Yang fana adalah kebijakan bupati, banjir Kali Lamong abadi. Itulah kalimat yang tepat untuk menegaskan kenyataan yang dialami masyarakat Kecamatan Menganti, Kedamean, Benjeng, Cerme, dan Balongpanggang di Kabupaten Gresik.
Sedihnya, banjir yang menimpa lima kecamatan ini sudah seperti sedekah bumi saja. Setiap tahun dirayakan. Banjir yang menjadi masalah menahun dan sepertinya makin lestari saja.
Daftar Isi
Dari Yai Robbach hingga Gus Yani, tetap saja nihil
Banjir yang berasal dari luapan Kali Lamong ini nyaris membuat masyarakat berpikir bahwa apakah bencana ini takdir Tuhan? Atau malah kutukan dari Sang Pencipta? Sudah tiga bupati menjabat, tapi kebijakannya tak membuahkan hasil.
Entah, apakah ketiga bupati ini nggak becus atau bagaimana. Satu hal yang pasti, banjir di lima kecamatan di Gresik itu masih tetap berlangsung tiap tahun hingga 2023 ini.
Memberi bantuan sembako, membuka tenda penyelamat, atau menggelar dapur umum adalah solusi semu. Ya cuma sebatas kegiatan seperti itu yang dilakukan Bupati Gresik setiap banjir datang. Ibarat sebuah safety valve atau katup penyelamat, yang sifatnya sementara, untuk meredakan kerugian dan meninabobokan keluh kesah masyarakat.
Tanggul Kali Lamong yang nggak berdaya
Tanggul Kali Lamong sudah dibangun semenjak bupati Yai Robbach. Namun, meskipun tanggul ini terus ditambah jumlahnya, tetap saja benteng air Kali Lamong itu hancur setiap tahunnya. Setidaknya, 55 desa telah tenggelam di era Yai Robbach.
Nggak hanya tanggul, Kali Lamong sudah dikeruk, diperluas, dan diperdalam sejak era Bupati Yai Robbach hingga Bupati Pak Sambari. Tapi apa hasilnya? Debit air tetaplah yang menang, sedangkan kebijakan bupati Gresik yang kalah dan nggak ada apa-apanya. Masih ada 14 desa yang masih tergenang banjir di lima kecamatan di Gresik bagian selatan.
Kolam retensi banjir
Pengerukan dan perbaikan tanggul hingga saat ini masih terus dilakukan. Namun, sedikit berbeda dengan sebelumnya, bupati terbaru Gresik, Gus Yani, rencananya hendak mengadakan proyek pembangunan kolam retensi pasca-banjir menimpa lima kecamatan secara bergantian. Sebagai disclaimer, kolam retensi sendiri semacam waduk penampungan air hujan dengan jangka waktu tertentu yang fungsinya memotong puncak banjir yang terjadi dalam sungai.
Ya, semoga program ini nggak hanya wacana, melainkan beneran dibangun. Pasalnya, masyarakat Gresik bagian selatan itu bukan lagi hanya lelah dengan banjir, tapi udah menjadikan banjir sebagai sahabat yang tak bisa lepas dari kehidupan mereka.
Plis, jangan nunggu kami tenggelam
Sesuatu yang membuat saya kesal bahkan rakyat yang lainnya juga, selaku masyarakat Gresik bagian selatan, adalah penanganan banjir Kali Lamong itu baru dilakukan ketika masyarakat sudah tenggelam. Ketika banjir sudah memasuki dapur, menenggelamkan bangku sekolah, bahkan paling parah menunggu korban jiwa.
Mohon maaf Pak Bupati Gresik, nyawa, harta benda, bahkan keberlangsungan hidup kami bukanlah sebuah permainan lotre yang nunggu giliran untuk dieksekusi. Banjir Kali Lamong ini sudah bencana tahunan, dan tentu sudah dapat diprediksi setiap tahunnya. Sebagaimana petuah Bung Karno, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi kenapa kalian turun ke daerah kami menunggu kami diselimuti air banjir?
Selain itu, penanganan ketika banjir Kali Lamong berlangsung itu adalah sesuatu yang sulit, bahkan bisa saja mustahil. Kendaraan berat sulit masuk ke area banjir, para buruh juga banyak yang enggan bekerja di tengah banjir, bahkan bahan-bahan bangunan juga sulit digotong ke area yang rawan.
Penanganan musibah Kali Lamong ini paling tepat dikerjakan ketika musim kemarau, ketika debit air turun banyak. Tapi, kenapa pemangku kebijakan di Kabupaten Gresik malah ngurusi hal lain di waktu itu? Seolah-olah lupa dan abai dengan air banjir yang selalu menemani masyarakat Gresik bagian selatan.
Jangan paksa kami untuk fatum brutum amor fati
Dari bupati satu ke bupati yang lain, Kali Lamong masih lebih ganas ketimbang kebijakan pemerintah daerah. Apakah Gresik ini perlu keajaiban dengan munculnya satria piningit terlebih dahulu untuk mengatasi bencana tahunan ini, karena ketidakbecusan pemda selama bertahun-tahun? Atau karena konspirasi elite global yang mengatakan Pulau Jawa akan tenggelam di masa depan?
Plis, Pak Bupati, Bu Wakil Bupati, DPRD, atau jajaran Forkopimda lainnya di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, jangan paksa kami untuk menganut paham Nietzschean untuk menerima takdir begitu saja, “fatum brutum amor fati”. Kami berharap bisa menjadi “homo faber fortunae suae”, bahwa manusia adalah pengrajin dari takdirnya sendiri. Tanpa perlu keajaiban, tanpa perlu menunggu satria piningit, apalagi sampai nunggu imam mahdi muncul.
Kami hanya bisa berdoa, semoga para pemangku kebijakan Gresik dapat terbuka matanya, dapat bergerak tangannya, dapat segera mengeksekusi tanpa perlu ditegur oleh alam.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Teruntuk Pimpinan Daerah Gresik, Pelebaran Jalan Daendels Itu untuk Kepentingan Siapa, sih?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.