Membedah Budaya Bunuh Diri di Jepang yang Merugikan Orang Lain

Budaya Bunuh Diri di Jepang yang Merugikan Orang Lain terminal mojok

Bunuh diri jadi budaya? Apa boleh buat, memang kenyataannya seperti itu di Jepang. Pada tahun 2019, tingkat bunuh diri tertinggi di Asia diduduki oleh Korea Selatan dengan angka 28,6 dan disusul Jepang dengan15,3 per 100.000 orang. Meski bukan tertinggi di Asia, pada tahun 2020 ada 21.077 kasus bunuh diri di Jepang, dengan jumlah 14.052 laki-laki dan 7.025 perempuan. Justru melebihi orang yang meninggal karena Covid-19.

Nggak hanya orang Jepang, ada juga kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa asing Indonesia pada tahun 2015 dengan melompat dari gedung tinggi di Osaka. Baru-baru ini juga ada kasus bunuh diri guru asal Inggris di Shinagawa.

Lantas, apakah bunuh diri sudah sangat biasa di Jepang?

Bunuh diri pada zaman modern

Saya sendiri nggak pernah melihat persis kejadian bunuh diri di Jepang selama merantau di sana. Namun, saya turut merasakan dampaknya karena orang bunuh diri yang melompat ke lintasan kereta membuat kereta terpaksa berhenti lalu datang terlambat. Kejadian seperti ini sering terjadi terutama di kota-kota besar, bahkan ada 601 kasus pada tahun 2018. Itu artinya dalam sehari ada seorang bunuh diri dengan melompat ke lintasan kereta. Ngeri, ya?

Di Jepang yang sangat menghargai waktu, tentunya keterlambatan sangat nggak bisa ditolerir. Pada tahun 2007, perusahaan kereta pernah menuntut keluarga orang yang bunuh diri untuk membayar kerugian sebanyak 7,2 yen (sekitar 930 juta rupiah). Namun, hal ini memunculkan perdebatan. Meski berakhir di pengadilan, keluarga korban (atau pelaku, ya?) nggak diharuskan membayar kerugian tersebut. 

Padahal kerugian tersebut tak sebanding dengan pengorbanan petugas rel yang harus membersihkan sisa-sisa tubuh dan bau anyir di sekitar rel TKP. Menurut pengakuan mantan petugas rel, ia sampai tak bisa makan daging selama beberapa hari, lho. Belum lagi kerugian psikis yang diderita masinis saat keretanya menabrak orang yang bunuh diri tersebut. Duh, beneran nggak kebayang, ya. 

Bunuh diri saja merugikan orang lain, kata warganet Jepang. Entah di pagi, siang, atau malam hari, bunuh diri dengan lompat ke lintasan kereta itu memang sangat mengganggu orang lain. Bisa terlambat masuk kerja atau saat malam hari ketika orang pulang dari kantor dan sudah capek tapi harus terpaksa menunggu kereta terlambat itu benar-benar sangat menyebalkan.

Ada musim bunuh diri

Katanya awal musim semi adalah waktu di mana banyak orang bunuh diri, karenanya disebut musim bunuh diri. Akhir Maret sampai awal April memang waktu tahun ajaran baru, awal masuk kerja bagi karyawan baru, dan ganti buku bagi perusahaan di Jepang. 

Siswa yang gagal ujian dan depresi bisa saja melakukan bunuh diri. Pada tahun 2020, sebanyak 15 anak SD, 145 anak SMP, dan 338 anak SMA melakukan bunuh diri. Meski nggak disebutkan alasannya, bisa jadi bullying dan malu karena gagal ujian menjadi penyebabnya.

Mahasiswa yang lulus kuliah dan gagal mencari pekerjaan juga termasuk yang berisiko tinggi bunuh diri di Jepang. Tingkat persaingan yang sangat tinggi juga menyebabkan mereka harus berjuang sangat keras. Lihat saja teman-teman Jerome Polin, si Waseda Boys, di tahun akhir kuliah mereka harus bersiap-siap mencari pekerjaan. Mereka juga belajar mengerjakan soal ujian dan latihan wawancara.

