Pemerintahan Prabowo memang baru seumur jagung. Tapi, sudah begitu banyak yang dia lakukan. Sebab, kelewat banyak PR yang harus diselesaikan olehnya. Dari banyaknya PR yang beliau harus selesaikan, persepsi rakyat terhadap bea cukai adalah salah satunya.
Coba lemparkan topik tentang bea cukai dalam tongkrongan, saya yakin banyak orang yang akan mengeluarkan statement negatif. Itu memang tak bisa dimungkiri lagi, sebab kelewat banyak atraksi negatif yang pegawainya lakukan selama ini.
Contoh kasus paling viral adalah ditahannya bantuan untuk SLB oleh Bea Cukai, dan ditagih ratusan juta. Kasus tersebut memantik emosi banyak orang, karena bantuan tersebut memang bukan sesuatu yang menimbulkan profit, tapi murni untuk membantu pendidikan para difabel. Orang Indonesia mudah tersentil emosinya, dan kasus ini, begitu sukses memantik emosi rakyat, tapi dengan cara yang–tentu saja–tidak menyenangkan.
Deretan kasus tersebut, akhirnya memantik banyak pertanyaan. Apakah badan ini masih bisa dipercaya? Jika bisa, apakah ada jaminan bahwa tahun depan tidak ada lagi kasus serupa?
Daftar Isi
Apa yang Bea Cukai lakukan akan memengaruhi citra Prabowo
Bea Cukai memang bekerja di bawah Kementerian Keuangan, tapi apa pun yang departemen tersebut lakukan, pasti akan berpengaruh pada citra Prabowo. Pemerintahan Prabowo dianggap sebagai Jokowi 2.0, alias hanya melanjutkan apa yang Jokowi lakukan. Ini positif jika konteksnya adalah meraup suara saat pilpres. Tapi saat menjalankan pemerintahan, justru itu tidak bisa dibilang bagus sama sekali.
Jika Prabowo tidak membenahi kekurangan-kekurangan di masa jabatan Jokowi, atau melampauinya, hal ini bisa jadi preseden buruk untuknya. Orang-orang akan membicarakan ini semua karena Jokowi, bukan Prabowo. Sebagai orang yang dikenal begitu memegang harga dirinya, tentu ini bukan hal yang menyenangkan untuknya.
Secara pribadi, salah satu yang bisa dilakukan Prabowo untuk go infinity and beyond Jokowi ya membenahi kinerja-kinerja departemen yang dianggap buruk. Salah satunya ya Bea Cukai. Badan ini memang bukan suatu badan yang akan dimonitor oleh rakyat 24/7, tapi karena sudah ada persepsi negatif, akan terjadi snowball effect jika Bea Cukai kembali melakukan atraksi negatif.
Memang, Bea Cukai bukanlah hal yang urgent, seperti memberantas kemiskinan, makan siang gratis, tapi tak ada salahnya Prabowo fokus pada hal ini juga. Toh, anak buahnya begitu banyak. Memastikan badan ini tidak membuat atraksi yang negatif harusnya tidak berat. Saya percaya bahwa tidak semua anak buah Prabowo itu seperti Miftah. Masih banyak yang kompeten dan tidak hobi bikin blunder.
Meningkatnya citra Bea Cukai, setidaknya menghilangkan sedikit beban yang ada di pundak Prabowo. Bebannya kelewat besar, dan menghilangkan satu demi satu adalah langkah bijak. Kalau makan siang gratis gagal, menurunkan angka kemiskinan gagal, setidaknya dalam pemerintahannya, Bea Cukai-nya nggak tolol-tolol amat.
Masalah di Bea Cukai kelewat kronis
Namun, memperbaiki citra Bea Cukai bukan perkara mudah. Data menunjukkan betapa sistemik dan kronisnya permasalahan di lembaga ini. Dalam Corruption Perception Index (CPI), Indonesia hanya mengalami stagnasi pada tahun 2023 dengan tahun sebelumnya, dan peringkatnya juga merosot dari 110 menjadi 115. Menempatkannya di peringkat 110 dari 180 negara.
Salah satu penyebab utama rendahnya skor ini ya karena korupsi yang terus terjadi di institusi pengumpul pendapatan negara, termasuk Bea Cukai. Hal ini diperkuat dengan adanya data riset Transparency International Indonesia (TII) yang menyebutkan tiga instansi paling korup. Pertama Bea Cukai (62 persen), kedua kepolisian (56 persen), dan ketiga TNI (46 persen). Jadi dapat disimpulkan bahwa lembaga dengan potensi korupsi terbesar di Indonesia adalah Bea Cukai.
