Memberi Tempat Bagi Remaja untuk Bicara Soal Rokok

Memberi Tempat Bagi Remaja untuk Bicara Soal Rokok (Unsplash)

Memberi Tempat Bagi Remaja untuk Bicara Soal Rokok (Unsplash)

Jika melihat anak remaja merokok, apa yang Anda bayangkan? Tabu, nggak pantas, nakal, atau budaya nggak sehat? Pernahkah terlintas di pikiran Anda, bagaimana perspektif dari kaum remaja sendiri tentang rokok?

Nah, yang saya perhatikan ada dua hal. Pertama, jargon open minded (pikiran terbuka, atau nggak kolot gitu deh). Kedua, “Fear Of Missing Out” (FOMO). Nah ini lebih seru untuk dibahas. Tapi mari coba kita jelaskan satu-satu.

Pertama, open minded. Dua kata ini sering dipakai kaum remaja sebagai topeng pembenaran sikap dan perilaku “nakal” dan kadang “menyimpang”. Misalnya, merokok. Menurut saya, jargon ini secara tidak langsung ikut memicu kenaikan penggunaan rokok yang macam-macam itu; putih, elektrik, kretek, dan lain-lain. 

Menggunakan dasar open minded, kaum remaja seolah ogah terikat aturan maupun “aturan lama”. Termasuk larangan merokok. Suatu sore saat di kampus, saya pernah mendengar teman nyeletuk: “Ah, lu nggak open minded, kolot, masa perempuan merokok nggak boleh? Emansipasi dong.” Nah, apa ya arti sebenarnya open minded itu?  

Kedua, “Fear Of Missing Out” atau lebih terkenal dengan istilah FOMO. Artinya kira-kira, perasaan ketakutan jika merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti trend tertentu. Atau sebut saja nggak update. 

Mendapat pengakuan

Saya sering mengamati bahwa FOMO menjadi salah satu latar belakang tingginya tingkat konsumsi rokok pada kelompok remaja. Rokok itu gaya hidup modern dan keren. Maka, kaum remaja jangan ketinggalan zaman. 

Jika tak mau mengikuti trending, biasanya akan sulit diterima dalam komunitas dan lingkungan pertemanan, terkadang terjadi penyingkiran sosial (social exclusion). Wuih, kalo sampai hal ini, kaum remaja itu kayak kehilangan hidupnya. Soalnya, tersingkir itu jauh lebih menakutkan dan mengerikan dari apapun bagi kaum remaja sekarang.  

Oleh sebab itu tidak heran, kaum remaja bisa lakukan apa saja demi mendapat pengakuan dari komunitas dan jaringan pertemanan mereka. Kalau perlu, melanggar aturan keluarga, agama, bahkan hukum sosial-budaya dan mengabaikan harga diri dan keselamatan mereka sendiri. Jangan sampai terjadi ya? Amin.

Kenapa melarang remaja untuk merokok?

Siapa bilang merokok hanya kaum dewasa? Kalau dilihat dari datanya Global Youth Tobacco Survey dari WHO pada 2019, sejumlah 19,2% pelajar, 35,6% laki-laki, dan 3,5% perempuan menggunakan beberapa produk tembakau. Lalu, 18,8% pelajar, 35,5% laki-laki dan 2,9% perempuan “terpapar” asap tembakau. 

Jelas kan, remaja juga cukup banyak yang merokok. Tapi, kenyataan harian, tetap saja kaum remaja tidak bebas merokok. Masalahnya, bukan hanya soal budaya, tapi juga nilai agama. Misal, perbedaan pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). 

Muhammadiyah, lewat Majelis Tarjih-nya, telah menetapkan hukum merokok haram, sedangkan Nahdlatul Ulama menetapkan hukum rokok hanya sebatas makruh (Akla, 2010). Meskipun sudah mendapat pernyataan resmi dari hukum agama berdasarkan pandangan NU dan Muhammadiyah, merokok dianggap sumber penyakit.  