Di Jepang, mahasiswa tahun akhir bisa mendapat pekerjaan sebelum upacara wisuda. Kalau gagal, mereka terpaksa harus bekerja part time untuk bertahan hidup sembari mencari pekerjaan lagi. Bagi anak muda Jepang, hal ini cukup memalukan dan bisa saja membuat depresi.

Tutup buku bagi perusahaan juga menjadi momen penting. Kalau rugi, perusahaan bisa saja mem-PHK atau merotasi karyawannya untuk dipindah tugaskan ke tempat lain. Kalau menolak berarti siap dipecat, tetapi kalau setuju terpaksa harus LDM dengan keluarga. Pusing, ya?

Meski sebenarnya nggak patut disebut musim bunuh diri, momen seperti di atas memang sangat bikin frustasi orang Jepang. Tetapi, pada tahun 2020 kasus bunuh diri terbanyak justru terjadi pada bulan Oktober dengan 2230 kematian.

Sejarah bunuh diri

Kalau melihat sejarah budaya bunuh diri di Jepang, tentunya kita akan ingat istilah harakiri atau seppuku (merobek perut). Seppuku ini dilakukan samurai karena gagal menjalankan tugas dan kesetiaan kepada tuannya. Bertanggung jawab hingga titik darah terakhir adalah semangat bushido yang dimiliki samurai zaman dulu. 

Ada juga sastrawan Jepang terkenal yang bunuh diri, seperti Kawabata Yasunari dan Yukio Mishima. Yang paling fenomenal tentu saja aksi bunuh diri pasukan Kamikaze dan Ningen Gyorai pada Perang Dunia II. Kamikaze adalah pasukan berani mati milik pasukan udara Jepang dengan menabrakkan pesawatnya, sedangkan Ningen Gyorai adalah pasukan angkatan laut yang menaiki torpedo dan tewas saat torpedonya menabrak sasaran. Ada juga prajurit dan rakyat Okinawa bunuh diri massal saat tahu pasukan Amerika Serikat sudah mendarat di tanahnya. Bunuh diri saat perang bisa berarti menunjukkan kesetiaan pada Kaisar/negara.

Meski fiksi, pada tahun 2000 juga ada film yang mengangkat kisah bunuh diri berkelompok, yaitu film Suicide Club

Hutan Aokigahara di Yamanashi juga sangat erat dikaitkan dengan tempat populer untuk bunuh diri di Jepang. Hutan ini sendiri memiliki sejarah yang sangat kelam dengan banyaknya orang yang bunuh diri sejak dulu. Membuang orang tua agar meninggal perlahan di hutan sunyi ini juga dilakukan demi bertahan hidup keluarga karena terbatasnya makanan. Ini disebut ubasuteyama dan sangat umum dilakukan di Korea dan Jepang zaman dulu. Kisah ini sungguh memilukan.

Logan Paul, YouTuber Amerika, sempat dikecam karena merekam beberapa jenazah yang ia temukan di hutan itu. Meski ada tulisan anjuran untuk nggak bunuh diri di pintu masuk hutan, tetap saja banyak orang bunuh diri di sana. “Nyawa adalah pemberian dari orang tua. Mari kita pikirkan orang tua, saudara, atau anak kita sekali lagi. Jangan menanggung derita sendiri, bicarakanlah!”

Zaman sekarang, penyebab bunuh diri antara lain galau akan masa depan, menganggur, utang, sakit, bully, dan kesepian. Bunuh diri karena beban pekerjaan yang terlalu berat juga menjadi hal biasa di Jepang. Tekanan hidup bisa membuat orang depresi dan berkeinginan bunuh diri. Mereka bahkan berpikir kalau “lebih baik menghilang dan mati”.

Pemerintah Jepang sendiri sudah sangat berusaha keras menanggulangi kasus bunuh diri dengan membuka saluran khusus untuk konsultasi masalah yang dihadapi warganya. Di stasiun juga banyak ditempel poster tentang konseling seandainya ada masalah dengan sekolah, pekerjaan, rumah tangga, dll. Namun, tetap saja kasus bunuh diri di Jepang masih tinggi.

Seandainya kamu mengalami kesulitan, bicarakanlah dengan teman, keluarga, atau orang yang kamu sukai. Nggak usah malu dan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog karena mereka ahlinya.

BACA JUGA Kalau Kamu Pengin Tinggal di Jepang, Jangan Kaget dengan 6 Hal Ini dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version