MBG di TK: Niat Baik yang Realitasnya Cuma Bikin Ribet

Mengenal SS 201, Terduga Bahan Nampan MBG yang Berbahaya dan Berpotensi Haram TK

Mengenal SS 201, Terduga Bahan Nampan MBG yang Berbahaya dan Berpotensi Haram

Percayalah, MBG di TK itu membawa masalah baru yang mungkin tidak kalian sadari. Yang makan anak-anak, yang deg-degan gurunya

Kalau dengar kata “TK”, kebayangnya apa sih? Pasti langsung bayangin anak-anak kecil yang lucu-lucu, lari-larian, belajar sambil main, terus nyanyi-nyanyi lagu anak-anak kan? Dari luar memang kelihatan seru dan gampang. Tapi coba deh sekali aja masuk ke dunia guru TK, apalagi PAUD. Dijamin pandanganmu langsung berubah 180 derajat.

Ngajar di TK itu jauh lebih ribet daripada ngajar anak SD, SMP, apalagi SMA. Soalnya di usia dini, anak-anak masih kayak “kertas kosong” yang polos, lugu, dan jujur banget. Mereka masih butuh dipandu hampir di setiap hal kecil. Mulai dari cara duduk, cara makan, bahkan kadang ke kamar mandi pun masih ada yang harus ditemani. Kebayang kan, kalau satu kelas isinya belasan sampai puluhan anak, terus semua butuh perhatian dalam waktu yang sama? Guru bisa langsung kelimpungan.

Nah, di tengah ribetnya dunia TK ini, pemerintah punya program namanya MBG alias Makan Bergizi Gratis. Secara ide, niatnya mulia banget. Tujuannya jelas: biar anak-anak sehat, terpenuhi gizinya, dan bisa tumbuh optimal. Kedengarannya indah banget, kan?

Tapi kayak pepatah, “jauh panggang dari api”. Di lapangan, program ini nggak segampang teorinya. Banyak guru, khususnya di TK dan PAUD, yang malah kewalahan ngurus MBG dibanding ngajar anak-anak.

Realitas di Lapangan

Coba bayangin: satu sekolah PAUD/TK saya punya 200 anak. Terus semua anak itu harus dapat jatah MBG sesuai jadwal. Kedengarannya mungkin simpel, tinggal dibagikan aja, kan? Eh, jangan salah. Kenyataannya, ribetnya minta ampun.

Pertama, soal waktu. Kadang, makanan datang nggak sesuai jadwal. Ada yang harus dibagi jam 9 pagi, tapi pas kita masih sibuk ngajar atau anak-anak lagi asyik main, makanan udah datang. Belum lagi kalau pihak penyedia buru-buru minta wadahnya dikembalikan. Jadi guru harus muter otak: “Aduh, gimana caranya biar makanan tetap bisa dibagikan ke anak-anak tanpa bikin suasana kelas kacau?”

Alhasil, sering kali makanan dipindahin dulu ke wadah pribadi guru atau sekolah, baru dibagikan pelan-pelan biar nggak bikin anak-anak heboh.

Kedua, soal higienitas. Karena ini makanan massal, nggak jarang ada kasus anak-anak yang malah sakit perut setelah makan MBG. Entah karena nggak cocok, entah karena penyajiannya kurang bersih. Jadinya niat baik “biar sehat” malah berbalik jadi “bikin keracunan”. Orang tua protes, guru juga jadi sasaran, padahal yang nyiapin makanan bukan guru.

Ketiga, soal jumlah. Kalau anak di sekolah ada ratusan, otomatis makanan juga numpuk. Kadang ada anak yang makannya lama banget, belum habis, tapi wadah udah harus diambil lagi sama penyedia. Guru pun pusing: mau buang sayang, mau disimpen ribet, mau dipaksa makan nggak tega. Akhirnya jalan pintasnya ya dipindahin ke wadah sendiri dulu. Dari situ baru dibagikan lagi ke anak-anak biar tetap kebagian.

Ribet? Jelas.

Keluhan dari Guru

Nggak heran kalau banyak guru PAUD/TK mulai ngeluh. Bukan mereka nggak setuju sama program MBG, tapi karena teknisnya bikin repot luar biasa. Bayangin aja, kerjaan utama guru harusnya fokus ke pendidikan dan perkembangan anak, malah tersita buat urusan logistik makanan.

