Young Lex berulah lagi. Sempat tak terdengar dalam beberapa waktu, terutama soal kontroversi-kontroversi, kini dia muncul ke panggung adu bacot antarnetizen. Semua pasti sudah tahu lah ya masalahnya apa. Sebagai seorang yang awalnya biasa saja melihat kelakuan Young Lex, bahkan di kontroversi-kontroversi terdahulunya sekalipun, kini mulai sedikit timbul rasa kecewa. Kok bisa-bisanya memplagiasi karya orang lain, hampir plek ser meneh, berhubungan dengan K-Pop pula. Lex, Lex.
Dalam kontroversinya kali ini, mata saya perlahan sedikit terbuka. Bukan soal masalah plagiasi atau cercaan yang diterima oleh Young Lex. Melainkan saya jadi membayangkan tantangan yang besar bagi kita dalam hal mengapresiasi produk dalam negeri dan benci produk luar negeri terutama jika itu terjadi di dalam konteks entertainment. Hah, kok bisa? Apa hubungannya dah? Jangan ngadi-ngadi dong.
Sabar, saya jelaskan dulu.
Begini, beberapa waktu Presiden kita lagi-lagi memberikan pidatonya yang bisa dibilang ramai lah, kalo tidak bisa dibilang kontroversial, hehehe. Dalam pidatonya yang aslinya membahas soal isu-isu perdagangan, beliau menyampaikan sebuah kalimat yang membuat netizen terpecah. Ada yang mendukung dan tidak sedikit juga yang mengernyitkan dahi setelah mendengar kalimat Presiden kita ini.
Beliau menyampaikan dalam satu potongan pidato kalau tidak salah ya, “Cintai produk dalam negeri, benci produk luar negeri”
Silahkan ribut soal kebenaran pernyataan atau imbauan atau perintah Presiden yang satu ini. Saya tidak mau menambah keruwetan dalam diskusi benar salahnya, tetapi lebih kepada merefleksikan pernyataan Presiden tersebut dengan kejadian yang akhir-akhir ini terjadi. Lebih-lebih jika menautkannya kepada industri hiburan sekarang ini.
Pertanyaan saya cuman satu, serius nih mau benci produk luar negeri dalam kondisi sekarang ini?
Dalam kasus Young Lex ini saja lah, ada berapa sih fans K-Pop yang mencerca karya “Raja Terakhir” ini. Ratusan, ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu? Saya tak tahu jumlah pastinya tapi yang jelas jumlah dari fans K-Pop ini kalau dibandingkan dengan alumni 212, yang berjuta-juta itu, saya yakin setara kok. Kadar militansinya pun barangkali juga sekuat mereka. Dan pasti kita sama-sama tahu dong kalau sudah semasif itu, untuk mengubahnya, tak segampang membalik telapak tangan bukan.
Maksud saya begini, iya saya tahu maksud Presiden agar kita tak melulu mengonsumsi produk-produk dari luar negeri. Tapi, masalahnya adalah produk-produk luar negeri telanjur mendarah daging dalam kehidupan bangsa ini. Yah kalau sekarang ya budaya Korea ini. Kita sudah terpapar setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kurang lebih. Lagu-lagunya, dramanya, boyband-girlband-nya sampai makanan-makanannya sudah kita konsumsi bahkan sudah jadi kebiasaan sehari-hari kita. Tak ada satu hari yang dilewati tanpa pernah mendapat paparan dari kebudayaan Korea ini. Kasarannya begitu.
Bayangkan, lalu tiba-tiba Presiden dengan kuasanya memerintahkan fans K-Pop ini memindahkan haluan kecintaan mereka pada produk lokal. Kecintaan yang telah mereka tanam dan pupuk selama bertahun-tahun terpaksa mereka cabut dan ganti dengan produk lokal. Padahal kualitas produk lokal yang kita dapatkan, mohon maaf tidak bermaksud merendahkan beliau, setara Young Lex (dan timnya) yang bikin karya modal plagiat. Apa gak mencak-mencak pada akhirnya. Dari cinta mas Lay jadi cinta mas Lex bayangkan, yakin situ kuat nahan beban perasaan yang begitu amat berat.
Iya saya tahu, produk lokal kita kualitasnya tidak semuanya sama dengan Young Lex, ada yang bagus juga, yang lebih bagus jauh lebih banyak. Tapi, maksud saya apakah kita lantas “membenci” produk dari luar negeri begitu saja. Padahal kita sendiri tahu dalam ranah entertainment, music, pop culture, film, kita selalu saja berkiblat pada luar negeri loh. Dalam karya apapun, kita sedikit banyak terinspirasi dari luar negeri. Sebagus-bagusnya lagu “Lathi” itu instrument jedag-jedugnya kan ambil dari EDM luar. Sefenomenal-fenomenalnya film Gundala kan juga ambil inspirasi dari Marvel Cinematic Universe juga. Seenak-enaknya mi pedes berlevel-level pun juga ambil dari luar negeri bukan.
Maka dari itu, sekali lagi saya tekankan untuk tidak menambah beban pemerintah, hanya berniat urun pendapat saya saja mengenai ini. Kata membenci produk luar negeri ini semestinya dikaji ulang oleh Presiden (atau yang buatin teks pidato beliau). Kalo membuat pernyataan mbok ya jangan ngadi-ngadi begitu. Kasian rakyat, sudah kesulitan di masa pandemi begini, janganlah ditambah kesulitan-kesulitan lain sampai harus membenci produk luar negeri.
Lantas apa sekiranya solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pembencian produk luar negeri ini?
Tidak ada solusi yang saya tawarkan untuk benar-benar mengatasinya. Saya siapa, orang kecil tak terpandang dan tidak ingin dipandang ini begini kok nawarin solusi. Tapi, saya pernah mendengar dari beberapa orang, entah siapa saya lupa tepatnya, kalau kita bisa saja untuk berkolaborasi dalam menyikapi produk luar negeri. Alih-alih membencinya secara blak-blakan, kita ambil saja apa-apa yang baik darinya lalu kita implementasikan ke produk kita. Gampangnya sih ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). Jangan seperti Young Lex (dan timnya) yang hanya memplagiasi dari karya orang lain, tanpa izin pula.
Lalu sambil kita ambil apa-apa yang baik dari mereka, kita tingkatkan kualitas produk lokal kita. Kita tidak akan pernah sampai ke kata mencintai, kalau kualitasnya masih di bawah rata-rata produk luar negeri. Jangankan mencintai, kualitasnya saja jelek begitu, mana mau memakainya. Kurang lebih begitu ucapan Pandji Pragiwaksono dalam satu judul video YouTube-nya.
Saya yakin bahwa ajakan benci produk luar negeri itu nggak bisa dan boleh dimaknai secara literal. Tapi, meski kontekstual pun, kita harus ngaca juga. Sebelum melarang sesuatu, kasih dulu alternatifnya. Gitu.
BACA JUGA Pak Jokowi Ajak Benci Produk Luar Negeri dan Rakyat Menunggu Giveaway Gucci dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.