Bulan Maret-April yang biasanya musim panen juga menjadi musim hajatan. Ini berlaku di Tegal dan beberapa daerah lain. Entah khitanan atau pernikahan, kerap diadakan di bulan-bulan ini. Dan ada stigma pada orang Jawa, khususnya yang tinggal di desa, pesta pernikahan bisa berlangsung berhari-hari.
Waktu saya kuliah, kadang teman-teman menanyakan, “Di sana kalo nikah ribet yah sampai berhari-hari?” atau “Aduh, nggak kebayang kalo tinggal di sana, tiga hari dong hajatannya.” Mereka ternyata membayangkan pesta pernikahan berhari-hari artinya kedua mempelai juga dipajang berhari-hari, lengkap dengan baju dan riasannya.
Nah pandangan semacam itu perlu diluruskan. Biar saya jelaskan gambaran pernikahan di desa, yang pasti beda dengan kultur orang kota.
Kebiasaan di tempat saya tinggal di Tegal, orang akan menggelar hajatan sampai dua atau tiga hari. Jumlah hari itu sebenarnya adalah hari menyewa sound system dan segala rupanya, bukan jumlah hari pengantin duduk di pelaminan. Sound system, atau kami menyebutnya sombok, itu menjadi tanda sedang berlangsungnya hajatan.
Karena berlangsung berhari-hari, empunya hajatan di desa bukan pusing oleh sewa gedung, tapi belanja sembako dan makanan. Beli cabai berapa kilo, sayur mayur, buah-buahan, dan menemui tamu yang tidak habis-habis. Sebab, lokasi hajatan cukup di halaman rumah. Tukang rias dan dekorasi pun sudah satu paket dan pajangan pengantin satu paket.
Waktu resepsi jadi lebih panjang. Ini tidak semua orang menetapkan, tapi sepanjang 24 tahun saya hidup, selepas akad si pengantin akan langsung resepsi. Kalau akadnya siang misal jam 11-an, jam 1 siang pengantin sudah ada di kursi pelaminan. Seberapa lama? Sampai malam. Malam adalah saat yang tepat untuk kondangan. Ibu saya juga lebih senang kondangan di malam hari. Di halaman sendiri mau sampai jam berapa pun bebas biaya tambahan. Selo.
Pengantin akan menjadi sorotan warga desa. Meski sudah atau tidak kondangan, mereka bakal sengaja datang untuk melihat secantik apa mempelai perempuannya, seperti apa mempelai laki-lakinya, manglingi atau tidak. Belum lagi kalau salah satu di antara mempelai adalah anak bungsu, akan ada prosesi yang namanya tumplek ponjen. Sebelumnya, pengantin akan melakukan tradisi seset ayam (saling tarik-menarik ayam) terlebih dahulu. Ini ayam yang sudah dimasak ya. Sesudah seset ayam, mereka bakal saling suap. Bila proses itu selesai, mereka akan diberi batok kelapa kosong yang ukurannya cukup besar (bisa juga pouch atau kantong lain). Dari situ nanti dukun manten/perias akan memberi instruksi dimulainya tumplek ponjen. Sanak saudara atau warga yang menonton akan menyumbang uang seikhlasnya dan meletakkan di kantong atau batok tadi. Tujuannya untuk memperlancar rizki kedua mempelai.
Perbedaan selanjutnya adalah hadiah yang diberikan tamu. Bagi kawula muda yang tidak ingin ribet cukup dengan uang atau hadiah, tapi lain hal dengan ibu-ibu. Di desa saya masih berlaku memberi hadiah berupa beras. Kenapa beras? Sebab ia makanan paling pokok, warga desa tak khawatir bila keuangan menipis, tapi bakal kelabakan kalau beras sudab habis-bis-bis. Jumlah yang dibawa kondangan beragam, ada yang 10 kilo, 15 kilo, 20 kilo. Pokoknya semampunya.
Hal lainnya adalah tidak ada standing party, bosqu. Semua tamu sudah pasti duduk, kalau tidak di dalam rumahnya ala-ala lesehan ya di luar. Mereka menyediakan kursi-kursi dan meja yang disewa satu paket dengan sound system. Lagu-lagu yang diputar adalah lagu dangdut, reliji, atau koplo. Ini berlangsung selama hajatan, berhenti bila sudah jam 11 malam dan dan mulai lagi jam 6 pagi.
Soal prasmanan, ada yang melakukan dan ada pula yang tidak. Kalau yang tidak, makanan dan minuman akan diantar langsung ke depan tamu. Karena duduknya yang melingkar kadang sesama tamu saling ngobrol dan terlibat satu topik meski sebelumnya tak mengenal. Yang belum punya pasangan, cara ini adalah kesempatan yang patut dicoba untuk cari jodoh. Sayangnya, hal semacam itu lebih jamak dilakukan oleh senior, sesepuh, alias bapak-bapak dan ibu-ibu yang senang bercengkerama.
Oh ya, soal berapa hari hajatan berlangsung berpengaruh terhadap tamu. Meski sudah tertulis 2 hari, tapi H+7 acara masih ada saja yang bertamu, biasanya tetangga dekat yang karena merasa dekat, jadi seenak jidat. Mengantispasi itu, persediaan makanan harus banyak, Inilah alasan pernikahan di desa bajetnya jadi nggak jauh-jauh dengan pesta di kota.
Perbedaan yang lain adalah kami tak mengenal wedding organizer. Biasanya karena sudah ribet urusan dapur dan menjamu tamu, soal dekorasi yang penting asal rapi dan sepantasnya. Siapa yang memasang dekorasi? Anak buahnya tukang rias, dibantu kerabat yang juga bantu masak.
Suatu waktu ada anak bu lik saya menikah. Saya hanya membantu mengantar air untuk tamu; tidak ada prasmanan jadi nggak berlaku do it yourself. Sementara itu, ibu saya masak di dapur untuk makan tamu dan oleh-oleh makanan untuk tamu. Makanan yang dibawa pulang ini disebut brekat, mungkin di daerah lain disebut besek, berisi nasi dan lauk-pauk. Kebayang ya kalau di hari pertama hajatan tamunya mencapai 300, besoknya lagi 200, lusa 200… berapa kali ibu saya dan kerabat lain memasak untuk sajian dan bawaan itu.
Tidak ada hajatan yang tidak merepotkan, memang. Dan bukan duduk di pelaminannya yang berhari-hari, tapi hajatannya. Berangkat dari situ, karena sudah tahu hajatan pasti melibatkan (baca: dibantu) banyak orang, jadi kami di desa santai saja kalau ditanya kerabat “Kapan nikah?” Toh mereka juga yang bakal berkontribusi di acara kita. Tentu dengan sukarela menyumbang waktu dan tenaganya. Yang capek bukan mempelainya, melainkan sanak saudara yang turut membantu keberlangsungan acara.
Matur sembah suwun, Bu de-bu de, bu lik, pak lik.
BACA JUGA Orang Nggak Takut Corona Bukan karena Agama dan tulisan Anisa Dewi Anggriaeni lainnya.