Memahami Kenapa Emak-emak Sein Kiri Beloknya Ke Kanan atau Sein Kiri Tapi Nggak Belok-belok

Memahami Kenapa Emak-Emak Sen Kiri, Beloknya Ke Kanan atau Sen Kiri Tapi Nggak Belok-belok

Memahami Kenapa Emak-Emak Sen Kiri, Beloknya Ke Kanan atau Sen Kiri Tapi Nggak Belok-belok

Beberapa waktu yang lalu, saya nonton video yang beredar di beranda Facebook, berisi penjelasan seorang pakar tentang perbedaan otak laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada kebiasaan sehari-hari. Salah satu yang beliau jadikan contoh adalah perempuan itu otak kiri dan otak kanannya tersambung yang membuat perempuan bisa multitasking. Artinya, bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. Namun konsekuensinya, jadi kurang sinkron antara tangan dan mulut. Suka nunjuknya ke kiri tapi mulut bilang kanan. Efek sampingnya, banyak emak-emak yang naik motor suka pasang sein kiri tapi beloknya ke kanan. Ada yang nemu begitu di jalan? Atau malah jadi pelakunya? Hehehe.

Video tersebut sangat informatif. Saya suka penjelasan beliau yang mudah dicerna emak-emak awam seperti saya. Apa yang beliau sampaikan menjadi ilmu yang berguna dalam memperbaiki komunikasi yang suka ‘miss’ di antara laki-laki dan perempuan.

Tulisan saya kali ini sebenarnya lebih menyoroti bab sein-kiri-belok-kanan yang beliau jadikan contoh di video itu. Bukan rahasia lagi kalau fenomena emak-emak yang pasang sein kiri beloknya ke kanan sudah menjadi sesuatu yang hampir selalu kita jumpai di jalanan. Tak hanya sein kiri belok kanan. Banyak juga yang pasang sein kiri atau sein kanan tapi gak belok-belok. Lempeng aja jalannya. Yang ada, pengendara di belakangnya dibuat ragu kalau mau mendahului. Kuatir kalau pas nyalip, eh si emak belok. Bisa bertubrukan kita, jadi panjang deh urusannya hahaha. (Padahal aku pun emak-emak, hahaha)

Saya pertama kali bisa nyetir mobil itu sekitar kelas 2 SMP. Ayah saya, Allahu yarham, yang mengajari saya. Dengan tubuh yang termasuk mungil dan tak berkaki jenjang, saya ‘dipaksa’ belajar nyetir memakai sedan corona2000 warna hijau yang panjang injakan koplingnya. Walau kursi pengemudi sudah dimajukan supaya kaki bisa nyampe untuk injak kopling, tetap saja saya kesulitan karena saya harus menjulurkan kepala saya agar bisa melihat jalan di depan. Benar-benar perjuangan untuk bisa nyetir saat itu. Belum lagi gaya ayah saya yang galak dalam mengajari. Ma sya Allah, papa terima kasih banyak sudah memberi pelajaran yang tegas tapi bermanfaat sekali di masa depan.

Satu hal yang saya ingat saat kami sedang tidak di sesi latihan nyetir, ayah saya mengajarkan sedikit peraturan dalam berlalu lintas. Salah satunya tentang lampu sein. Beliau memulai dengan mengajukan pertanyaan, “Apa artinya lampu sein kanan menyala?”

Saya jawab, “Artinya yang nyetir mau belok kanan, pa.”

Eh, jawaban saya disalahin beliau.

Kata beliau, lampu sein bila dinyalakan artinya dilarang mendahului dari sisi lampu yang sedang menyala. Kalau yang nyala sein kanan, artinya jangan mendahului dari sisi kanan. Demikian pula sebaliknya, sein kiri artinya dilarang mendahului dari sisi kiri. Lampu sein itu tidak selalu pengendaranya mau belok, kata beliau.

Informasi itu sudah tertanam di kepala saya sejak SMP. Jadi ketika kemudian saya bisa nyetir dan kendaraan di depan saya sedang menyala lampu seinnya, itu saya anggap sebagai informasi dari pengemudi di depan saya kepada saya agar tak mendahului kendaraannya dari sisi sein yang nyala.

Selama saya mengarungi jalur pantura (beuh mengarungi, hahaha), prosedur penyalaan sein ini saya amati merupakan bentuk komunikasi antar pengemudi yang sangat efektif di jalan raya. Sopir-sopir truk atau kendaraan lain yang biasa di jalan lintas provinsi selalu tahu jika kendaraan di belakangnya akan mendahului mobilnya, maka si sopir ini akan menyampaikan kondisi aman bagi pengemudi di belakangnya untuk mendahului ya dari lampu sein ini.

Misalkan saya mau mendahului sebuah truk yang berjalan lambat, terkadang pandangan saya terhalang bodi truk. Saya beri isyarat mengedipkan lampu dim, maka sopir depan saya akan bereaksi. Jika jalur berlawanan aman untuk saya lalui, maka dia akan meminggirkan sedikit kendaraannya agar saya bisa lewat. Tapi jika dari arah berlawanan ternyata ramai rombongan kendaraan, maka sopir depan saya akan menyalakan lampu sein kanan. Saya lalu membaca informasi lampu sein itu sebagai kalimat seperti ini: jangan nyalip dulu, jalur depan masih ramai. Maka saya akan menunggu sampai berapa lama lampu sein itu menyala. Begitu lampu sein dimatikan, itu saya anggap sebagai kode aman untuk bisa segera mendahului truk itu. Saya pun akan bersikap seperti itu jika mendapati kendaraan di belakang saya hendak mendahului saya. Saya merasa punya tanggung jawab memastikan pengemudi belakang saya bisa mendahului dengan aman.