Ada satu keluhan yang sering banget kedengeran: “Bisa nggak sih kalau MBG itu diganti aja jadi uang? Jadi orang tua bisa beli sendiri makanan bergizi buat anaknya, sesuai selera dan kebutuhan.” Kedengarannya memang lebih simpel. Orang tua bisa atur menu sesuai kondisi anak. Ada yang mungkin alergi, ada yang nggak suka jenis makanan tertentu. Kalau dikasih dalam bentuk uang, fleksibilitasnya lebih tinggi.

Tapi masalahnya, kalau berupa uang, pasti muncul lagi kekhawatiran: apakah orang tua benar-benar pakai uang itu buat beli makanan bergizi, atau malah dipakai buat kebutuhan lain? Nah, di sinilah dilema muncul.

Antara Ideal dan Realitas

Kalau mau jujur, MBG ini kayak dua sisi mata uang. Di satu sisi, niatnya bagus banget. Negara pengen anak-anak Indonesia sehat, cerdas, dan nggak kekurangan gizi. Apalagi masalah stunting masih jadi PR besar di negeri ini. Dengan adanya program makan bergizi, setidaknya ada jaminan anak-anak dapat asupan yang baik di sekolah.

Tapi di sisi lain, realitas di lapangan nunjukin kalau sistemnya belum matang. Guru yang seharusnya jadi pendidik, malah sibuk ngurusin distribusi makanan. Anak-anak yang seharusnya belajar disiplin dan mandiri, malah jadi rebutan makanan. Dan kalau ada masalah kayak keracunan, pihak sekolah ikut kena getahnya.

Suasana di Kelas Saat MBG

Kalau mau tahu gimana chaos-nya, coba deh bayangin satu kelas TK lagi dapat jatah MBG. Begitu makanan datang, anak-anak langsung heboh. Ada yang seneng banget karena menunya cocok, ada juga yang langsung manyun karena “nggak suka sayur, Bu!”. Guru harus muter-muter, bujukin anak-anak buat tetap makan.

“Yuk, coba dulu sesuap. Kalau nggak suka, nggak usah dihabisin.” Itu kalimat yang sering banget keluar. Padahal di balik senyum, guru juga deg-degan: “Aduh, gimana kalau nanti ada yang muntah? Gimana kalau makanannya keburu basi?”

Sementara itu, jam terus jalan. Anak-anak yang makannya lama bikin antrian panjang. Piring-piring menumpuk, guru harus bolak-balik beresin meja, nyuapin anak, sambil tetap ngawasin yang lain biar nggak ribut. Pokoknya satu jam terasa kayak seharian.

Harapan untuk MBG ke depan

Jadi, gimana solusinya? Menurut banyak guru, MBG itu tetap penting. Tapi perlu perbaikan di sistemnya. Misalnya:

Waktu distribusi lebih fleksibel. Jangan terlalu kaku soal jam pengantaran atau pengambilan wadah. Lalu, kualitas makanan dijamin. Biar nggak ada kasus keracunan, penyedia harus bener-bener diawasi. Jangan lupa, porsi sesuai kebutuhan anak. Jangan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit. Biar nggak mubazir.

Yang jelas, libatkan sekolah dalam perencanaan. Guru paling tahu kondisi anak-anak, jadi jangan sampai mereka cuma jadi “korban sistem”.

Pertimbangkan opsi uang. Boleh aja sebagian dalam bentuk uang, dengan pengawasan tertentu, supaya orang tua bisa lebih leluasa.

Kalau hal-hal itu bisa diperbaiki, MBG bisa jadi program yang benar-benar bermanfaat, bukan sekadar beban tambahan.

Jadi intinya, ngurus anak TK itu udah ribet, ditambah MBG yang belum matang, jadinya makin ribet. Tapi bukan berarti program ini jelek. Justru karena niatnya bagus, kita perlu sama-sama nyari cara biar implementasinya nggak bikin guru stress, anak-anak bingung, dan orang tua khawatir.

Buat kamu yang belum pernah masuk ke dunia TK, mungkin tulisan ini bikin kamu mikir: “Oh, ternyata ribet juga ya.” Iya, ribet banget. Tapi di balik keribetan itu, ada senyum-senyum polos anak-anak yang bikin semua capek hilang. Jadi meski MBG bikin pusing, guru-guru tetap bertahan. Karena pada akhirnya, tujuan mereka cuma satu: memastikan anak-anak bisa tumbuh sehat, ceria, dan siap menghadapi masa depan.

Penulis: Nur Anisa Budi Utami
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Keracunan Massal MBG Bukan Lagi Masalah Teknis, tapi Sistemik: Hentikan Sementara Kalau Keselamatan Tak Dijamin

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version