Membiasakan Common Courtesy alias Kesopanan Umum demi Kehidupan Sosial yang Lebih Asyik

Membiasakan Common Courtesy alias Kesopanan Umum demi Kehidupan Sosial yang Lebih Asyik

Kita mengingat Bandung Bondowoso dan Pele karena mereka melakukan hal-hal besar. Yang pertama sanggup membangun seribu candi kurang dari sehari, sedangkan nama kedua berhasil mencetak sekitar seribu gol selama perjalanan kariernya sebagai pesepakbola. Mereka melakukan hal-hal “tak masuk akal” dan mereka dikenal lantaran itu. Lantas, apakah semua orang mesti melakukan hal-hal luar biasa untuk dikenang sebagai orang hebat?

Melakukan sesuatu yang luar biasa atau membikin penemuan hebat jelas merupakan hal bagus. Namun, kita tak dibebani kewajiban untuk menjadi orang super. Miliaran manusia telah hidup di semesta ini dari masa ke masa, dan yang boleh dibilang “super”, “sangat hebat”, “luar biasa”, “fenomenal”, dan sebagainya paling-paling hanya segelintir. Dari seribu manusia, mungkin hanya satu di antara mereka yang dikenang dunia bermasa-masa setelah kematiannya.

Menyadari kenyataan bahwa sukar betul menjadi orang sangat hebat, tentulah kita bisa memilih opsi-opsi lain. Membiasakan diri tersenyum kepada siapa pun yang kita sapa di jalan, rutin bersedekah tiap tiga hari sekali, atau sesederhana mendoakan dan berharap kebaikan akan menaungi orang-orang di sekitar adalah di antara perkara-perkara “ringan” yang mungkin tidak akan membuat nama kita dicatat oleh sejarawan, tapi jelas dampak baiknya.

Selain pilihan-pilihan itu, kita bisa juga membiasakan diri untuk menerapkan common courtesy atau kesopanan umum.  Kesopanan umum bisa diartikan sebagai sesuatu hal yang kita lakukan semata-mata untuk menunjukkan kepedulian atau kesantunan kita terhadap seseorang, walaupun sebetulnya hal itu tidak wajib kita lakukan.

Tirta Prayudha, seorang penulis buku-buku populer dalam akun Twitter-nya (@romeogadungan) menyinggung mengenai common courtesy atau kesopanan umum ini.

“Common courtesy:

Apa lagi?”

Demikian isi twitnya.

Sampai artikel ini ditulis, twit itu sudah mendapat 9000-an retweet dan 16.000-an like. Beberapa akun juga menambahkan contoh-contoh yang termasuk kesopanan umum. Ada yang menyebut, “minta izin pemilik nomor, sebelum ngasih nomor yang bersangkutan ke orang lain”, “nebeng motor/mobil, bayarin parkirnya”, “ditraktir, menunya ikutin yang ajakin traktir, kalau disuruh milih, jangan yang mahal”, “dihotspotin, jangan buat nonton YouTube”, dan masih banyak lagi.

Kalau kita perhatikan, hal-hal yang disebut di atas itu sebenarnya bukan masalah kalau tidak kita lakukan. Persis di situlah mengapa kesopanan umum menjadi sesuatu yang istimewa—kalau kita melakukannya. Sebab kita melakukan sesuatu yang tidak wajib dan tidak dituntut siapa-siapa secara langsung. Kalau kita cuma melakukan hal-hal yang wajib dan diperintahkan saja, lantas apa spesialnya?

Daftar kesopanan umum di atas (yang daftarnya bisa dibuat lebih panjang lagi) sekilas tampak seperti hal-hal kecil yang biasa-biasa saja. Ia bukan jenis perbuatan mahadahsyat ala filantropis yang menyedekahkan miliaran rupiah kepada yayasan sosial atau seorang kepala daerah yang memberangkatkan bawahan-bawahannya untuk pergi ibadah haji. Meskipun “sepele”, ia bisa memberikan dampak positif pada kehidupan sosial kita. Praktikkan saja kalau tidak percaya.

Kesopanan umum dapat mencegah kejengkelan pihak tertentu, timbulnya kebencian, atau maraknya ghibah. Kita tentu paham belaka banyak orang yang membuat geram orang-orang sekitarnya lantaran masalah-masalah sepele. Semisal ia suka mengulur-ulur pembayaran utang atau tidak pernah mengucapkan “terima kasih” tiap kali diberikan sesuatu. Orang-orang semacam itu menjadi trending topic di dunia perghibahan. Situasinya akan sepenuhnya berbeda andaikata ia membayar utang tepat waktu dan tahu terima kasih.

Banyak orang menyerukan pesan-pesan perdamaian dan ajakan pada persatuan. Itu seruan-seruan yang baik belaka. Hanya saja, pesan-pesan semacam itu kerap hadir dalam bentuk yang kelewat berat dan muluk-muluk. Padahal, untuk membuat dunia menjadi lebih damai dan tenteram dan asyik, kita bisa memulainya dari hal-hal sederhana. Salah satunya dengan membiasakan kesopanan umum dalam kehidupan bersosial.

Untuk melakukan kesopanan umum, kita tak mesti kaya atau berwajah sangat rupawan seperti Nabi Yusuf atau kuat seperti Samson atau pintar seperti Albert Einstein. Tidak perlu sampai seperti itu. Yang dibutuhkan hanya kesediaan untuk menyenangkan hati pihak lain dengan melakukan sesuatu yang orang lain suka walau ia tak pernah memintanya.

BACA JUGA Please, Jangan Jadi Manusia Norak Saat Menginap di Hotel! atau tulisan Erwin Setia lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version