Perokok perempuan dianggap lebih buruk dibandingkan laki-laki. Maklum ya, konon di budaya “ketimuran”, perempuan harusnya memiliki sifat yang feminim, anggun, lemah gemulai, tidak neko-neko (Ah, ini kan budaya patriarki banget gak sih?). Yang jelas, dan kayak udah ditelan mentah-mentah sebagai “kebenaran” yaitu “Merokok itu HIDUP TIDAK SEHAT dan tidak merokok itu HIDUP SEHAT. Pernah kepikiran nggak kalau itu beneran atau atau hasil bentukan wacana (social construction)? Yukk kita cek dengan bedah buku berikut ini.

Ada perang nikotin, terus mesti gimana?

Buku itu judulnya Nicotine War karya Wanda Hamilton (2010). Keren banget. Jika diringkas, kira-kira begini pokok pikiran isi buku ini: 

Di dunia ini, ada dua kutub pandangan tentang nikotin yang sedang berperang sejak dulu sampai sekarang, yaitu, antara produsen “zat nikotin alami dalam tembakau dan rokok”, umumnya kretek, versus kelompok produsen farmasi “senyawa mirip nikotin dan sarana pengantar nikotin”, dengan klaim obat antikecanduan rokok, dengan macam-macam jenisnya. Namun, sebenarnya maunya sama rebutan pasar besar pengguna nikotin global. Inilah muara debat seru: Merokok TIDAK SEHAT dan tidak merokok SEHAT.

Lalu, mesti gimana kaum remaja mesti menyikapinya? Apalagi banyak cerita dan hasil riset kalau Indonesia ini sebagai penghasil tembakau terbesar di dunia, dan punya sejarah budaya kretek yang panjang banget sejak era kolonial. Kata pujangga WS. Rendra, kretek merupakan hasil kreativitas dari para leluhur dan para penduduk Indonesia yang luar biasa yang harus dihargai dan apresiasi. 

Tembakau dicampur klembak, menjadi rokok kelembak. Sementara itu, tembakau dicampur cengkeh, menjadi rokok cengkeh. Ini merupakan budaya khas Indonesia yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka lahir (Abhisam dkk, 2011). Yang paling penting, buku Nicotin War ini bikin pembaca makin sadar kalau perilaku merokok dan tidak merokok itu ada yang “ngarahin” dan nggak kelihatan langsung. Seperti hantu saja. Termasuk rumusan standar sehat dan tidak tidak sehat akibat rokok itu. Nah…

Jaga kesadaran untuk tetap kritis

Maka, sebagai penutup, menurut saya, kaum remaja mesti tetap sadar dan punya daya kritis yang cukup atas apa saja di sekitarnya. Sebab, sekarang kita hidup di era yang disebut sosiolog G. Ritzer sebagai “Mcdonalisasi”, yaitu proses homogenisasi atau penyeragaman budaya global. 

Artinya, di era ini, apa saja bisa diseragamkan secara global. Oleh siapa? Mereka yang punya kepentingan dan kekuasaan ekonomi politik global. Misalnya, budaya makan, minum, berpakaian, berperilaku dan bertindak. Termasuk ukuran rasa nikmat, enak-tidak enak, baik-tidak baik, bersih (hegenis)-kotor, modern-tidak modern, beradab-tidak beradab, sehat-tidak sehat, dan seterusnya. 

Oleh sebab itu, wajib hukumnya kaum remaja tidak mudah menerima segala sesuai apa adanya. Menjadi diri sendiri boleh dan sah aja, tapi jangan sampai termakan oleh informasi yang tidak sesuai dengan realita. Kasihan masa depanmu.

Daftar Pustaka

Akla, M. (2010). Hukum Rokok Menurut Muhammadiyah dan NU. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Hamilton, W. (1966). Nicotin War. INSISTPress & Spasimedia.

Laraspati, Angga. (2020). Peneliti WHO Nyatakan Rokok Elektrik 95% Lebih Aman dari Rokok Biasa.DetikNews.com. https://news.detik.com/berita/d-4899040/peneliti-who-nyatakan-rokok-elektrik-95-lebih-aman-dari-rokok-biasa

M, A. D. dkk. (2011). Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghacuran Kretek. Jakarta Selatan:Kata-kata.

World Health Organization (WHO). (2019). GLOBAL YOUTH TOBACCO SURVEY. https://www.who.int/publications/m/item/2019-gyts-fact-sheet-indonesia.

Penulis: Bening Jagaddhita

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Review Djarum King: Rokok Ringan Teman Pekerja Kreatif

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version