Memanfaatkan Empati Publik, Menjadi Pengemis (Kapitalis) Gaya Baru

Memanfaatkan Empati Publik, Menjadi Pengemis (Kapitalis) Gaya Baru

Kitabisa.com pada awalnya adalah platform yang sangat berguna untuk membangkitkan empati masyarakat untuk peduli pada sesamanya. Ia digunakan untuk menggalang dana secara online untuk kalangan masyarakat yang terkena musibah. Namun makin ke sini penyalahgunaannya semakin terlihat memunculkan pengemis jenis baru, pengemis digital.

Saat ini banyak sekali masyarakat yang mulai menggunakan kitabisa.com sebagai solusi untuk mendapatkan uang dengan cara menjual kisah sedih. Hal ini sah-sah saja jika itu memang benar terjadi. Namun ada juga oknum yang memanfaatkannya untuk memudahkan kehidupan mereka seperti biaya pernikahan, melunasi cicilan motor, atau bahkan mendapatkan keuntungan pribadi.

Dulunya saya mengira hanya selebritis yang bisa mendapatkan sumbangan biaya nikah sponsor untuk pernikahannya. Kini seiring berjalannya waktu banyak sekali yang mulai menggunakan platform digital untuk penggalangan dana. Seperti halnya pasangan yang menggunakan platform Kita Bisa untuk penggalangan dana biaya menikah.

Tidak main-main yang diminta oleh pasangan ini adalah biaya pernikahan sejumlah 200 juta rupiah. Ini sih bukan karena tidak mampu tapi hanya ingin pesta meriah tanpa harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Rupanya mereka terinspirasi dari para selebritis yang menggalang dana menggunakan sponsor hingga ditayangi live di televisi. Tampaknya masyarakat mulai sadar dan mulai mencoba peruntungan untuk mengumpulkan dana lewat cara ini.

Ada juga yang menggunakan platform ini untuk melunasi cicilan motornya yang seketika menjadi viral. Meskipun orang mampu dan mengaku masih sehat, pria bernama Yono ini dengan isengnya menggunakan platform ini untuk meminta dana sumbangan motor. Bukannya sumbangan yang didapat namun sumpah serapah netizen +62 yang didapatkannya.

Baik Yono maupun pasangan yang menggalang dana nikah itu tidak berhasil mengumpulkan rupiah yang cukup. Mungkin Yono hanya iseng saja, tapi pasangan yang mengumpulkan dana nikah itu lebih serius. Sialnya sampai tiga bulan mereka hanya berhasil mengumpulkan 300 ribu rupiah. Mereka sebaiknya belajar dari Cak Budi yang berawal lewat kitabisa.com akhirnya berhasil mendirikan Yayasan Suisba Peduli. Tentu saja bukan untuk keuntungan pribadi.

Cak Budi yang viral di tahun 2017 itu berhasil mengumpulkan 1,2 miliyar rupiah, 560 juta masuk rekening pribadi, dan 700 juta masuk rekening kitabisa. Namun saat itu ia viral bukan karena prestasinya. Tapi, karena Cak Budi ini membeli mobil Fortuner dan iPhone 7 lewat uang hasil penggalangan dana untuk membangun rumah sanggah yang akan digunakan untuk para lansia. Ia adalah salah satu dari sekian banyak oknum yang dianggap menyalahgunakan platform ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Setelah diserang oleh berbagai pihak yang menganggapnya menyalahgunakan hasil sumbangan tersebut, ia kemudian mengklarifikasikan bahwa mobil Fortuner itu ia beli guna memudahkan dirinya untuk menjangkau wilayah pedalaman dan iPhone 7 ia tukar tambah dengan hanphone pribadinya untuk memudahkan ia mengambil foto dan video untuk kegiatan sosialnya. Waktu itu ia mengatakan lewat akun Instagram pribadinya @cakbudi_ bahwa duit hasil penggalangan dananya bukan disalahgunakan hanya belum disalurkan.

Tidak lama setelah itu Cak Budi yang terus tertekan akhirnya menjual mobil fortuner itu dan menyalurkan bantuan sebesar 1,7 miliar seperti yang ia tawarkan. Saat ini Cak Budi telah terbukti sukses membantu para lansia. Lewat akun Instagram-nya @cakbudi_official dan akun Youtube-nya cakbudiofficial ia kerap membagikan kegiatannya. Namun tidak lagi viral seperti saat ia dituduh menyalahgunakan dana tersebut. Manusia memang lebih senang membicarakan keburukan orang daripada kebaikannya.

