Sudah hampir setengah tahun saya tidak pulang ke kota kelahiran di Pekalongan. Saya yang duduk di jok belakang sepeda motor kala itu sedang menikmati pemandangan kanan kiri jalan. Hingga satu titik menarik perhatian saya, lebih tepatnya terlalu mengganggu pemandangan sehingga mau tak mau saya menoleh ke arah tersebut. Tumpukan sampah yang teronggok di pinggir jalan.
Rasa-rasanya tadi sepanjang perjalanan dari Stasiun Pekalongan bersih-bersih saja. Kenapa tiba-tiba ada sampah? Apa masalah darurat sampah beberapa bulan lalu itu belum usai juga?
Pekalongan darurat sampah. Mungkin judul itu sudah beberapa bulan ini bergema di media massa dan dalam sekejap mengubah citra kota. Meredup sudah citra anggun Pekalongan sebagai Kota Batik dan kota Santri. Jika dibandingkan dengan setengah tahun yang lalu, memang masalah sampah ini sudah lebih baik.
Dikutip dari laman resmi Pemkot Pekalongan, sejak TPA Degayu tidak lagi beroperasi karena overload, kini telah tersedia 29 TPS-3R yang tersebar di berbagai titik kota. Membaca itu saya sempat merasa lega sekaligus heran. Kalau sudah ada banyak TPS, mengapa masih ada saja sampah yang menghiasi pinggir jalan?
Kurang kesadaran atau kurang imbauan?
Sekitar 29 TPS-3R tersebar di seluruh kota, dan 2 TPS-3R di antaranya berkapasitas besar yang diproyeksikan mampu mengolah sampah hingga 4 ton per jam. Namun mengapa masih ada tumpukan sampah di pinggir jalan Pekalongan?
Dari titik sampah yang saya lihat hari itu, saya mulai menduga ada dua kemungkinan. Bisa jadi tempat tersebut memang sudah lama dijadikan lokasi pembuangan oleh warga sekitar. Namun jika demikian, mengapa harus di pinggir jalan, tanpa penanda dan tanpa tempat sampah? Nah, pasti dugaan pertama saya keliru.
Beralih ke dugaan kedua, mengapa tidak terdapat petugas kebersihan atau semacamnya yang bertugas? Atau barangkali itu sudah menjadi kebiasaan yang berakar dari beberapa bulan lalu, sehingga warga masih melanjutkan pembuangan sampah di titik tersebut sampai sekarang?
Keberadaan TPS-3R dalam jumlah cukup di Pekalongan seharusnya mampu menekan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Setidaknya, itu yang saya bayangkan. Namun kenyataannya, persoalan sampah di Pekalongan ternyata tidak sesederhana menyediakan tempat. Hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan dan kesadaran bersama.
Bisa jadi masih ada warga yang tidak tahu di mana letak TPS terdekat, kapan sampah diangkut, atau bagaimana sistem pengelolaannya. Jika itu yang terjadi, TPS-3R hanya akan menjadi fasilitas yang berdiri tanpa fungsi maksimal.
Di sisi lain, saya juga merasa minimnya imbauan yang berkelanjutan mengenai sampah. Setidaknya, itulah kesan yang saya tangkap ketika masih ada tumpukan sampah di pinggir jalan. Saat status Pekalongan darurat sampah ramai diberitakan, perhatian publik begitu besar. Namun setelah kondisi dianggap membaik, sosialisasi tampak meredup.
Akibatnya, kesadaran warga tidak terbentuk secara utuh, melainkan hanya bersifat sementara karena situasi darurat. Kebiasaan lama pun kembali muncul, termasuk menjadikan pinggir jalan sebagai tempat pembuangan yang dianggap praktis.
Jalan keluar yang bisa dicoba untuk benar-benar lepas dari masalah sampah Pekalongan
Dari apa yang saya lihat dan rasakan, persoalan sampah di Pekalongan ini sepertinya tidak cukup diselesaikan hanya dengan menyediakan fasilitas. Sosialisasi yang dilakukan secara berkelanjutan masih terasa penting agar warga benar-benar tahu ke mana sampah seharusnya dibuang.
Penunjuk arah menuju TPS, papan informasi, atau himbauan tertulis di titik-titik rawan pembuangan sampah dapat menjadi langkah awal yang sederhana, tetapi cukup membantu warga. Keterlibatan perangkat kelurahan serta RT/RW juga menjadi penting. Sebab merekalah yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari warga dan paling memahami kondisi lingkungannya.
Di saat yang sama, perlu pengaktifan petugas kebersihan setempat yang bertugas secara spesifik di wilayah rawan penumpukan sampah. Kehadiran petugas ini tidak hanya sebagai pengangkut sampah, tetapi juga sebagai pengawas sekaligus penghubung antara warga dan TPS-3R terdekat, sehingga alur pembuangan sampah menjadi lebih jelas dan terorganisir.
Meski demikian, saya menyadari persoalan sampah tidak bisa sepenuhnya diletakkan di pundak pemerintah daerah Pekalongan. Sebagai masyarakat, kita juga perlu mengubah cara pandang bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama.
Tanpa kesadaran kolektif, sebaik apa pun fasilitas yang disediakan akan selalu menyisakan celah masalah. Kota yang bersih tidak lahir dari situasi krisis, melainkan dari kebiasaan warganya yang terjaga.
Penulis: Nabila Dila Ardiyanti
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jalan Imam Bonjol Pekalongan Memaksa Saya Ganti Motor: Baru Ganti Motor Sebulan Udah Masuk Bengkel.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