Fenomena ini ditunjukkan dengan beragam kasus penyelewengan terbaru. Ditemukan kasus suap yang melibatkan pejabat senior Bea Cukai Riau pada 2023, pejabat tersebut ditangkap karena memfasilitasi impor ilegal barang mewah.
Korupsi seperti ini nggak hanya merugikan negara tetapi juga menciptakan ketidakadilan, di mana pelaku bisnis yang patuh terpaksa menghadapi proses yang lebih lambat dan mahal. Bahkan di Pelabuhan Tanjung Priok, waktu rata-rata customs clearance mencapai 6,4 hari, jauh lebih lama dibandingkan standar 1,5 hari di pelabuhan utama Asia Tenggara lainnya, akibat praktik korupsi seperti permintaan suap.
Korupsi yang struktural
Korupsi di Bea Cukai juga menunjukkan bias struktural. Kasus Ari Askhara pada 2019, yang terlibat dalam penyelundupan sepeda mewah melalui Garuda Indonesia, mengungkapkan bagaimana pejabat Bea Cukai memberikan perlakuan khusus kepada individu dengan kekuatan politik. Hasilnya, pungutan bea masuk senilai Rp532 juta berhasil dihindari, menunjukkan bagaimana hukum di Indonesia diterapkan secara selektif.
Langkah reformasi digitalisasi seperti TradeNet memang sudah diterapkan, namun belum maksimal jika dibandingkan dengan lembaga negara lainnya di bawah naungan Kemenkeu. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa nilai kinerja pelayanan-Indeks Kinerja Pelayanan (Service Performance Index), Bea dan Cukai menduduki peringkat 3 terbawah dengan nilai 3,93 diatas Lembaga Peradilan (3,67) dan Polisi (3,79). Sehingga, bea cukai masih memiliki kinerja pelayanan yang buruk jika dibandingkan lembaga negara lainnya.
Intervensi politik tak membantu sama sekali
Selain itu, intervensi politik juga makin memperburuk keadaan. Sebuah studi dari Indonesia (Jesaja dan Setiawan, 2022) menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia disebabkan oleh sikap tamak aparatur negaranya. Ketika diberikan jabatan yang tinggi dan memiliki jaringan politik yang kuat, memberikan potensi besar kasus korupsi dalam Bea Cukai.
Kasus korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu namun membentuk kelompok yang saling melindungi pejabat Bea Cukai (Winurini, 2017), korupsi menjadi terinstitusionalisasi dan semakin sulit diberantas.
Untuk memutus siklus korupsi ini ya Indonesia membutuhkan reformasi peradilan dan politik yang memastikan kemandirian Bea Cukai dari pengaruh politik. Menegakkan hukum terhadap tokoh berpengaruh akan menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum, dan ini akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Agar reformasi jangka panjang berhasil, Maka Kementerian PAN-RB menunjukkan pentingnya rekrutmen aparatur negara yang berkualitas, termasuk pada rekrutmen pada aparatur bea dan cukai. Pegawai harus memegang standar etika yang tinggi. Setiap bentuk korupsi harus diberi hukuman yang tegas dan cepat.
Langkah yang lebih substansial
Untuk mengubah ini, Prabowo perlu menekankan reformasi yang lebih substansial. Digitalisasi penuh, penguatan mekanisme pengawasan, serta perlindungan untuk pelapor adalah langkah yang tak bisa ditawar.
Pelajaran bisa diambil dari Singapura, yang memanfaatkan blockchain untuk menciptakan sistem pelacakan barang yang transparan dan tidak manipulatif. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar, termasuk mereka yang memiliki kekuatan politik, dapat menciptakan efek jera.
Memperbaiki Bea Cukai tidak hanya akan meningkatkan citra lembaga ini, tetapi juga memperkuat fondasi pemerintahan Prabowo. Jika korupsi dapat ditekan, tidak hanya pendapatan negara yang meningkat, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang lebih transparan, dan tegas.
Penulis: Filda Kamila
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pejabat Bea Cukai Yogyakarta Viral Pamer Kekayaan, Cederai Tingginya Angka Kemiskinan