kita lakukan. Jangan sampai karena rasa penasaran, kita mengutik-utik barang tersebut. Meliriknya, melihatnya, memegangnya, mengelus-elus, lalu setelah ada sebuah barang yang lebih bagus atau menarik, tanpa sengaja kita melepaskan barang yang sudah kita pegang. Pecah kan ya!

Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Oleh karena itu, untuk meminimalisir orang-orang semacam ini, pihak toko biasanya menulis dengan tegas himbauan tersebut. Memecahkan yah artinya membeli. Enak aja, main-main dengan barang tersebut lalu pergi gitu aja setelah memecahkanya. Udah gitu alasanya basi banget- karena nggak cocoklah atau nggak tertarik lagi. Hmmm

Sebagai pembeli pun, sudah seharusnya kita bisa bersikap layaknya kesatria. Kalau melakukan kesalahan, ya sudah semestinya dong kita tanggung jawab dengan apa yang kita lakukan. Jangan lari gitu aja kayak orang tak berdosa. Memangnya dagangan orang itu cuma sekadar bahan keisengan di waktu suntuk kita aja?

Namun sungguh disayangkan bahwa tulisan semacam itu ternyata tak berlaku untuk hati dan perasaan manusia. Tak ada tuh, hukum yang dapat menjerat seseorang yang mematahkan atau memecahkan hati orang lain. Meski hati manusia itu tidak termasuk barang pecah belah, namun hati manusia itu sangat rentan untuk pecah dan hancur berantakan, wahai saudaraku.

Terlebih di negara kita ini, belum ada undang-undang yang mengatur tindakan kejahatan dalam pasal membuat sakit hati atau patah hati orang lain. Hukum kita masih terlalu lunak dalam menyikapi para manusia-manusia yang sangat hobi meninggalkan pas lagi sayang-sayangnya.

Padahal dalam kasus ini mereka memiliki bisa dijatuhi pasal berlapis. Pertama, mereka sudah melakukan tindakan pencurian. Mencuri hati dan perhatian orang lain. Kedua, mereka sudah masuk ke ranah penipuan karena mereka sangat suka mengumbar janji manis yang ternyata palsu belaka. Ketiga, menelantarkan hati yang butuh kasih sayang itu juga perbuatan yang sadis.

Setelah memecahkan hati seseorang kok dia dengan seenaknya bahagia dengan orang lain. Oh, tidak bisa! Ini sungguh tak adil.

Hati dan perasaan manusia itu juga bukan pajangan atau bahan pameran. Kalau dari awal emang nggak tertarik untuk memiliki, ya udah. Tapi jangan sok-sokan berkata manis di awal ketemuan, memberi rasa hangat saat di zona kedekatan, dan setelah mendapatkan perasaan nyaman, eh kok ya kita dihempaskan di lautan luka dalam begitu saja.

Alasa klasiknya tak jauh beda dengan para pengunjung toko: Maaf kita mungkin nggak cocok atau maaf ya aku nggak tertarik lagi sama kamu. Dan bisa jadi akan ada lanjutannya, aku cuma anggap kamu teman kok. Kalau ketemu manusia macam ini rasanya kok pengen banget nyubit amandelnya yah.

Kalau emang nggak tertarik kenapa harus memberikan harapan-harapan yang indah, Ferguso? Tidakkah kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan itu sungguh jahat.

Sebuah barang pecah belah jika sudah pecah, maka sudah berakhirlah masa barang tersebut. Seperti yang kita tahu, bahwa sekali barang itu pecah maka tak akan bisa kembali utuh lagi. Lem mungkin bisa mengeratkan kembali, tapi tak akan bisa membuatnya kembali seperti semula.

Hati manusia sendiri bukanlah barang pecah belah. Meski pada kenyataannya bisa pecah, bisa remuk, bisa porak poranda, dan terpecah berkeping-keping. Namun sekali lagi tak ada bayaran yang bisa menggantikan hati yang terluka. Namun tak ada yang bisa menuntut tanggung jawab dari perasaan yang tersakiti.

Andai saja semua orang paham cara kerja semesta ini. Bahwa semua hal yang kita perbuat harus ada pertanggungjawabannya. Jikalau tidak hari ini, mungkin nanti. Karena setiap hati yang tersakiti, akan ada harganya masing-masing yang harus dibayar di kemudian hari.

Jadi, imbauan untuk semuanya. Jika memang tidak berminat untuk memiliki, jangan pernah memberi harapan dengan sok perhatian gitu yah. Karena hati manusia itu mudah dan rentan untuk baper.

Exit mobile version