Beberapa malam lalu, saya ditanya oleh seorang kawan, apa yang mesti dipersiapkan untuk menghadapi perlambatan ekonomi yang sudah mulai dirasakan?
Malam itu, saya tidak menjawab. Selain sedang malas berpikir, saya kira jawaban-jawaban yang sifatnya personal seperti berhemat, menabung, melakukan perubahan perilaku dan pola konsumsi, adalah hal yang lazim dan tidak perlu ditanyakan sebetulnya setiap orang pasti bisa dan akan melakukannya. Rerata kita, atau jaring pertemanan saya, bukanlah orang-orang yang kaya sekali, yang jika krisis ekonomi membutuhkan pemulihan lebih dari 3 tahun, tak akan berpengaruh apa pun bagi mereka. Kita semua rata-rata mirip lah, daya dukung keuangan kita kan paling sekira satu tahun saja. Kalau misal, kita sakit tak bisa ngapa-ngapain selama setahun, kayaknya nasib kita kurang-lebih sama.
Saya berpikir berbeda malam itu. Dan malam ini mencoba menuliskan apa yang saya pikirkan.
Pada krisis ekonomi ’98 (sebetulnya lebih tepat tahun ’97), ada berbagai analisis mengenai kenapa kita nisbi cepat pulih dari badai krisis itu. Kurang dari lima tahun, perekonomian kita mulai merangkak naik. Tapi hampir semua analisis tersebut, melihat ke persoalan strategi elite ekonomi. Jarang yang melihat ke bagaimana praktek perekonomian di saat itu terjadi.
Saat itu, jutaan kelas menengah perkotaan yang tumbang, diuntungkan oleh daya dukung sosial mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari desa. Desa ikut menyelematkan Indonesia. Berbagai strategi dilakukan oleh kelas menengah saat itu. Dari mulai pulang dulu ke desa, kehidupan mereka ditopang oleh orangtua atau sanak saudara. Ada yang memulangkan sejenak istri dan anak mereka untuk mengurangi biaya hidup di kota. Ada yang jual ternak, jual warisan, dll. Pada dasarnya, kekuatan desa teruji ikut menyangga krisis ekonomi saat itu.
Jika kita percaya bahwa krisis adalah bagian tak terelakkan dari kapitalisme, dan kita memasuki siklus krisis yang mesti diwaspadai, maka salah satu pertanyaan fundamentalnya adalah masih bisakah desa menolong kita di saat krisis ekonomi terjadi lagi?
Itu pertanyaan yang sulit dijawab, sebab kita membutuhkan data yang akurat tentang desa-desa di seluruh Indonesia. Tapi kita bisa melihat beberapa hal melalui poin-poin ini. Tentu dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan paling mendasar: Apakah desa-desa di Indonesi masih sama dengan 20 atau 21 tahun lalu?
Banyak desa yang sedang menghadapi krisis ekologi, karena efek dari ‘neo-pembangunanisme’. Saya menduga juga ada pergeseran atau konsentrasi kepemilikan lahan, dari banyak orang ke sedikit orang. Kemudian pencacahan tanah karena bagi waris juga makin mengecil. Misal, ada petani yang dulu punya lahan 1 hektar, dia punya anak 3, tentu kondisi sekarang sudah terbagi, atau bagi terbagi makin kecil karena sudah pada jatah cucunya (dua puluh tahun memungkinkan untuk itu).
Tapi ada variabel positifnya, yakni kucuran dana desa yang nisbi besar. Masalahnya adalah apakah dana desa itu mempengaruhi corak produksi masyarakat perdesaan? Apakah dana desa membuat kerusakan ekologi teratasi atau justru makin rusak? Apakah berkontribusi pada konsentrasi kepemilikan tanah atau tidak?
Tentu saja rentetan pertanyaan di atas, tidak mudah dijawab. Mestinya, ada riset yang bisa memaparkan hal itu, sehingga setiap persoalan yang berpotensi keretakan sosial, bisa diantisipasi lebih dini.
Mungkin Anda punya analisis atau hasil riset atau hasil pengamatan di sekitar Anda? Silakan berbagi di kolom komentar…
BACA JUGA Indonesia Lagi Lucu-lucunya… atau tulisan Puthut EA lainnya. Follow Facebook Puthut EA.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.