Jadi lampu sein itu bukan hal sepele, ya, ibu-ibu. Fungsinya penting sekali di jalan. Itu alat komunikasi antar pengemudi. Terus terang saya mendadak mati gaya kalau nyetir motor di belakang sesama emak yang lampu seinnya berkedip nyala sepanjang perjalanan. Mau nyalip, ragu. Takut mendadak belok. Ga didahului kok jalan saya jadi terhambat. Serba salah jadinya. Solusinya, biasanya saya bunyikan klakson pendek untuk membuat dia sadar ada pengemudi di belakangnya. Biasanya motornya sih agak dipinggirin jalannya, tapi seinnya tetep aja nyala, hahaha. Hadeuuh, maaak.

Kembali ke bahasan pakar soal perbedaan laki-laki dan perempuan di awal tulisan tadi, pakar yang menjadi nara sumber itu menyebutkan bahwa kelemahan perempuan ini memang jamak terjadi. Termasuk dalam hal membaca peta. Perempuan termasuk payah membaca peta, menurut ilmu yang beliau sampaikan. Di satu sisi, hal ini menunjukkan inilah ciri khas perempuan. Kalau kita seperti itu, sein kiri tapi beloknya ke kanan, atau susah baca peta, berarti kita perempuan banget. Hanya 8% perempuan yang tidak seperti itu, kata beliau. Itu karena tomboi atau BIASA, lanjut beliau lagi. Hmmm…sepertinya saya masuk yang 8%, nih. Sok kepedean, hahaha..

Kata BIASA sengaja saya ketik dengan huruf besar agar jadi fokus kita kali ini. Mengapa saya kasih huruf besar? Supaya kita memikirkan makna kata ini lebih dalam lagi.

Ketika disebutkan bahwa yang bisa berbeda dengan perempuan kebanyakan adalah karena dia terBIASA, saya memahaminya sebagai sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan oleh perempuan mana pun di dunia ini. Bukan sesuatu yang mustahil dilakukan. Bukan pula hal yang sulit. Syaratnya cuma satu. Harus dibiasakan. Kudu dilatih. Mak, jangan berpuas diri di bagian “wah, kita mah perempuan banget”. Jangan, ya, mak. Kita bisa, kok, mengubah hal yang tadinya adalah kondisi tipikal perempuan menjadi kebiasaan yang lebih baik. Soal sein itu bukan hal yang remeh di jalan raya. Keselamatan kita dan orang lain jadi taruhannya, loh. Berapa banyak kejadian kecelakaan disebabkan dari kesalahpahaman soal sein? Apa kita sebagai perempuan rela terus-terusan jadi bahan ledekan netijen?

“Kalo loe ketemu emak-emak sein kiri beloknya ke kanan, kelar hidup loe!”

Sering nemu kalimat begini?

Saya kok baca kalimat guyon seperti itu gak ridho, ya? Mosok kita emak-emak ini terus distigmakan sebagai penguasa jalanan yang tak paham berlalu lintas? Sudah ga paham lalu lintas, diingetin malah ngamuk. Kesannya begitu, kan? Jangan mau atuh, mak!

Terus caranya gimana supaya gak begitu lagi?

Dibiasakan, mak.

Pertama, fokus. Konsentrasi. Bekerja fokus itu bukan monopoli kaum pria saja. Kita perempuan, terutama emak-emak, juga bisa fokus, koq.

Kedua, kalau pas nyalain lampu sein, jari jempol kiri usahakan selalu nempel di tombol sein. Sehingga pas kita sudah belok, jempol kiri langsung tekan tombol untuk matikan sein. Ingat, ya, mak. Fokus. Konsentrasi.

Ketiga, sesekali matanya lihat speedometer, supaya kita tahu pas sein kita masih nyala langsung bisa dimatikan.

Gampang, kan?

Jika sesekali masih kelupaan, gak apa-apa, mak. Saya pun kadang lupa juga. Begitu mata lihat speedometer terus lampu sein ternyata masih nyala, buru-buru saya matikan. Biasanya itu terjadi kalau saya kurang fokus atau terburu-buru ingin cepat sampai tujuan. Tapi itu jarang. Karena setelahnya saya langsung awas di setiap momen abis nyalain sein.

Bisa ya, emak-emak?

Jangan berhenti di stigma emak-emak sein kiri belok kanan. Ayo diubah stigmanya. Tunjukkan bahwa kita perempuan bisa menjadi pengemudi yang bertanggung jawab di jalanan.

BACA JUGA Untuk Perempuan Berjilbab Besar yang Bonceng Sepeda Motor: Lampu Sein Belakang Itu Bukan Aurat, Jadi Tak Perlu Ditutupi atau tulisan Eky C. Pusparini lainnya. Follow Facebook Eky C. Pusparini.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version