Memborong Rumah untuk Investasi: Cuan bagi Pengusaha, Bencana bagi Rakyat Jelata

memborong rumah perumahan banguntapan mojok

Ilustrasi perumahan

Jika saya membuat daftar hal yang paling saya benci di dunia ini, melihat rumah kosong di kota seperti Jakarta adalah salah satunya. Rumah-rumah kosong ini mungkin terlihat terbengkalai namun mereka semua ada pemiliknya. Pemilik yang nggak menggunakan rumah tersebut tapi tetap memilikinya dengan alasan untuk aset dan investasi. Yak, banyak orang memborong rumah dengan dalih aset dan investasi.

Contohnya perumahan orang tua saya di Kalimalang, Bekasi. Saat ortu saya membeli rumah di sana sekitar dua dekade lalu, perumahan tersebut masih masuk kategori untuk keluarga kelas menengah bawah. Namun, keberadaan dua jalan tol baru dan proyek LRT Jabodetabek membuat daerah tersebut sudah menjadi area strategis.

Walaupun lokasi sudah strategis, di perumahan ini banyak sekali rumah terbengkalai ditinggal pemiliknya. Luasnya kadang dua kali lipat lebih besar dari rumah ortu saya. Rumah ini tidak mau dijual, disewa, atau dipakai usaha. Cuma sekadar sebagai aset investasi yang dibiarkan terbengkalai saja. Bahkan usut punya usut, saya mendengar bahwa banyak rumah terbengkalai ini dimiliki satu orang saja yang tinggal di kompleks saya dan kebetulan terkenal cukup kaya. Alias, ada orang yang memborong rumah dalam jumlah banyak.

Bukan cuma rumah terbengkalai, hal ini juga terjadi bahkan di pasar properti lainnya seperti apartemen. Misalnya salah satu apartemen yang ada di tengah pusat kota Bekasi. Saya tahu bahwa apartemen itu sudah terjual semua. Cuma yang menggunakan apartemen tersebut untuk tinggal permanen hanya sedikit. Mayoritas kamar apartemen tersebut cuma dibiarkan untuk investasi, atau disewakan harian buat jadi kamar hotel. Bukan sewa buat tempat tinggal loh, tapi kamar hotel!

Tindakan menimbun rumah cuma buat kepentingan investasi semata, menurut saya adalah salah satu hal paling memuakkan. Bagaimana tidak, harga rumah setiap tahunnya selalu meningkat di kota-kota besar seperti Jakarta. Rumah yang dulu bisa dibeli dengan harga 200 juta di daerah Bekasi dekat perbatasan Jakarta, sekarang sudah meroket hampir lima kali lipat dalam dua dekade. Di tengah-tengah kondisi kaya gini, masih saja ada yang berpikir bahwa properti itu sekadar investasi belaka.

Tentunya yang bakal merasakan getah dari harga rumah ngeri-ngeri sedap ini bukanlah para kaum investor properti yang doyan memborong rumah. Tapi, kita generasi kelas menengah dan bawah selanjutnya yang bakal makin sulit membeli rumah . Gaji cuma sebatas UMR Jakarta dan ngidam mau punya rumah? Bisa kalau kamu beli rumah subsidi di Karawang sana yang jaraknya puluhan kilometer dari Jakarta. Selamat bermacet ria setiap pagi dan sore cuma buat kerja di Jakarta.

Ini pun bukan masalah unik di Jakarta saja, tapi di kota-kota besar dunia. Kota seperti San Fransisco atau Seoul kelihatannya makmur sentosa dari luar. Namun, ternyata mayoritas penduduknya nggak bisa beli rumah dan hidup di apartemen sewaan karena harga properti yang gila. Kalau nggak nyewa apartemen, berarti mereka tinggal di kota lain dan harus melakukan perjalanan komuter berjam-jam menuju pusat kota buat kerja. Biang keroknya tidak lain karena spekulasi properti untuk kepentingan investasi baik oleh perusahaan besar maupun individu.

Saking parahnya, beberapa penduduk kota besar dunia pun sudah setuju melakukan tindakan ekstrem untuk menyelesaikan permasalahan ini. Misalnya penduduk kota Berlin di Jerman yang baru saja mengadakan referendum. Sebanyak 53 persen penduduk Berlin setuju jika Pemerintah Kota menyita 240 ribu apartemen yang dimiliki perusahaan properti rental buat dijadikan perumahan sosial. Kebijakan ekstrem, tapi tepat sasaran untuk menyelesaikan permasalahan akut.

Di lain pihak, masalah harga rumah yang terus meroket bukan cuma bakal membuat kaum milenial dan Gen Z susah punya rumah. Kalau generasi kita bakal kesulitan punya rumah, masalah turunan lainnya juga bakal menimpa suatu kota. Contohnya kemacetan dan polusi di Jakarta. Semakin banyak generasi kita yang tinggal di kota satelit seperti Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor, dan Karawang, maka semakin parah kemacetan di Jakarta. Bayangkan saja, jutaan orang melakukan perjalanan komuter puluhan kilometer setiap harus dan menghabiskan seperempat haris mereka di jalanan. Apalagi area di kota satelit Jakarta, punya sistem transportasi publik yang lebih buruk lagi.

Nggak usah ditanya juga kualitas infrastruktur di daerah kota satelit ini. Kalau kalian ingin merasakan jalan yang benar-benar rusak, sekali-kali berkunjung ke lokasi perumahan-perumahan baru di sekitaran Babelan, Kabupaten Bekasi. Dijamin asyik tinggal di sana, tapi kerjanya di tengah kota Jakarta. Itu pun belum termasuk masalah lainnya seperti penurunan muka tanah karena pembangunan perumahan di daerah yang belum ada infrastruktur pipa air minum. Hingga konversi lahan pertanian menjadi perumahan buat mereka yang kerja di kota.

Jika Jakarta tidak ingin mengulangi kesalahan seperti kota-kota besar dunia di mana harga properti sudah tidak terkendali, tindakan tegas harus dilakukan sekarang. Bukan hanya terkait pasokan perumahan murah, karena rumah murah yang dibangun jauh dari tempat kerja atau di daerah tanpa infrastruktur pendukung itu hanya akan menambah masalah lain. Luas tanah di suatu kota pun juga nggak bakal secara ajaib bertambah.

Tindakan tegas yang diperlukan adalah memajaki secara progresif, para pembeli properti yang menimbun tiga hingga lima rumah semuanya demi semata-mata investasi. Buat mereka ini mah, memborong rumah cuma sekadar permainan memperkaya diri. Tapi, buat kita, ini masalah berakhir jadi gelandangan atau nggak.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version