Terlepas dari apa yang Cak Budi lakukan, kemunculan platform crowdfunding telah banyak memproduksi pengemis jenis baru, pengemis digital. Karena apa yang dilakukan oleh mereka banyak yang kesal dengan platform crowdfunding  Hal ini diakibatkan platform ini mewadahi munculnya berbagai penggalangan dana yang oleh beberapa oknum dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hal ini tentu saja membuat resah masyarakat.

Pemanfaatan empati publik untuk keuntungan tentu saja bukan hal baru. Telah banyak acara televisi berbentuk reality show yang memanfaat empati publik untuk menaikkan ratting, Sebagai contoh kontes menyanyi yang dibalut dengan kesengsaraan masyarakat miskin yang terlilit hutung menjadi salah satu acara paling digemari. Acara reality show (ini beneran nggak sih?) yang ditayangkan di stasiun televisi, telah sukses dalam menjual penderitaan masyarakat miskin.

Acara ini sukses mengumpulkan begitu banyak sponsor dengan menjual cerita sedih rakyat miskin yang terlilit hutang untuk menyanyi demi melunasi hutang mereka. Acara yang dikemas dengan memadukan kompetisi menyanyi dan kisah-kisah pilu orang-orang terlilit hutang sukses mengundang empati massa. Sebagai sarat untuk melunasi hutang para peserta diharuskan menyanyikan sebuah lagu yang akan dikomentari oleh ketiga juri. Dua juri inti dan satu juri tamu.

Sebelum tampil biasanya profil para peserta ditampilkan dalam sebuah layar di belakang panggung. Beragam masalah peserta, kerasnya hidup, hingga berbagai cerita menyayat hati ditampilkan. Ditambah dengan host yang pandai memberikan tekanan dalam kata-kata agar terkesan dramatis. Belum lagi laku fisik dan mimik wajah yang meyakinkan.

Setelah profil ditampilkan, peserta menyanyikan lagu yang akan dinilai oleh juri. Di babak ini peserta terbaik pilihan juri akan maju ke babak bonus. Dan buat peserta yang gagal akan diberikan uang sejumlah dua juta rupiah, sementara utang mereka umumnya jauh di atas itu. Hal ini semakin menarik rasa iba penonton sehingga menjadi acara dengan rating tinggi yang kemudian menarik berbagai sponsor.

Acara-acara reality show (serius ini beneran nggak sih?) seperti ini memang mahir menghubungkan sinopsis antar neuron di bagian otak yang bertanggung jawab dalam memproses empati dengan menggunakan narasi yang hebat. Seperti yang diungkapkan oleh Harari dalam bukunya 21 Lessons for 21st Century bahwa manusia tidak berfikir berdasarkan fakta, angka, ataupun persamaan seperti dalam rumus-rumus matematika namun dengan narasi. Narasi yang baik ketika diceritakan berulang-ulang kemudian dikemas dengan branding yang menarik akan berubah menjadi kebenaran.

Sebagai contoh Coca-cola yang menjadi sponsor untuk acara olahraga di mana sering sekali muncul dalam iklan acara olahraga membuatnya sering disalahtafsirkan sebagai minuman sehat. Padahal meminum Coca-cola justru akan membuat kita overweight hingga menderita diabetes. Hanya karena yang menjadi model iklan adalah atlit muda dan sehat, ganteng dan cantik maka yang tertananam dalam pikiran penonton seolah-olah Coca-cola adalah minuman sehat.

Dengan cara kerja yang sama empati yang merupakan sifat alami manusia, dimanipulasi oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan. Uang hadiah atau sumbangan yang didapat oleh orang-orang miskin atau menderita ini tidak akan pernah sebanding dengan yang diterima pemilik acara. Kemiskinan dan kisah-kisah pilu memang sangat laku sangat laku untuk meningkatkan rating acara televisi. Tidak ada dagangan yang lebih baik dari kemiskinan dan kisah-kisah pilu penderitanya.

Nilai keuntungan dari sponsor tidak akan pernah sebanding dengan khas yang masuk ke kantong para pelaku. Seorang yang menjual kemiskinan sebagai barang dagangannya tidak ada bedanya politisi yang menyembunyikan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat.

BACA JUGA Alasan Para Pengemis Online, Kadang Memang Nggak Masuk Akal! atau tulisan Aliurridha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version